Kamis, 07 Oktober 2004

The Untouchables in Bolmong




Ditulis pasca Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kotamobagu yang diketuai Arther Hangewa, SH (Ketua Pengadilan Negeri Kotamobagu) membacakan putusan bebas terhadap ketiga terdakwa anggota KPUD Bolmong, dalam kasus pengelembungan suara pemilu 2004 yang menempatkan partai Golkar sebagai pemenang di wilayah Kabupaten Bolaang Mongondow. Dipublikasikan Harian Manado Post, tanggal 07 Oktober 2004.

Thomas Mark pernah bilang “the hidden nature” adalah karakteristik utama dari operasi mafia di seluruh dunia. Orientasi terhadap modus operandi yang diproyeksikan dan diaplikasikan bercirikan anti publikasi, sistematik, tersembunyi dan sangat rapih dengan pola organisasi piramida dan sang “godfather”. Menilik modus operandi yang diimplementasikan, bukan sesuatu yang mengherankan apabila dalam lingkup eksternalisasi mereka kemudian sangat susah, sukar, sulit untuk disentuh oleh sesuatu apapun, meskipun sesuatu itu adalah hukum yang dalam konsep bernegara yang dianut oleh Negara Indonesia tercinta menyatakan dengan tegasnya bahwa hukum tidak pernah pandang Presiden, Menteri, Gubernur, Bupati, yang juga tertuang dalam landasan konstitusi negara yang katanya berdasarkan hukum, dan menempatkan setiap warga negaranya sama kedudukan di mata hukum.
Mencermati “tragedi demokrasi dan hukum” di Bolmong seperti yang dikatakan Suhendro Boroma, adalah sebuah fenomena yang cukup menarik untuk diperbincangkan lebih lanjut dan kalau boleh ditelusuri dan diambil hikmahnya. Menarik karena fenomena tersebut bersinggungan dengan wilayah politik dan hukum. Terlebih wilayah hukum yang merupakan sendi sentralisme dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di negara kita dengan konsep negara hukumnya. Segenap tahapan yang dilalui, yang banyak diprediksikan oleh berbagai kalangan masyarakat akan berakhir seperti yang sudah-sudah dengan tidak menemukan aktor utama dibalik itu semua, dengan sendirinya telah membentuk semacam proses eksplisitasi yang mengkutubkan pemahaman masyarakat kecil—termasuk saya—bahwa di daerah kita tercinta ini, yang namanya “politik” masih berada jauh di atas “hukum”, sehingga kalau politik mau, ia bisa dengan seenak hatinya mengobok-obok yang namanya “hukum”.

Adanya kondisi seperti ini, secara tidak langsung bingkai pemahaman kita terhadap teori bernegara dengan konsep dengan hukumnya sepertinya harus kita tarik kembali ke belakang. Terkadang malah sering terbersit pertanyaan yang cukup mendasar tentang perlukah kita, atau haruskah kita melakukan reinterpretasi terhadap konsep negara hukum yang dianut oleh republik ini. A. Hamid S. Atamimi dalam makalahnya “Pancasila Cita Hukum dalam Kehidupan Hukum Bangsa Indonesia” menggambarkan hukum sebagai sebuah sistem yang didalamnya terdapat sendi-sendi kehidupan politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan keamanan, yang merupakan subsistem dari sistem hukum itu sendiri. Berbagai sendi kehidupan yang ada adalah merupakan bagian daripada hukum yang menempatkan hukum sebagai yang menaungi berbagai sendi kehidupan tersebut, sehingga hukum harusnya diposisikan dalam koridor yang tepat untuk memayungi segenap kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Teori bernegara dalam konsep “negara hukum” seperti yang dikemukakan di atas dirasa cukup memberikan gambaran yang begitu jelasnya bagi kita dan lebih menguatkan dasar argumentasi sebagaimana yang tertuang dalam landasan konstitusi negara yang mengatakan bahwa negara indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum. Dalam menjalankan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, setiap warga negara (kalau masih merasa orang indonesia) terikat oleh sebuah sistem norma yang disebut “hukum”. Inkonsistensi mungkin adalah kata yang tepat ketika kehidupan politik yang merupakan sub-ordinasi daripada hukum akan berada di atas hukum itu sendiri. Dan seandainya kita ingin merombak konsep bernegara yang ada dengan menempatkan hukum sebagai bagian daripada politik, dengan “politik” kita posisikan sebagai sebuah sistem dan hukum merupakan subsistemnya, maka kita harus duduk rembuk bersama dan menyepakati bagaimana kalau konsep negara indonesia yang katanya adalah negara hukum kita rubah menjadi “negara politik”, sehingga inkonsistensi bisa jadi konsisten karena memang itu maunya kita.

Apa yang terjadi dan berlangsung di pengadilan negeri Kotamobagu dalam sidang kasus pengelembungan suara partai politik di KPU Bolmong dengann vonis bebas terhadap ketiga terdakwa oleh majelis hakim adalah satu dari sekian penampakan wujud terhadap sistem “negara politik” seperti yang disebutkan di atas. Orang-orang yang berkecimpung dalam wilayah politik, apalagi identik dengan kekuasaan ataupun sangat dekat dengan kekuasaan sepertinya tidak pernah akan bisa disentuh oleh hukum sehubungan dengan posisi hukum yang ditempatkan sebagai bagian daripada “politik”. Kasus pengelembungan suara yang dilakukan oleh ketiga terdakwa yang merupakan anggota KPUD Bolmong, secara tidak langsung telah membentuk opini di tengah masyarakat bahwa mereka sudah pasti ada yang memberi perintah. Seperti yang dikatakan oleh berbagai kalangan masyarakat, ada aktor dibalik kasus tersebut yang meminta mereka melakukan itu, entah memang merupakan komitmen awal, iming-iming ataupun presure moril maupun materil. Beberapa kali kita semua menyimak berbagai statement yang dilontarkan Ketua KPUD Bolmong bahwa proses perubahan ataupun penggelembungan suara yang terjadi dalam rekapitulasi suara di tubuh KPUD melibatkan top eksekutif−meskipun akhirnya pernyataan tersebut harus ditarik kembali, entah karena apa. Ketika masih dalam tahap penyidikan yang dilakukan pihak kepolisian lanjutnya, ia telah berusaha membeberkan keterlibatan top eksekutif Bolmong akan tetapi pihak penyidik selalu saja mengalihkan pertanyaan yang diajukan sehingga top eksekutif dimaskud sepertinya tidak akan pernah tersentuh oleh hukum. Salah satu personil KPUD Bolmong, Nayodo Kurniawan, ketika memberikan kesaksian dalam sidang kasus pengelembungan suara partai politik tersebut, secara terang-terangan dihadapan majels hakim yang diketuai Arther Hangewa, SH—Ketua Pengadilan Negeri Kotamobagu—mengatakan bahwa yang memerintahkan personil KPUD Bolmong untuk merubah perolehan suara adalah Bupati Bolaang Mongondow yang juga Ketua DPD Partai Golkar Bolmong (partai yang diuntungkan dengan perubahan suara tersebut), Dra Hj. Marlina Moha Siahaan.

Dari serangkaian statement dan kesaksian yang merupakan suatu pengakuan, dalam kacamata hukum adalah sebuah bukti yang sangat otentik dan mengikat dalam sebuah persidangan. Bukti kesaksian yang diajukan telah sedemikian menggiring dan mengarahkan dengan begitu jelasnya bagi kita semua bahwa top eksekutif daerah kita terlibat dan faktor-faktor yang melandasi keterlibatan mereka kiranya tidak perlu dibahasakan lagi. Pada dasarnya setiap kesaksian memang harus dibuktikan otentisitasnya dalam beberapa tahapan, tapi kalau proses otentisitas tersebut harus sampai pada tahapan hitam di atas putih, marilah kita sama-sama mengatakan “say hello”, “mat malam jo”, “goodbye everybody”.

Dalam wilayah politik, hitam di atas putih biasanya adalah sesuatu yang ditabukan dan kalau boleh jangan pernah untuk dilaksanakan. Landasan argumentasinya cukup masuk akal, dan jika sesuatu terjadi di kemudian hari, terutama ketika telah menyentuh wilayah hukum dan menimbulkan ancaman-ancaman tertentu baik itu dalam lingkup individu maupun kelompok, anggaplah itu tidak pernah terjadi dan tak pernah ada.
Fenomen “demokrasi dan hukum” yang terjadi di Bolmong setidaknya telah mencitrakan pemahaman-pemahaman tertentu masyarakat luas terhadap “politik” yang identik dengan kekuasaan dan bagaimana sebuah kekuasaan dengan mudahnya mempermainkan sistem hukum yang melandasi negara kita.

Hal yang sangat disayangkan dengan berlangsungnya fenomena tersebut ialah terbentuknya opini masyarakat Totabuan bahwa kasus pengelembungan suara yang terjadi dalam tubuh KPUD Bolmong ikut melibatkan top eksekutif daerah, yang harusnya kita tempatkan sebagai panutan dan teladan bagi seluruh lapisan masyarakat. Sadar atau tidak kita semua kembali diberikan pelajaran yang sangat berharga bahwa kalau mau menjadi orang yang tidak akan pernah dengan mudahnya disentuh oleh hukum, bercita-citalah menjadi penguasa, karena dengan kekuasaan kita bisa melakukan apa saja.

Dalam dunia kejahatan internasional, para mafia adalah orang-orang yang tidak akan mudahnya disentuh oleh hukum sebagaimana yang dikemukakan dalam prolog di atas. Kalau mau menarik relevansinya dengan apa yang terjadi di totabuan tercinta ini, akankah kita menyamakan para mafia dengan para top eksekutif daerah ini? Tak bedakah Bupati Bolmong dengan para mafia tersebut? Akan lebih baik jika yang menjawabnya adalah rakyat totabuan tercinta.#