Kamis, 27 Desember 2007

Berantas Kebodohan Perangi Kemiskinan



Ditulis akhir Desember 2007, dipublikasikan Koran Radar Totabuan Edisi Perdana.

Analogisme formal menyuratkan dikotomi antara dua kutub yang berlawanan ketika sebuah objek ditempatkan dalam suatu sudut pandang dimensional, dan lagu tentang kebodohan maupun kemiskinan adalah nyanyian sendu dalam petikan dawai merdu kapitalisme global, yang sering kali mengangkangi peradaban sebuah masyarakat, bangsa dan Negara. Keduanya sampai detik ini masih tetap menjadi isu sentral sekaligus momok yang sangat mengerikan dalam pelaksanaan dan penerapan pembangunan, tak terkecuali negeri dimana saya, anda, kita semua sedang berdiri antara dua perspektif yang berseberangan, optimis atau pesimis. Setelah hampir 63 tahun merasakan pahit manisnya kemerdekaan, kebodohan dan kemiskinan sepertinya tidak akan pernah bosannya menggerogoti hak-hak fundamentalisme manusia untuk hidup dan menentukan pilihan bagaimana cara ia untuk hidup. Di satu sisi, aspek elementer yang paling utama ketika bangsa ini sepakat membumikan kemerdekaan adalah untuk menuju suatu tatanan masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera sebagaimana yang dicita-citakan bersama. Sudut pandang yang lain, kecemberutan dan kesedihan masih saja menghiasi wajah-wajah murung sebagian besar masyarakat, termasuk wajah totabuan tercinta dimana saya, anda, kita semua masih tetap berdiri dengan berbagai kacamata pandang berbeda.

Andi Dwi Dharma (perintis dan pendiri Radar Totabuan), sudah pasti memiliki kacamata pandang sendiri untuk melihat sekaligus mencermati potret muram dan wajah sedih totabuan kita. Entah itu dengan kacamata yang bersih mengkilat, ataupun kacamata kotor buram dimana ia berdiri antara pengabdian dan kepentingan, ataupun antara loyalitas dan kegaduhan hati ketika harus berdialektika dengan tarian kebodohan dan kemiskinan yang sering kali menelanjangi diri serta menampar wajah-wajah sendu rakyat totabuan. Saya sendiri belum berada dalam suatu kepastian untuk menjawab itu, akan tetapi kehadiran Radar Totabuan setidaknya bisa memberi warna tersendiri dalam perkembangan dunia pers lokal sekaligus menjawab kacamata mana yang ia gunakan. Jargon yang diangkat pun−”Berantas Kebodohan Perangi Kemiskinan”− memuat konsep universal yang coba diimplementasikan secara lebih spesifik untuk diketengahkan dalam konteks lokal. 

Dalam artian yang lebih luas, Dwi Dharma dengan pemikirannya yang cukup kontroversial untuk ukuran seorang pejabat (Kepala Dinas Infokom Bolmong) saat ini, termasuk pandangannya bahwa ada yang salah dalam teknis pelaksanaan berbagai kebijakan pemerintah yang pro rakyat, dengan segala bentuk keberanian dan kenekatanya mencoba memotret sisi lain dari keburaman hidup dan ketertindasan hak kaum marginal totabuan untuk kemudian diangkat sebagai konsumsi publik. Dan ketika itu menjadi konsumsi publik, maka hal yang pasti bahwa pertaruhan dan pergumulan telah dimulai, baik itu secara idealisme, loyalitas, pengabdian ataupun sederet kepentingan lainnya, dan seorang Andi Dwi Dharma tentu sangat siap dengan itu.

Pencerahan dan pembentukan opini publik memang sangat penting untuk mengarahkan proses lahirnya mindset baru sebagai jalan peretas menuju suatu tatanan masyarakat yang diidamkan. Dan lokalitas rakyat totabuan tentu sangat menginginkan itu, bahwa kearifan lokal sangat penting untuk mendorong ketertinggalan masyarakat terhadap pendidikan dan kesejahteraan hidup yang lebih layak, bahwa dengan akses yang lebih terbuka bagi masyarakat miskin terhadap dunia pendidikan, akan mendorong partisipasi masyarakat untuk lebih mensejahterakan hidupnya, bahwa petikan lagu wajib belajar yang dulu sering kita nyanyikan sewaktu sekolah “berantas kebodohan perangi kemiskinan//habis gelap terbit terang//hari depan cerah” bisa menjadi hitme marss yang memecah kesenduan, dan bahwa saya, anda, kita semua memiliki tanggung jawab yang besar untuk itu, tentu saja dengan keberanian layaknya Radar Totabuan. 

Saya teringat dengan keluh kesah penyair Goenawan Mohamad dalam “Chairil Anwar” bahwa pada waktu dimana kita sering melihat manusia-manusia dipukul oleh penjahat-penjahat, disiksa oleh penguasa dan difitnah oleh publik, kita tetap masih takut menjadi “AKU”. Kita merasa lebih aman dengan menjadi “KITA”. Dan Andi Dwi Dharma bukan bagian dari itu.#

Sabtu, 27 Oktober 2007

Eksistensi Pemuda dan Paradigma Perubahan (Refleksi Sumpah Pemuda)



Ditulis untuk memperingati Hari Sumpah Pemuda tahun 2007. Pertama kali dipublikasikan oleh Harian Manado Post sekitar awal November 2007. Dipublikasikan kedua kalinya oleh Harian Radar Totabuan (28 Oktober 2009) untuk memperingati Hari Sumpah Pemuda tahun 2009.

“Berikanlah aku seratus pemuda yang sanggup hidup jujur dan menderita, maka akan kurombak wajah Italia” (Ignazio Silone).
“Kalau pada saya diberikan seribu orang tua, saya hanya dapat memindahkan gunung semeru, tapi kalau sepuluh pemuda diberikan kepada saya, maka seluruh dunia dapat saya goncangkan” (Soekarno).

Baik Silone maupun Bung Karno tentu tidak dalam kesadaran yang kurang ketika mengucapkan itu. Artikulasi yang dikemukakan menyiratkan sebuah magnet patriotisme dan nasionalisme yang sangat kental untuk dijadikan suatu bentuk keyakinan mendasar, bahwa fundamentalisme kepemudaan akan mampu menghadirkan titik balik peradaban suatu bangsa. Mereka berdua sama-sama berangkat dari asumsi kodrati yang kemudian menjadi kepercayaan, bahwa dengan pemuda, mereka sanggup melakukan apa saja, tak terkecuali untuk mengobati kemurungan wajah sebuah bangsa yang lagi sakit, ataupun dengan antusiasme yang tinggi untuk mengoncangkan dunia. Dan memang pemuda adalah ujung tonggak tegaknya sebuah kedaulatan, harga diri, maupun harkat dan martabat suatu bangsa. Eksistensi pemuda dalam bangunan peradaban, dihadirkan dalam sosok yang penuh semangat, progresif, inovatif, memiliki sensitivitas sosial yang tinggi, peka terhadap perubahan dan menjunjung tinggi nilai-nilai patriotisme dan nasionalisme. Romantisme sejarah pun tak pelak membuktikan itu, pergerakan pemuda 1908, sumpah pemuda 1928, pemuda dan mahasiswa1966, reformasi 1998 adalah sebagian dari catatan emas yang menokohkan pemuda sebagai tongak utama pergerakan dan pembaruan. 

Dalam perhelatan historisitas yang cukup panjang, aspek kepemudaan secara kontekstual diidentikkan dengan pergerakan maupun perubahan. Bahwa pemuda dilahirkan oleh zaman untuk meletakkan dasar-dasar pergerakan menuju sebuah titik perubahan dalam berbagai ruang lingkup kehidupan, baik ruang lingkup sosial, budaya, ekonomi, politik, hukum dan sebagainya, yang kesemuanya sangat menentukan arah dan gerak langkah pembangunan.

Romantisme Globalisasi

Posisi-posisi strategis dan dominan dalam lingkup pelaksanaan pembangunan inilah yang mendorong aspek kepemudaan rentan oleh sederet interpretasi yang mengiringinya. Baik itu interpretasi dari sisi patriotisme dan nasionalisme, ataupun ketika aspek kepemudaan ini diperhadapkan dengan arus globalisasi, sebagaimana yang terwacanakan saat ini. Globalisasi sebagai turunan dari kapitalisme memang teramat sulit untuk dihindari. Kapitalisme dengan paham-paham kapitalisnya adalah sebuah realitas yang tumbuh subur dan menjamur dalam negara-negara berkembang, tak terkecuali Indonesia yang secara eksplisit menampakkan ambivalensi terhadap dua “isme” terbesar dalam peradaban dunia, dengan menyerap kapitalisme setengah-setengah dan sosialisme yang mati suri. Tren globalisasi oleh berbagai kalangan dipandang sebagai salah satu penyebab runtuhnya nilai-nilai patriotisme dan nasionalisme pemuda. Bahwa globalisasi telah menciptakan zaman dimana gaya hidup praktis dan pragmatis seakan telah menjadi “isme” baru dikalangan pemuda dengan mengibarkan bendera materialisme, konsumtivisme dan hedonisme, yang dengan sendirinya melahirkan berbagai pemaknaan yang sering kali memojokkan peran pemuda dalam sudut patriotisme dan nasionalisme yang mengkhawatirkan. Pemuda kemudian diidentikkan sebagai golongan yang tahunya hidup hura-hura dalam balutan materialisme dan konsumtivisme yang dipertautkan sebagai gaya hidup modern sebagaimana yang semakin menggila saat ini, salah satunya dengan doktrinisasi ala media pertelevisian lewat sinetron-sinetron yang secara gamblang mempertontonkan “isme-isme” kapitalis yang tidak ada habisnya. Ini tentu saja menjadi masalah krusial yang akan membawa implikasi tersendiri dalam lingkup pembangunan, mengingat aspek kepemudaan sangat peka terhadap berbagai macam intervensi lingkungan dan penalaran terhadap objek tangkapan yang bisa saja semu. Proses pencarian jati diri untuk pembentukan karakter dan kepribadian diperhadapkan dengan derasnya tren globalisasi yang tergantung tinggi di langit peradaban kapitalisme. Dan yang berkembang kemudian, Apresiasi terhadap nilai-nilai pergerakan dan perjuangan untuk mempertegas komitmen lahiriahnya sebagai tulang punggung pembangunan, akhirnya tergilas oleh arus globalisasi yang terus mencengkeram zaman. Patriotisme dan nasionalisme seakan tercerabut dari akar budaya yang melingkari stereotype kaum muda. 

Oligarki kesisteman

Implementasi sistem-sistem pemerintahan dan kemasyarakatan yang dibangun selama ini, dirasakan membawa implikasi yang sangat signifikan terhadap peran aktif pemuda dalam melaksanakan kodratnya sebagai tulang punggung bangsa. Diantara yang paling mendasar, yakni dengan begitu sangat melekatnya bangunan sistem sosial budaya yang lahir dan berkembang ditengah masyarakat, dan terbentuk dalam kungkungan terma-terma sosial yang sangat dogmatis, bahwa yang “muda” belum pantas untuk apa-apa, belum semestinya untuk bicara dan menyampaikan pendapat, belum waktunya untuk di dengar, belum bisa diberikan tanggung jawab yang besar, ataupun belum layak jadi pemimpin. Dalam konteks ini oligarki elite menampakkan wujud sistem yang terbungkus rapih oleh adat dan tradisi yang diserap oleh sebuah komunitas sosial, bahwa seperti itulah bangunan sistem sosial yang sudah ada dari dulunya, dan yang tua-tua/kaum elite memang diciptakan untuk didengar dan dituruti. Oligarki elite sosial ini pun kemudian menjadi akar untuk tumbuhnya pohon-pohon sistem lainnya dengan persepsi dan landasan argumentasi yang hampir sama. 

Perkembangan sistem kepartaian yang diterapkan saat ini pun menunjukkan fenomena sosial seperti itu. Sistem partai dengan proses perekrutan dan pengkaderan para kader-kader muda yang disiapkan untuk menjadi pemimpin-pemimpin bangsa, sepertinya tak jauh beda dengan bangunan sistem sosial yang terus berkembang di masyarakat. Proses regenerasi yang dijalankan masih terkesan setengah-setengah sehubungan dengan oligarki partai yang masih sangat dominan. Partai sebagai pintu gerbang untuk berprosesnya kader-kader pemimpin muda, masih cukup elitis membuka pintu selebar-lebarnya. Meskipun perkembangan sistem kepartaian saat ini sudah menuai titik terang perubahan dengan langkah beberapa partai besar merekrut kader-kader muda, akan tetapi pintu gerbangnya hanya digeser sedikit untuk bisa dilalui beberapa orang saja, dengan komitmen politik untuk kemaslahatan elite partai. Sehingga yang dominan tetap saja elite partai dan bukan kaum muda yang seharunya wajib menuntut dominasi yang lebih besar. 

Titik Balik Perubahan

Fundamentalisme kepemudaan menjadi sesuatu yang “sakral” ketika tuntutan perubahan berubah wujud menjadi kewajiban. Dan itu lazim dalam terang benderangnya alam demokrasi dan bagian dari keharusan zaman. Komposisi pemuda usia produktif 18 – 40 tahun dari total populasi rakyat Indonesia mencapai 36,7% atau sekitar 88 juta jiwa. Ini tentu saja menjadi sesuatu yang sangat riskan, dengan jumlah populasi yang cukup besar, pemuda sudah sepatutnya menuntut peran yang lebih besar dan kesempatan untuk menduduki posisi-posisi strategis dalam lingkup pemerintahan dan pembangunan. Tuntutan ini pun setidaknya harus diimbangi dengan konstribusi-konstribusi pemikiran dan tindakan untuk mecapai tahap “take and give” yang memadai. Ada beberapa poin mendasar yang kiranya perlu diimplementasikan kaum muda untuk menuju suatu perubahan . Pertama; kaum muda perlu melakukan reinterpretasi akan eksistensi diri dalam berbagai ruang lingkup kehidupan. Dan ini harus dimulai dari diri sendiri untuk menciptakan keharmonisan antara eksistensi diri dan lingkungan sekitar. Kaum muda harus berdiri tegak dengan kesadaran penuh bahwa mereka adalah tulang punggung bangsa, tonggak utama pembangunan, dan ditakdirkan untuk menjadi generasi penerus dengan tidak bosanya menimpa diri dengan berbagai kemampuan dan ketrampilan dalam rangka artikulasi peran dan fungsi. Kapasitas, kapabilitas dan kompetensi sangat diperlukan untuk menunjang proses-proses pembangunan sebagai bentuk jawaban atas tantangan arus perubahan zaman yang semakin deras. Kedua; memiliki insiatif yang besar untuk mengambil peran-peran strategis dalam rangka pelaksanaan pembangunan dan kemasyarakatan yang bisa dimulai dari satuan sosial yang terkecil, baik itu dalam keluarga, tetangga, lingkungan maupun desa/kelurahan. Hal ini menjadi sangat penting karena bangunan sistem sosial yang menempatkan oligarki elite sosial sebagai sistem yang sangat dominan di tengah masyarakat, lahir dan berakar dari satuan sosial yang kecil. Dalam konteks ini, pemuda diwajibkan untuk menunjukkan dan menonjolkan berbagai potensi sumber daya yang dimiliki, yang kemudian bisa dipergunakan untuk membendung dominasi elite sosial yang ada. Ketiga; memiliki sensitivitas sosial yang tinggi dalam rangka mempertegas komitmen pembangunan dengan memprioritaskan pada masalah-masalah yang langsung bersentuhan dengan rakyat. Dengan langsung berada di tengah masyarakat diiringi kepekaan sosial dan penegasan terhadap komitmen pembangunan, secara tidak langsung akan membentuk pemahaman dan image positif dari masyarakat. Keempat; harus bisa menjadi pioneer dalam pemecahan masalah dengan keberanian untuk mengambil sikap, tindakan dan keputusan yang bisa dipertanggungjawabkan kepada publik, dibarengi dengan kepercayaan diri dan rasa tanggung jawab yang besar. Dalam tataran ini, pembangunan karakter dan kepribadian sangat penting dilaksanakan sebagai proses penyadaran publik dan juga menjadi salah satu jalan peretas untuk mengikis terma-terma sosial yang dogmatik. Kelima; memiliki kemampuan untuk memanfaatkan momen-momen krusial yang terjadi dan berkembang ditengah masyarakat sebagai bagian dari sosialisasi diri dan mempertegas kembali fungsi dan peran pemuda dalam proses pelaksanaan pembangunan. Dan terakhir; memiliki keberanian untuk tampil dalam kancah perpolitikan dan kepemimpinan nasional. 

Berbagai romantisme globalisasi dan oligarki sistem yang ada saat ini, tidak semestinya ditempatkan sebagai musuh zaman, melainkan diposisikan sebagai sebuah tantangan yang menuntut kaum muda untuk bisa menjawab itu dengan satu tekad dan keyakinan yang penuh aroma positif , “sudah saatnya kita berubah”.#

Jumat, 17 Agustus 2007

Celoteh Pinggiran "17-an"



Ditulis untuk memperingati hari kemerdekaan Indonesia yang ke-62, tepatnya 17 Agustus 2007.

Dalam rangka memperingati hari kemerdekaan Indonesia yang ke lima puluh…..?lima puluh dua yach?. Belum cukup bagi Pak Lurah berpikir terus untuk mengolah kata melanjutkan penyampaian, seketika undangan yang hadir satu-satu mulai celetuk dengan gaya spontanitas yang cukup mengharukan..”lima puluh dua!!” kata beberapa undangan yang ada di baris paling depan. Barisan kedua tempat duduk tak mau kalah…”oh bukang…lima puluh enam do’ee!!”. Belum sedetik mengucap, dari bangku berikutnya…”sambarang ngoni..lima puluh delapan ahh..!!. gaduh sejenak, tiba-tiba suara terbanyak para undangan sampai pada satu kesimpulan “lima puluh enam”. Pak Lurah spontan menyungging senyum kecil dengan mimik muka agak ekspresif, “jadi ka berapa?lima puluh enam atau?” Sekali lagi hadirin yang hadir serentak “iyo..lima puluh enam pak!!”. Tanpa perlu panjang lebar pak lurah langsung “Oke dang Hari Ulang Tahun kemerderkaan Negara Indonesia yang ke lima puluh enam!!!, Ini ngoni yang bilang neh bukang kita!!!”. Penggalan prolog di atas adalah sambutan kepala kelurahan selaku unsur pemerintahan dalam sebuah pesta nikah yang kebetulan saya hadiri beberapa waktu lalu di salah satu kelurahan di Kota Kotamobagu. Saya yang kebetulan berada di rentetan bangku belakang−sebagaimana dikhususkan untuk rakyat kecil di setiap hajatan karena tempat di depan untuk pejabat dan publik figur lainnya −langsung bengong dengan senyum tertahan.

Tak berselang lama, di suatu pagi yang sangat dingin, tidur saya dikagetkan suara loudspeaker yang sangat keras dari sekitaran wilayah kantor Kelurahan yang kebetulan cukup dekat dengan tempat saya tinggal, tepatnya di Kelurahan Biga. Dengan agak malas dan samar-samar saya bangun untuk coba mendengar himbauan darurat yang ternyata disampaikan langsung oleh Kepala Kelurahan. Diujung michrophone terdengar suara Pak Lurah mencak-mencak dengan nada tinggi. “bagi masyarakat yang tinggal di Biga, masih merasa sebagai orang Biga dan bagian dari rakyat Indonesia, ini so mo HUT kemedekaan Indonesia yang ke-62, kalo bole pasang akan dulu itu umbul-umbul dengan arkus. Masakan ngoni cuma mo pasang tu dia kong nimbole, ,nanti mo bilang bagimana lagi dang, jadi sekali lagi tolong akang neh. Kalo ngoni merasa bukang orang biga deng so bukang orang Indonesia, biar jo noh nda apa-apa..terserah!!”. demikian mungkin sedikit konklusi dari himbauan Pak Lurah tersebut. Saya terhentak bangun untuk kembali bengong dengan senyum tertahan.

Masih di hari yang sama, matahari belum sempat tepat di atas ubun-ubun. Suara loudspeaker yang sangat keras kembali terdengar. Akan tetapi muasal suara ini bukan berasal dari sekitaran kantor Kelurahan, dan juga bukan dari Kepala Kelurahan. Namun suara itu berasal dari sebuah mobil pickup dilengkapi perangkat sound sistem milik salah satu dealer motor yang berkantor di kelurahan Biga, dan kali ini tujuannya mengambil rute mengelilingi wilayah Kelurahan. Ternyata mobil tersebut dipinjam oleh Kelurahan untuk menyampaikan himbauan darurat kesekian kali kepada warganya, dan bisa saya pastikan kemudian bahwa suara di balik michrophone tersebut adalah suara kepala lingkungan I, yang membawahi wilayah lingkungan tempat tinggal saya. Dengan menduga-duga, indera pendengaran coba saya tajamkan untuk sekadar menangkap inti himbauan tersebut. Tak salah kaprah esensi penyampaian masih sama dengan yang disampaikan oleh Pak Lurah pagi tadi, tak lupa pula dengan intonasi nada yang cukup tinggi. Dan sekali lagi saya harus dibuat bengong dengan senyum tertahan.

Kemudian, saya, anda, hadirin yang ada di pesta nikah, orang-orang di kelurahan tempat tinggal saya dan kita semua sebenarmya ada dimana? Di Indonesia kah atau dimana?, Apakah ini Indonesia-ku atau bukan? Apakah HUT kemerdekaan juga mengiringi siklus kehidupan manusia yang selalu saja membentangkan pemaknaan sistemik yang alamiah dan bagian dari teori hukum alam bahwa “manusia semakin umur-an, semakin pelupa”. Atau malah kita lebih enteng untuk kemudian menjustifikasikan pemahaman yang mengiringi itu bahwa “Indonesia semakin umuran, semakin pelupa”. Manusia setiap bertambah umur pasti sujud syukur masih diberi umur, diberi kesehatan, masih diberi kesempatan melakukan introspeksi diri, menilai segala sikap, perilaku, tingkah laku untuk dijadikan landasan menuju suatu perubahan nilai hidup yang lebih baik. Bangsa ini, Indonesia tercinta juga setidaknya melakukan hal yang sama. Sujud syukur dijadikan rutinitas biasa dengan terwakilkan oleh pelaksanaan upacara bendera sambil sejenak mengheningkan cipta untuk mengenang jasa para pahlawan bangsa. 

Sementara Introspeksi bangsa apakah sejalan dengan itu? Apakah bangsa besar ini masih melakukan penilaian terhadap sikap, perilaku, tingkah laku kepada rakyatnya? Apakah bangsa yang sejak zaman dulu hinga sekarang ini, wilayah kedaulatannya masih tetap diperebutkan berbagai negara dikarenakan kekayaan alam yang melimpah ruah, masih tetap setia untuk memikirkan nasib ratusan juta rakyatnya? Dalam alinea kedua pembukaan Undang-undang Dasar 1945 dikatakan “dan perjuangan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat adil dan makmur”. Alinea keempat “kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu undang-undang dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada : Ketuhanan yang maha esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.

Jalan peretas menuju kemerdekaan telah diperjuangkan olah para pendiri bangsa ini. Mereka dengan mengorbankan jiwa, raga dan tetesan air mata yang tiada hentinya telah mengantarkan kita ke depan pintu gerbang kemerdekaan, sebagaimana bunyi alinea kedua. Ibarat makan, kita sudah disiapkan piring dan lauk pauk yang didapatkan dengan segala daya dan upaya, untuk memberikan wadah yang seharusnya sebagai tempat makan. Sementara kita yang ditakdirkan kecipratan enaknya, tahu-nya tinggal duduk manis sambil makan untuk menikmati hidangan tersebut. Apa kurang nikmatnya kita. Pada saat kita makanpun para pendiri bangsa memberikan pedoman-pedoman yang sangat mendasar bahwa supaya makannya enak, ngak ketelan tulang, ngak kegigit yang pahit-pahit, pedas-pedas atau yang asam-asam, makan-nya harus berdasarkan Pancasila sebagaimana tertera dalam alinea keempat.

Kalau mau dipikir-pikir, konsep bernegara yang telah dicetuskan oleh para pendiri bangsa sudah sangat brilian dan konseptual. Tinggal bagaimana cara kita mengartikulasikan, mengaktualisasikan, mengejahwantakan konsepsi tersebut kedalam konteks kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang lebih hakiki dan kemudian bisa untuk dipertanggungjawabkan. Esensi sebenarnya yang kemudian ingin dicapai dalam kemerdekaan sebuah bangsa, tak lain dan tak bukan adalah kesejahteraan rakyat yang berkeadilan, yang setiap tahunnya harus dijadikan tolok ukur dalam membangun kebangsaan yang merdeka. Dan yang harus melaksanakan itu semua adalah tanggung jawab pemerintah sebagaimana diamanatkan undang-undang, baik itu pemerintah pusat, maupun daerah. 

Enam puluh dua tahun yang lalu, kita telah diantar ke depan pintu gerbang kemerdekaan. Tugas selanjutnya adalah, bagaimana cara kita membuka pintu untuk kemudian masuk melangkah menuju sebuah masyarakat pancasilais sebagaimana yang dicita-citakan bersama. Selama bangsa ini tidak melangkah dalam bingkai ke-pancasila-an, selama itu pula kesejahteraan hanya akan menunggu dengan ketidaksabaran dan ketidakpastian dalam ruang teoritis, tidak bisa dijamah ataupun diraih. Untuk menuju suatu masyarakat yang sejahtera memang membutuhkan proses. Karena dengan berproses kita bisa mengambil sebuah ukuran untuk dijadikan pijakan apakah kita sejahtera atau tidak. Dengan berproses juga kita akan selalu diingatkan untuk introspeksi, baik itu introspeksi terhadap bangsa maupun diri sendiri.

Untuk dikenang dan selalu diingat dengan antusiasme yang dalam, sebenarnya bukanlah pekerjaan yang terlalu susah. Berbaiklah dengan semua mahluk penghuni bumi ini dan lakukan hal-hal yang bermanfaat untuk semua, maka kita akan selalu dikenang dan diingat sampai kapanpun. Bangsa ini kalau mau dikenang dan diingat oleh rakyatnya, setidaknya harus melakukan hal yang sama. Dalam artian kerahkanlah semua potensi sumber daya yang ada, untuk kemudian dipergunakan sebaik-baiknya demi kemakmuran dan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. “sejahtera” mungkin adalah kata yang sangat diidam-idamkan oleh kita semua. Sangat mungkin dengan sejahtera, hadirin yang hadir dalam pesta nikah tersebut masih tetap setia mengingat umur negeri ini. Dengan sejahtera, orang-orang di kelurahan saya pasti akan memberikan antusiasme yang nyata dalam setiap peringatan hari kemerdekaan, pak Lurah tak perlu marah-marah lagi untuk mempertanyakan apakah kita orang Indonesia atau bukan, kepala lingkungan pun tak perlu repot meminjam mobil dealer untuk menyampaikan himbaun darurat, dan yang terpenting kita semua tak harus bengong dengan senyum tertahan. Dirgahayu Indonesia-ku.#