Ditulis awal Juni 2005
untuk menanggapi isu “Pengkhianat” yang merebak di Bolmong pada saat
pelaksanaan kampanye pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Sulawesi Utara
periode 2005-2010, yang menempatkan Hamdi Paputungan sebagai satu-satunya putra
Totabuan yang ikut bertarung dalam Pilgub. Dipublikasikan oleh Harian Manado
Post, tanggal 01 s.d 06 Juni 2005
Saya baru saja memasuki kamar tidur untuk istirahat ketika
telepon genggam saya berbunyi dengan nada menandakan ada SMS (short Message
Service) yang masuk. Waktu saat itu menunjukkan pukul 21 lewat 35 menit. Di
layar telepon genggam tertera nama seorang teman sesama alumni Makassar yang
sangat saya kenal, yang saat ini masuk dalam tim sukses salah satu kandidat
calon Gubernur Sulut yang akan bertarung dalam Pilkada mendatang. Di dalam media
SMS yang tersedia tertulis kalimat “biarlah
sementara waktu kami menjadi pengkhianat daerah, akan tetapi hati nurani tetap
untuk putra daerah”. Kontan saya tergelitik dan secara refleks langsung senyum
kecil sambil coba memikirkan batasan “pengkhianat” yang dimaksud. Terlebih
untuk saat ini, istilah ini seringkali melahirkan berbagai macam interpretasi
yang terbungkus rapih oleh sederet landasan argumentasi yang mendasari itu. Dan
dalam konteks seperti ini yang dimaksudkan sudah pasti berhubungan dengan
dikotomi persepsional antara yang putra asli Bolmong dan yang bukan.
Beberapa
waktu kemudian, senyum kecil saya tiba-tiba berubah menjadi sebuah kekagetan
tak kala melalui telepon genggam seorang senior saya, yang juga salah satu tim
kampanye pasangan calon (yang bukan putra asli Bolmong), masuk sebuah pesan
singkat yang bertuliskan “kita doakan
bersama-sama agar para pengkhianat totabuan akan dikutuk oleh Bogani-Bogani dan
leluhur-leluhur naton (torang/kami)” dengan nomor pengirim yang tidak
dikenal. Kekagetan saya tentu saja diiringi suatu bentuk kekecewaan dan
kesedihan dengan pertanyaan yang berkecamuk dalam hati “kenapa harus seperti
ini?”. Secara kontekstual, hal ini tentu saja menjadi sebuah pewacanaan politik
yang teramat disayangkan untuk digulirkan karena secara tidak langsung pesan
ini mengorientasikan pemahaman yang sangat subjektif, tidak realistis dan
pemasungan terhadap kehidupan berdemokrasi. Sadar atau tidak kita sepertinya
lupa bahwa kita berada dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
mengakomodir, bahkan mengakui secara hukum nilai-nilai kemajemukan. Bahwa momen
ini adalah pemilihan Gubernur, dan Bolmong bukan pemilik tunggal Sulawesi
Utara. Kalau ini adalah suatu wujud protes terhadap pemerintah provinsi yang
ada selama ini, dengan kondisi Bolmong yang selalu dianaktirikan, maka itu
bukan sebuah jawaban yang tepat. Negara kita adalah negara demokrasi yang
kemudian dijabarkan dengan sistem multi partainya. Dan saya rasa seluruh
masyarakat tidak akan begitu bodohnya untuk tidak paham bahwa setiap partai ada
aturan mainnya. Ada berbagai mekanisme dan aturan yang mengikat kadernya dengan
garis kepartaian yang telah ditetapkan, sehingga melanggarnya tidak semudah
membalikkan telapan tangan. Dan untuk hal ini, kita semua setidaknya harus
memahami, mengerti, mengakui secara jujur bahwa permasalahan ini konteksnya
agak beda. Kalau mau marah dengan kondisi yang ada, alamatkan itu kepada mereka
yang menciptakan sistem kepartaian. Kenapa harus partai dan bukan atas unsur
etnisitas. Dan seandainya unsur etnisitas yang dikedepankan, apakah kita bisa
membayangkan pertikain yang akan terjadi nanti. Negara ini pasti umurnya
pendek.
Esensi
Pengkhianat
Dalam
kamus bahasa indonesia yagn coba saya telaah, “khianat” memberikan definisi
berdusta, durhaka, ingkar, perbuatan menjahati, menipu atau memperdaya. Ada
yang kemudian menjadi begitu menarik ketiak kita akan membicarakan istilah
“pengkhianat” di sini. Menariknya karena ternyata konsep pengkhianat
mengecualikan pemahaman terhadap konteks-konteks tertentu, tergantung dari
perspektif mana kita melihat itu. Bisa itu pengkhianat dalam perspektif
kebenaran, kesalahan, kemujuran, kesialan, ataupun yang lebih emosional
disebabkan bersinggungan langsung dengan sentimen etnisitas yakni “harga diri”.
Dari beberapa perspektif yang disebtukan tadi, “kebaikan” menjadi sesuatu yang
universal. Kalau kemudian mau dianalogikan ke dalam sebua sistem, maka
“kebaikan” adalah sistemnya dan perspektif lainnya adalah sub sistemnya.
Ditinjau dari aspek manapun, individu yang diidentikkan dengan “pengkhianat”
akan selalu menempatkan diri dalam perspektif “kebaikan”. Kalaupun tujuan
sebenarnya adalah demi sub sistem yang ada, kebaikan selalu saja menjadi payung
idealisme untuk menaungi tujuan tersebut. Belum ada mungkin yang akan
mengatakan; ini demi kesalahan, demi kejahatan, demi kesialan. Atau masih
jarang yang bilang; ini untuk kemujuran, tak terkecuali untuk kebenaran, karena
yang pasti “benar” belum tentu baik, dan yang “baik-baik” belum tentu benar.
Kebaikan dalam konteks ini sudah pasti relatif, tergantung dari pemaknaan dan
pemahaman setiap individu. Bisa itu kebaikan untuk diri sendiri, keluarga,
kelompok ataupun satuan sosial yang lebih luas lagi, yakni masyarakat, sehingga
kadang-kadang perlu ada pemilahan yang dapat lebih dipertanggungjawabkan
terutama terhadap publik, apakah ini memang sebuah pengkhianatan atau bukan.
Dalam memilah kita akan bisa mengukur dengan sederet indikator yang ada,
tingkat kepatutan, kelayakan ataupun kepantasan ketika kita harus
mengidentikkan sebuah pengkhianatan, karena untuk saat ini, terlebih dalam
konteks berpolitik, menjilat air liur sendiri adalah hal biasa. Dan pada
akhirnya yang akan terucap kemudian ialah; “oh bagitu dang”, “so nda salah
pilih torang”, so butul katu”, “nda rugi torang pe suara”.
Kalau
kemudian yang diperspektifkan adalah menyangkut “harga diri” maka konteksnya
juga perlu diperluas. Mempersempit pemaknaan terhadap esensi “harga diri”
dengan sendirinya juga akan melahirkan paradigma yang parsialistik, subjektif,
terbatas dan tidak menyeluruh, dikarenakan hanya mengakomodir nilai-nilai
tertentu. Pada dasarnya sentiment etnisitas adalah sesuatu yang lazim untuk
tumbuh dan berkembang dalam alam demokrasi, karena eksistensi negeri ini lahir
dari beragam etnisitas yang ada. Akan tetapi saya rasa akan lebih baik
seandainya ini ditempatkan sesuai porsinya dan dapat lebih
dipertanggungjawabkan dengan tetap memperhatikan realitas yang berkembang
ditengah masyarakat. Kalau porsinya nanti pada saat pelaksanaan pilgub, maka
itu perlu dipertanyakan, karena harga diri orang Bolmong bukan hanya pada saat
Pilgub. Dan juga kalau mau mempertaruhkan yang namanya harga diri, kenapa tidak
dari sebelumnya “waktu pemilihan anggota DPD RI yang lalu kamana abo?”. Padahal
kalau mau jujur, saat itu adalah salah satu momen yang tepat jika kita ingin
mengangkat harkat, martabat dan harga diri orang Bolmong.
Untuk
membangun dan memantapkan sebuah “harga diri” diperlukan kesepahaman dan
kesamaan persepsi antar seluruh komponen masyarakat. Apakah itu dengan upaya
merekonstruksi kehidupan sosial yang ada, atau dengan mengupayakan revitalisasi
terhadap nilai, norma yang akan dijadikan dasar acuan ketika kita hendak
mencitrakan jati diri orang Bolmong. Dan hal ini tentu saja membuthkan proses
yang panjang. Ibarat sebuah rumah, kita terlebih dahulu harus mendirikan
pondasi yang kuat agar nantinya bangunan rumah yang ada akan sangat kokoh,
tahan lama dan tidak mudah goyah meskipun diterpa hembusan angin yang cukup
kencang.
Untuk
memaknai dan memahami sebuah harga diri, kita sepertinya harus selalu menengok
apa yang pernah dikatakan Katamsi Ginano, yang secara tersirat membahasakan
bahwa dalam lokalitas kultur orang Mongondow “ada nilai-nilai tertentu yang
hilang”. Dan sebenarnya, nilai-nilai itulah yang harusnya kiata cari
bersama-sama, karena substansi kemongondowannya kita ada di situ.
Pengkhianat
atau bukan!
Drs.
Hi. J.A Damopolii pasti akan mengatakan bahwa ini demi kebaikan ketika ia harus
menjadi salah satu tim sukses Adolf J. Sondakh-Ariyanti Baramuli Putri untuk
wilayah Bolmong. Padahal sebelumnya kita semua tahu kondisinya seperti apa dan
ini menjadi sesuatu yang tidak mudah untuk disalahkan. Tak ketinggalan seorang
Drs. Syachrial Damopolii, ia pasti akan memperspektifkan sebuah kebaikan ketika
dalam berbagai statement-nya di beberapa media massa, meminta tim 19 untuk
konsisten, bertanggung jawab dan memperjuangkan Hamdi Paputungan dalam Pilgub
nanti. Akan tetapi dalan sebuah pesta pernikahan beberap waktu lalu, dengan
eksplisitnya beliau menganalogikan Pilgub dengan sepak bola sehubungan dengan
kapasitasnya sebagai Ketua Pengda PSSI Sulut sambil mengatakan “kalau ada yang
jago dan sudah terbukti di luar kandang, kenapa torang harus pilih yang lain!”,
diikuti riuhnya tepuk tangan hadirin yang hadir ketika itu. Sama halnya dengan
tim 19 yang terdiri dari para tokoh masyarakat, tokoh pemuda Bolmong yang
dulunya mengatakan wajib hukumnya bagi orang Bolmong untuk memilih putra daerah
jika terakomodir dalam Pilgub nanti, akan tetapi untuk saat ini,
prtanggungjawaban dan komitmenya masih terasa dsangat kabur. Eksistensi tim 19
dalam konteks ini pasti tidak akan efektif, yang lebih disebabkan perekrutan
personil yang kurang representatif. Bagaimana akan efektif kalau yang ada
didalamnya adalah orang-orang partai yang sudah jelas garis kepartainnya. Dan
satu hal yang perlu diutarakan, lebih khusunya dalam dunia politik yang sering
mementokkan kemafhuman kita bahwa “19 bukan berarti 1 dan 1 tidak mungkin 19”. Apakah
kemudian mereka-mereka yang merepresentasikan tokoh masyarakat Bolmong ini
pantas untuk kita kategorikan sebagai pengkhianat atau bukan. Saya rasa ini
harus diperjelas dan kalau boleh dipertegas. Akan sangat tidak adil seandainya
istilah pengkhianat hanya milik orang-orang tertentu, sementara mereka-mereka
yang dikultuskan oleh polarisasi sosial tidak menyatu didalamnya. Jiak kemudian
itu adalah sebuah pengkhianatan sebagaimana yang berkembang saat ini, maka kita
harus menyepakati beberapa hal. Pertama; partai politik Bolmong selain yang
mengusung putra daerah sebagai calonnya, semuanya adalah pengkhianat karena
memperdaya kondisi yang ada. Kedua; rakyat Bolmong yang masuk dalam tim
kampanye pasangan calon yang bukan putra asli daerah adalah pengkhianat karena
mendustai kenyataan yang ada. Ketiga; rakyat yang datang dan berkumpul pada
saat kampanye pasangan calon yang bukan putra daerah adalah pengkhianat karena
menipu diri sendiri. Keempat; mereka yang tepuk tangan ketika nama salah satu
pasangan calon yang bukan putra daerah disebutkan dalam setiap hajatan adalah
pengkhianat karena mengingkari harga diri. Kelima; mereka yang mendoakan agar
para pengkhianat Totabuan dikutuk oleh para Bogani dan leluhur juga adalah
pengkhianat karena menjahati eksistensi republik ini. Dan untuk menindaklanjuti
hal ini, bagaimana kalau kesepakatan itu kita tuangkan dalam MoU (memorandum of
Understanding) yang ditanda tangani oleh seluruh lapisan masyarakat Bolmong
sambil mempromosikan itu ke tingkat regional, nasional bahkan ke tingkat
internasional, bahwasanya sebagian besar, bahkan mungkin seluruh rakyat Bolmong
adalah pengkhianat. Atau bisa juga pengkhianat kita perda-kan dan masukkan
dalam lembaran daerah untuk diundangkan agar memperoleh legitimasi yang sah
secara hukum.
Memahami
sebuah pengkhianatan diperlukan aspek rasionalitas yang didasari atas realitas
yang objektif. Karena biasanya pengkhianatan lahir dari keterpaksaan dan
kondisi yang ada, sehingga sering kali pada dasarnya itu bukanlah sebuah
pengkhianatan. Ketika kita hendak menyematkan sebuah pengkhianatan, hati nurani
selalu saja menari-nari dengan tarian yang sangat ganasnya sambil mengatakan
“saya akan diletakkan dimana?’
Pengkhianat
sering kali diburu, dicaci maki, dihujat habis-habisan ketika ia lewat pintu depan.
Akan tetapi pintu belakang sepertinya tidak akan pernah tertutup rapat untuk
jalan masuk atau keluar, dengan daya dobrak kesusilaan yang hampir tidak ada
bedanya.#