(dipublikasikan Kolom ARAH Harian Kawanua Post, Kamis 13 Maret
2014)
Penggalan
dialog itu dikutip dari novel “Candide”,
karya termasyhur Voltaire, yang ditulis pada tahun 1751 di tengah zaman yang
penuh optimisme. Yang menarik dari novel ini adalah cara Voltaire menyajikan
itu. Bahwa ruang optimisme yang pada akhirnya muncul ke permukaan, diraih
dengan sederet rasa pesimis. Bahwa pelita adalah omong kosong ketika tak pernah ada ruang gelap. Dan orang-orang
mungkin benar; dalam setiap optimisme, ada se-titik keraguan.
Kita
mungkin tak pernah tahu dalam batas apa ketika optimisme harus mekar, dan di titik
mana ketika keraguan datang meredup. Tapi broadcast
BBM yang saya terima Sabtu siang pekan lalu, dari Buyung Algiffari
Potabuga, seorang sahabat di ujung Timur Bolmong Raya, cukup menggugah rasa,
pun menohok harapan sekaligus ilusi; “Jika Bukan Provinsi BMR Maka Kami Negara BMR”.
Di dalamnya ada pengumuman terbuka—untuk tak menyebut radikal—dari para pemuda
yang menuntut pembentukan Provinsi Bolmong Raya, hingga batas menghibahkan
nyawa. Singkatnya; jika Provinsi Bolmong Raya tidak direstui Pemerintah Pusat,
elemen pemuda ini akan memperjuangkan BMR menjadi Negara sendiri, meski nyawa
adalah taruhan.
Gaung provinsi Bolmong Raya
memang sedang menggema, merasuk, mencumbu tiap insan Mongondow—tak terkecuali kaum muda, yang telah
butuh waktu cukup panjang menggantung asa di atas langit ketidakpastian. Saya,
yang hampir 13 tahun lalu, pernah menuliskan pemekaran wilayah Bolmong Raya, pun
ketika itu tak bisa mangkir dari rasa itu; bercengkrama dengan ketidakpastian,
sekaligus ilusi. Sebuah ketidakpastian memang mengandung optimisme dan
keraguan, termasuk ilusi. Tapi perjuangan
panjang untuk membentuk Provinsi Bolmong Raya; dari wacana, konsepsi serta
aksi, terutama dari Panitia Pemekaran Provinsi Bolmong Raya yang mendapat
dukungan penuh dari seluruh komponen masyarakat, telah cukup membungkam ilusi. Yang
tersisa kemudian adalah rasa optimis, meski keraguan masih saja tak bisa
ditelungkup. Dan kita tahu setiap perjuangan adalah perhelatan, dan tiap
perhelatan menghadirkan panggung bagi siapa saja untuk menggelar eksistensi.
Aksi hibah nyawa yang digagas
teman-teman dari wilayah Bolaang Mongondow Timur, bagi saya juga adalah sebuah panggung
dengan segala rupa eksistensi yang hendak dipertontonkan. Rasa optimis dan
pesimis sering membuka ruang bagi orang-orang untuk melahirkan laku, bahkan
nekat. Dan keduanya sering saling mendesak
diantara panggung-panggung yang tersedia. Tak kala sebagian besar orang optimis
atas kunjungan tim DPOD ke Kota Kotamobagu untuk memantau kesiapan calon ibu kota
provinsi, lengkap dengan gegap gempitanya panggung yang tersaji, di timur Bolmong
Raya pesimisme hadir dengan panggung yang cukup menghentak, menuntut,
mengancam—juga menggugah, yang dicetus kaum muda. Dari ujung timur itu mereka
berteriak tentang ketidakpastian. Di sana mereka menggagas sebuah cita-cita. Di
sana mereka menghibah nyawa sambil menggelegar; Merdeka atau Mati!
Hibah nyawa tentu bukan perkara
sembarang. Kita tahu nyawa tak pernah dipajang
di etalase pertokoan atau dijual ecer di lapak pedagang. Sebagaimana
kita tahu juga anak-anak muda memang penuh dengan letupan jiwa, bahkan misteri
ketika mereka hendak menghentak sebuah panggung. Mungkin untuk itu Chairil
Anwar lantang berteriak; “Sekali berarti
sudah itu mati”. Bisa jadi karena itu pula Voltaire mengatakan; “anak-anak muda itu belum diajar oleh usia
menua, dan belum mau berbagi keinsafan tentang kelemahan manusia”. Tapi bukankah
setiap panggung yang tersaji harus tetap dihargai? Termasuk panggung yang
digelar seorang Buyung Algiffari Potabuga; “Di
jalan ini tiada tempat berhenti, sikap lamban berarti mati. Siapa bergerak
dialah yang di depan, yang menunggu sejenak sekalipun pasti tergilas. Kami tak
perlu mengemis mata orang lain untuk melihat, kami melihat dunia dengan mata
kami sendiri. Itulah semboyan perjuangan kami”.
Panggung ketidakpastian memang
sering mengguncang, bahkan jika nyawa menjadi syarat utama suksesnya sebuah pentas.
Yang belum—dan mungkin sering lalai—kita sadari adalah; apakah dengan taruhan
nyawa dan “Abrakadabra” optimisme
seketika menjulang tinggi? Ataukah kematian bisa jadi peretas jalan
menghilangkan keraguan. Bukankah dunia
ini hanya sementara? Termasuk manusia-manusia didalamnya dengan pemikiran
maupun tindakan yang juga sementara. Dan kesementaraan ini pula yang sering
kali menyebabkan sebuah panggung yang menghentak bisa tiba-tiba bisu, tanpa
suara, tanpa gerak, tapi membekas jejak—bertahan atau ditinggalkan.
Tak kala wartawan Colombia,
Eduardo Santos diusir dari negerinya di penghujung tahun 1955, Albert Camus menuliskan sebuah
kalimat; “Di hari-hari ini kemerdekaan
tak punya banyak sekutu”. Namun ikhtiar harus terus dikedepankan; “You
can’t cross the sea merely by standing and staring at the water”, kata Rabindranath Tagore. Dan mengutip penyair
Edgar Allan Poe; “Hari ini aku memakai
rantai ini, dan aku di sini. Besok aku akan lepas—tapi di mana?”. Semoga
masih di sini, di Indonesia.#