Sabtu, 19 April 2014

Hibah Nyawa dari Timur Bolmong Raya



(dipublikasikan Kolom ARAH Harian Kawanua Post, Kamis 13 Maret 2014)

 
Penggalan dialog itu dikutip dari novel “Candide”, karya termasyhur Voltaire, yang ditulis pada tahun 1751 di tengah zaman yang penuh optimisme. Yang menarik dari novel ini adalah cara Voltaire menyajikan itu. Bahwa ruang optimisme yang pada akhirnya muncul ke permukaan, diraih dengan sederet rasa pesimis. Bahwa pelita adalah omong kosong ketika tak pernah ada ruang gelap. Dan orang-orang mungkin benar; dalam setiap optimisme, ada se-titik keraguan. 

Kita mungkin tak pernah tahu dalam batas apa ketika optimisme harus mekar, dan di titik mana ketika keraguan datang meredup. Tapi broadcast BBM yang saya terima Sabtu siang pekan lalu, dari Buyung Algiffari Potabuga, seorang sahabat di ujung Timur Bolmong Raya, cukup menggugah rasa, pun menohok harapan sekaligus ilusi;  Jika Bukan Provinsi BMR Maka Kami Negara BMR”. Di dalamnya ada pengumuman terbuka—untuk tak menyebut radikal—dari para pemuda yang menuntut pembentukan Provinsi Bolmong Raya, hingga batas menghibahkan nyawa. Singkatnya; jika Provinsi Bolmong Raya tidak direstui Pemerintah Pusat, elemen pemuda ini akan memperjuangkan BMR menjadi Negara sendiri, meski nyawa adalah taruhan.

Gaung provinsi Bolmong Raya memang sedang menggema, merasuk, mencumbu tiap insan  Mongondow—tak terkecuali kaum muda, yang telah butuh waktu cukup panjang menggantung asa di atas langit ketidakpastian. Saya, yang hampir 13 tahun lalu, pernah menuliskan pemekaran wilayah Bolmong Raya, pun ketika itu tak bisa mangkir dari rasa itu; bercengkrama dengan ketidakpastian, sekaligus ilusi. Sebuah ketidakpastian memang mengandung optimisme dan keraguan, termasuk ilusi. Tapi  perjuangan panjang untuk membentuk Provinsi Bolmong Raya; dari wacana, konsepsi serta aksi, terutama dari Panitia Pemekaran Provinsi Bolmong Raya yang mendapat dukungan penuh dari seluruh komponen masyarakat, telah cukup membungkam ilusi. Yang tersisa kemudian adalah rasa optimis, meski keraguan masih saja tak bisa ditelungkup. Dan kita tahu setiap perjuangan adalah perhelatan, dan tiap perhelatan menghadirkan panggung bagi siapa saja untuk menggelar eksistensi.

Aksi hibah nyawa yang digagas teman-teman dari wilayah Bolaang Mongondow Timur, bagi saya juga adalah sebuah panggung dengan segala rupa eksistensi yang hendak dipertontonkan. Rasa optimis dan pesimis sering membuka ruang bagi orang-orang untuk melahirkan laku, bahkan nekat.  Dan keduanya sering saling mendesak diantara panggung-panggung yang tersedia. Tak kala sebagian besar orang optimis atas kunjungan tim DPOD ke Kota Kotamobagu untuk memantau kesiapan calon ibu kota provinsi, lengkap dengan gegap gempitanya panggung yang tersaji, di timur Bolmong Raya pesimisme hadir dengan panggung yang cukup menghentak, menuntut, mengancam—juga menggugah, yang dicetus kaum muda. Dari ujung timur itu mereka berteriak tentang ketidakpastian. Di sana mereka menggagas sebuah cita-cita. Di sana mereka menghibah nyawa sambil menggelegar; Merdeka atau Mati!

Hibah nyawa tentu bukan perkara sembarang. Kita tahu nyawa tak pernah dipajang  di etalase pertokoan atau dijual ecer di lapak pedagang. Sebagaimana kita tahu juga anak-anak muda memang penuh dengan letupan jiwa, bahkan misteri ketika mereka hendak menghentak sebuah panggung. Mungkin untuk itu Chairil Anwar lantang berteriak; “Sekali berarti sudah itu mati”. Bisa jadi karena itu pula Voltaire mengatakan; “anak-anak muda itu belum diajar oleh usia menua, dan belum mau berbagi keinsafan tentang kelemahan manusia”. Tapi bukankah setiap panggung yang tersaji harus tetap dihargai? Termasuk panggung yang digelar seorang Buyung Algiffari Potabuga; “Di jalan ini tiada tempat berhenti, sikap lamban berarti mati. Siapa bergerak dialah yang di depan, yang menunggu sejenak sekalipun pasti tergilas. Kami tak perlu mengemis mata orang lain untuk melihat, kami melihat dunia dengan mata kami sendiri. Itulah semboyan perjuangan kami”.

Panggung ketidakpastian memang sering mengguncang, bahkan jika nyawa menjadi syarat utama suksesnya sebuah pentas. Yang belum—dan mungkin sering lalai—kita sadari adalah; apakah dengan taruhan nyawa dan “Abrakadabra” optimisme seketika menjulang tinggi? Ataukah kematian bisa jadi peretas jalan menghilangkan keraguan.  Bukankah dunia ini hanya sementara? Termasuk manusia-manusia didalamnya dengan pemikiran maupun tindakan yang juga sementara. Dan kesementaraan ini pula yang sering kali menyebabkan sebuah panggung yang menghentak bisa tiba-tiba bisu, tanpa suara, tanpa gerak, tapi membekas jejak—bertahan atau ditinggalkan.

Tak kala wartawan Colombia, Eduardo Santos diusir dari negerinya di penghujung  tahun 1955, Albert Camus menuliskan sebuah kalimat; “Di hari-hari ini kemerdekaan tak punya banyak sekutu”. Namun ikhtiar harus terus dikedepankan;  You can’t cross the sea merely by standing and staring at the water”, kata  Rabindranath Tagore. Dan mengutip penyair Edgar Allan Poe; “Hari ini aku memakai rantai ini, dan aku di sini. Besok aku akan lepas—tapi di mana?”. Semoga masih di sini, di Indonesia.#


Masih Seriuskah Kita Dengan "Tuhan"?


(dipublikasikan Kolom ARAH Harian Kawanua Post, Rabu 26 Februari 2014)

Masih seriuskah kita dengan Tuhan? Dengan segala keterbatasan, saya tak bisa menjawab itu. Namun di tahun 913 M, di jalanan kota Baghdad, seorang lelaki berjubah compang camping berlarian menghambur ke orang banyak sambil berteriak “Ana Al-Haqq  (Akulah Tuhan)”. Lelaki itu kita kenal sebagai Mansur Al-Hallaj. Sekitar hampir 500 tahun yang lalu, Syekh Siti Jenar berbicara tentang “Manunggaling Kawula Gusti”. Dalam “Die frohliche Wissenschaft” tahun 1882, Nietzsche mengatakan “Gott ist tot—Tuhan telah mati”, dan puisi “Padamu Jua” Amir Hamzah, dengan lirih menyatakan “Tuhan ganas dan cemburu”. 

Berbicara tentang Tuhan dalam wilayah transendental memang cukup menggairahkan, terutama ketika itu menyentuh aspek subtansial. ini pun bukan tidak mendapat tantangan, Al-Hallaj dan Syekh Siti Jenar harus berakhir dengan kematian, karena dianggap sesat. Kalau pemahaman Tuhan yang disakralkan dengan pencarian yang sangat panjang saja sering diartikan salah, bagaimana halnya dengan sakralitas yang  dipermainkan?

Sejarah mencatat penistaan memang telah menjadi bagian dari perkembangan agama itu sendiri. Tak hanya nabi, Tuhan pun tak luput dari penistaan atau laku kesangsian yang cukup serius terhadap agama, dan menghadirikan kontroversi. Dalam agama kristen, film “The Passion of The Christ”, “The Messiah” atau “The Da Vinci Code”, cukup menimbulkan polemik. Bahkan yang disebutkan terakhir, yang difilmkan berdasar novel karya Dan Brown, menurut teolog Erwin Lutzers merupakan “penyerangan paling serius terhadap kekristenan” karena mengungkap salah satu sisi manusiawi Jesus Kristus, khususnya hubungan-Nya dengan Maria Magdalena, dan menghasilkan keturunan. Dalam Islam, belum lepas dari ingatan kita ketika Sam Bacile—kemudian muncul nama baru Nakoula Basseley, meliris film “Innocence of Muslims”.

Awal tahun 2014, Bupati Boltim, Sehan Landjar cukup membuat bising. Pernyataannya yang dilansir salah satu media lokal Bolmong terbitan Jumat (21/2) pekan lalu, tak ada salahnya dikutipkan “Jangankan Sachrul Mamonto, Nabi Muhammad dan Tuhan Yesus pun kalau di Boltim ini, masih bisa saya kalahkan,” telah membuat kening orang banyak mengkerut. Pembaca,  permasalahan statement ini sedang dalam proses hukum di Polres Bolmong; sejumlah orang melaporkan sang pejabat atas tindakan penistaan agama, sang pejabat membantah keras mengeluarkan statement itu, dan media yang menerbitkan tak kalah cepat membuat ralat untuk berita tersebut, tentu sambil meminta maaf.

Selain ketiga reaksi itu, di jalanan, di pasar, di kantor sampai ke sudut warung kopi, orang banyak mulai ribut dengan asumsi plus dugaan masing-masing. Setidaknya ada tiga asumsi ramai yang mengemuka terkait pernyataan sang bupati, yang harus dipahami dalam perspektif luas. Pertama; orang yang menganggap itu penistaan sekaligus penodaan keyakinan beragama. Tak kurang, Aliansi Masyarakat Muslim Bolmong Bersatu bersigegas melaporkan Sehan Landjar ke Polres Bolmong. Bagi mereka—dan umumnya umat muslim, penggambaran Nabi Muhammad secara fisik untuk tujuan yang kurang etis adalah penghinaan besar. Dan pengandaian Sehan Landjar yang “bisa mengalahkan Nabi Muhammad” dalam konteks Pemilukada Boltim tahun depan, menurut mereka adalah penghinaan terhadap umat muslim. 

Kedua; mereka yang menyudutkan media penerbit statement itu dengan dalih kode etik. Kebanyakan yang berada di pihak ini adalah pewarta—beberapa dikenal cukup dekat dengan Sehan Landjar, dan secara garis besar tidak terlalu mempermasalahkan benar tidaknya pernyataan sang bupati. Yang dikritisi pengangkangan terhadap salah satu elemen dasar jurnalisme; verifikasi data dan informasi, termasuk melabrak kode etik wartawan. Argumen ini pun masih terbelah. Ada yang menyetujui meski pernyataan sang bupati benar adanya, media tak harus menghadirkan itu ke ruang publik, dengan dalih kurang etis. Ada juga yang menganggap jika prosedur standar jurnalisme telah diterapkan ketika memperoleh informasi itu, maka tak ada salahnya untuk disajikan ke publik. Alasannya cukup sederhana; Bupati sebagai pejabat publik harus selalu dikontrol, baik tindakan maupun ucapan. Setidaknya menurut meraka, agar ada efek jera dan sang bupati segera tersadar bahwa ia seorang kepala daerah, dan bukan preman pasar.

Ketiga; orang yang menganggap pernyataan itu biasa saja dan tak harus dipersoalkan, sebab di Negara-negara Nordik—eropa bagian utara, statement sang bupati, konon bisa bernilai positif. Meski menurut berbagai kalangan, analogi ini sudah terlalu jauh tersesat, karena kita saat ini sedang ada di bawah langit Mongondow, Indonesia. Kita di sini, bukan di sana. Setiap langit punya tradisi, punya kultur, punya nilai. Dan itu semua pun mau tak mau harus dihargai, dihormati.

Kita tentu tak menghendaki sakralitas kita dipermainkan, kesucian kita dinista, dan kemurnian iman kita dinodai. Namun di sisi lain, kita tentu tak harus jadi kerbau yang teramat mudah ditarik masuk ke dalam kubangan lumpur penistaan. Mari kita hormati proses hukum yang sedang berjalan, dan berharap Bupati Boltim tidak sedang bermain dalam “lumpur itu”, sebab Boltim masih butuh kepemimpinan kharismatik ala Sehan Landjar. Dan orang-orang tak perlu lagi bertanya; masih seriuskah kita dengan “Tuhan”?#



Pendeta Jonathan dan Prabu Usinara


(dipubilkasikan Kolom ARAH Harian Kawanua Post, Rabu 19 Februari 2014)

Ini cerita tentang pergumulan kemanusiaan. Ini kisah romantisme pengorbanan yang dinukil dari epos komik Mahabrata; Pandawa Seda, karya Bapak Komik Indonesia, R.A. Kosasih.

Kisah ini sebagaimana diceritakan Bhisma sebelum mangkat di medan Kurusetra kepada para Pandawa dan Kurawa yang mengelilinginya—juga dikutip Goenawan Mohamad dalam “Usinara”, berawal di sebuah hutan belantara ketika seekor merpati diterkam seekor rajawali. Merpati itu terluka dipunggungnya, tapi sempat terbang menghindar kejaran rajawali. Sang rajawali terus mengejar, keluar rimba tanpa henti, hingga akhirnya merpati itu masuk ke balairung Prabu Usinara, Raja Kerajaan Magada. 

 “Gusti, tolonglah hamba”, ucap sang merpati seraya hinggap di pangkuan sang Prabu. “Lindungilah hamba dari rajawali yang mau memakan daging hamba”. Prabu Usinara—seorang raja adil, bijaksana, penuh belas kasih dan taat terhadap hukum Tuhan—begitu melihat merpati yang terluka dan ketakutan segera menjawab; “Tenanglah kau akan kubela. Aku bersedia mengorbankan hidupku demi keselamatanmu”.

Tak disangka, perkataan sang prabu membawa petaka. Rajawali yang sudah berada di balairung itu, ikut mendengar ucapan Usinara. Ia menuntut agar merpati diberikan kepadanya; “Ia telah jadi milikku sebagaimana hukum rimba yang berlaku, punggungnya telah kutandai dengan luka. Kalau tidak percaya lihatlah!”. Prabu Usinara mau tak mau harus menghormati hukum itu. Untuk membela sang merpati, ia menawarkan daging kijang sebagai pengganti. Tapi rajawali mencemooh; “Hmm, manusia selalu mengorbankan mahkluk lain. Tidakkah ia sendiri punya daging?”

Jelas daging Usinara sendiri harus diberikan sebagai pengganti daging merpati. Maka tubuh merpati ditimbang dan seberat itulah daging Prabu Usinara akan dipotong. Keanehan terjadi; si burung merpati ternyata berat, amat berat dan seluruh bagian tubuh baginda kian lama nyaris terkeret habis mengimbanginya. Istana gempar. Orang mulai ribut dan menangis. Tapi sang prabu bersikukuh pada pendiriannya untuk menepati kata-katanya sendiri. Ia roboh.

Roman kebaikan memang sering menyisakan tanya. Kisah Prabu Usinara, bagi saya cukup mencengkeram rasa kemanusiaan sekaligus mengusik akal sehat. Dalam tingkatan manusia seperti apakah sang prabu hingga dengan tulus ikhlas memberikan dagingnya sendiri sebagai ganti daging sang merpati, meski berat tubuh si merpati ternyata melampaui berat tubuh Usinara dan secara langsung menunjuk kematian. Manusiakah sang prabu atau bukan? Saya tak begitu paham. Yang saya tahu, jika saya Usinara, sang rajawali sangat perlu ditempeleng.

Pendeta Jonathan Manoppo tentu bukan Prabu Usinara, meski keduanya menyiratkan kebaikan dalam kacamata berbeda. Yang satu memberikan daging, lainnya tanah. Kebaikan Pendeta Jonathan membagikan tanah kapling yang diklaim sebagai miliknya di lokasi perkebunan Pangiang Batusaiki Molas, bagi para korban banjir dan tanah longsor beberapa waktu lalu, bisa dianggap bagian kecil dari roman kebaikan, tentu dengan beragam persepsi. Menyerahkan hak milik ke orang lain penuh tulus ikhlas, dengan jumlah lumayan besar tentu butuh manusia dengan spesifikasi khusus. Informasi menyebutkan pembagian tanah gratis ini murni untuk kemanusiaan; “tidak ada unsur apapun maupun kepentingan pribadi”, ini kemurahan hati pak pendeta dan kita tentu tak bisa mendebat kebaikan.

Hal yang menarik bahwa roman kebaikan juga seringkali meruntuhkan sebuah nilai, termasuk sesuatu yang dianggap benar. Kebaikan juga butuh kebenaran; baik belum tentu benar dan benar pun belum tentu baik. Petaka mulai nampak ketika kebaikan hati Pendeta Jonathan diperhadapkan pada kebenaran. Meski ribuan pendukungnya mengepung Mapolresta Manado menuntut pembebasannya, polisi bergeming seraya menuntut kebenaran. Ia tak bisa menunjukkan bukti kepemilikan sah dan mirisnya ada hak orang lain yang dirusak di atas lahan perkebunan itu.

Mengemban kebaikan, kita memang tak boleh memalingkan wajah kebenaran, sebab di situ ada nilai yang dipertaruhkan. Saya rasa, tidak ada satu orang pun meragukan kebaikan hati Pendeta Jonathan melihat derita para korban bencana yang kehilangan tempat tinggal, dan ingin hidup lebih aman. Tapi kebaikan pun ternyata tak cukup.

Ketika Prabu Usinara roboh, tiba-tiba rajawali berubah wujud menjadi Betara Bayu, dan merpati menjadi Betara Indra. Keduanya tunduk hormat atas kemuliaan sang prabu, dan cerita ini berakhir happy ending. Pendeta Jonathan punya cerita yang tertunda, kita belum tahu apakah akan berakhir bahagia atau tidak. Untuk sementara ia diminta pertanggungjawaban, dituntut kebenaran, diperhadapakan pada kenyataan. Ia ditahan.#