Jumat, 17 Agustus 2007

Celoteh Pinggiran "17-an"



Ditulis untuk memperingati hari kemerdekaan Indonesia yang ke-62, tepatnya 17 Agustus 2007.

Dalam rangka memperingati hari kemerdekaan Indonesia yang ke lima puluh…..?lima puluh dua yach?. Belum cukup bagi Pak Lurah berpikir terus untuk mengolah kata melanjutkan penyampaian, seketika undangan yang hadir satu-satu mulai celetuk dengan gaya spontanitas yang cukup mengharukan..”lima puluh dua!!” kata beberapa undangan yang ada di baris paling depan. Barisan kedua tempat duduk tak mau kalah…”oh bukang…lima puluh enam do’ee!!”. Belum sedetik mengucap, dari bangku berikutnya…”sambarang ngoni..lima puluh delapan ahh..!!. gaduh sejenak, tiba-tiba suara terbanyak para undangan sampai pada satu kesimpulan “lima puluh enam”. Pak Lurah spontan menyungging senyum kecil dengan mimik muka agak ekspresif, “jadi ka berapa?lima puluh enam atau?” Sekali lagi hadirin yang hadir serentak “iyo..lima puluh enam pak!!”. Tanpa perlu panjang lebar pak lurah langsung “Oke dang Hari Ulang Tahun kemerderkaan Negara Indonesia yang ke lima puluh enam!!!, Ini ngoni yang bilang neh bukang kita!!!”. Penggalan prolog di atas adalah sambutan kepala kelurahan selaku unsur pemerintahan dalam sebuah pesta nikah yang kebetulan saya hadiri beberapa waktu lalu di salah satu kelurahan di Kota Kotamobagu. Saya yang kebetulan berada di rentetan bangku belakang−sebagaimana dikhususkan untuk rakyat kecil di setiap hajatan karena tempat di depan untuk pejabat dan publik figur lainnya −langsung bengong dengan senyum tertahan.

Tak berselang lama, di suatu pagi yang sangat dingin, tidur saya dikagetkan suara loudspeaker yang sangat keras dari sekitaran wilayah kantor Kelurahan yang kebetulan cukup dekat dengan tempat saya tinggal, tepatnya di Kelurahan Biga. Dengan agak malas dan samar-samar saya bangun untuk coba mendengar himbauan darurat yang ternyata disampaikan langsung oleh Kepala Kelurahan. Diujung michrophone terdengar suara Pak Lurah mencak-mencak dengan nada tinggi. “bagi masyarakat yang tinggal di Biga, masih merasa sebagai orang Biga dan bagian dari rakyat Indonesia, ini so mo HUT kemedekaan Indonesia yang ke-62, kalo bole pasang akan dulu itu umbul-umbul dengan arkus. Masakan ngoni cuma mo pasang tu dia kong nimbole, ,nanti mo bilang bagimana lagi dang, jadi sekali lagi tolong akang neh. Kalo ngoni merasa bukang orang biga deng so bukang orang Indonesia, biar jo noh nda apa-apa..terserah!!”. demikian mungkin sedikit konklusi dari himbauan Pak Lurah tersebut. Saya terhentak bangun untuk kembali bengong dengan senyum tertahan.

Masih di hari yang sama, matahari belum sempat tepat di atas ubun-ubun. Suara loudspeaker yang sangat keras kembali terdengar. Akan tetapi muasal suara ini bukan berasal dari sekitaran kantor Kelurahan, dan juga bukan dari Kepala Kelurahan. Namun suara itu berasal dari sebuah mobil pickup dilengkapi perangkat sound sistem milik salah satu dealer motor yang berkantor di kelurahan Biga, dan kali ini tujuannya mengambil rute mengelilingi wilayah Kelurahan. Ternyata mobil tersebut dipinjam oleh Kelurahan untuk menyampaikan himbauan darurat kesekian kali kepada warganya, dan bisa saya pastikan kemudian bahwa suara di balik michrophone tersebut adalah suara kepala lingkungan I, yang membawahi wilayah lingkungan tempat tinggal saya. Dengan menduga-duga, indera pendengaran coba saya tajamkan untuk sekadar menangkap inti himbauan tersebut. Tak salah kaprah esensi penyampaian masih sama dengan yang disampaikan oleh Pak Lurah pagi tadi, tak lupa pula dengan intonasi nada yang cukup tinggi. Dan sekali lagi saya harus dibuat bengong dengan senyum tertahan.

Kemudian, saya, anda, hadirin yang ada di pesta nikah, orang-orang di kelurahan tempat tinggal saya dan kita semua sebenarmya ada dimana? Di Indonesia kah atau dimana?, Apakah ini Indonesia-ku atau bukan? Apakah HUT kemerdekaan juga mengiringi siklus kehidupan manusia yang selalu saja membentangkan pemaknaan sistemik yang alamiah dan bagian dari teori hukum alam bahwa “manusia semakin umur-an, semakin pelupa”. Atau malah kita lebih enteng untuk kemudian menjustifikasikan pemahaman yang mengiringi itu bahwa “Indonesia semakin umuran, semakin pelupa”. Manusia setiap bertambah umur pasti sujud syukur masih diberi umur, diberi kesehatan, masih diberi kesempatan melakukan introspeksi diri, menilai segala sikap, perilaku, tingkah laku untuk dijadikan landasan menuju suatu perubahan nilai hidup yang lebih baik. Bangsa ini, Indonesia tercinta juga setidaknya melakukan hal yang sama. Sujud syukur dijadikan rutinitas biasa dengan terwakilkan oleh pelaksanaan upacara bendera sambil sejenak mengheningkan cipta untuk mengenang jasa para pahlawan bangsa. 

Sementara Introspeksi bangsa apakah sejalan dengan itu? Apakah bangsa besar ini masih melakukan penilaian terhadap sikap, perilaku, tingkah laku kepada rakyatnya? Apakah bangsa yang sejak zaman dulu hinga sekarang ini, wilayah kedaulatannya masih tetap diperebutkan berbagai negara dikarenakan kekayaan alam yang melimpah ruah, masih tetap setia untuk memikirkan nasib ratusan juta rakyatnya? Dalam alinea kedua pembukaan Undang-undang Dasar 1945 dikatakan “dan perjuangan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat adil dan makmur”. Alinea keempat “kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu undang-undang dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada : Ketuhanan yang maha esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.

Jalan peretas menuju kemerdekaan telah diperjuangkan olah para pendiri bangsa ini. Mereka dengan mengorbankan jiwa, raga dan tetesan air mata yang tiada hentinya telah mengantarkan kita ke depan pintu gerbang kemerdekaan, sebagaimana bunyi alinea kedua. Ibarat makan, kita sudah disiapkan piring dan lauk pauk yang didapatkan dengan segala daya dan upaya, untuk memberikan wadah yang seharusnya sebagai tempat makan. Sementara kita yang ditakdirkan kecipratan enaknya, tahu-nya tinggal duduk manis sambil makan untuk menikmati hidangan tersebut. Apa kurang nikmatnya kita. Pada saat kita makanpun para pendiri bangsa memberikan pedoman-pedoman yang sangat mendasar bahwa supaya makannya enak, ngak ketelan tulang, ngak kegigit yang pahit-pahit, pedas-pedas atau yang asam-asam, makan-nya harus berdasarkan Pancasila sebagaimana tertera dalam alinea keempat.

Kalau mau dipikir-pikir, konsep bernegara yang telah dicetuskan oleh para pendiri bangsa sudah sangat brilian dan konseptual. Tinggal bagaimana cara kita mengartikulasikan, mengaktualisasikan, mengejahwantakan konsepsi tersebut kedalam konteks kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang lebih hakiki dan kemudian bisa untuk dipertanggungjawabkan. Esensi sebenarnya yang kemudian ingin dicapai dalam kemerdekaan sebuah bangsa, tak lain dan tak bukan adalah kesejahteraan rakyat yang berkeadilan, yang setiap tahunnya harus dijadikan tolok ukur dalam membangun kebangsaan yang merdeka. Dan yang harus melaksanakan itu semua adalah tanggung jawab pemerintah sebagaimana diamanatkan undang-undang, baik itu pemerintah pusat, maupun daerah. 

Enam puluh dua tahun yang lalu, kita telah diantar ke depan pintu gerbang kemerdekaan. Tugas selanjutnya adalah, bagaimana cara kita membuka pintu untuk kemudian masuk melangkah menuju sebuah masyarakat pancasilais sebagaimana yang dicita-citakan bersama. Selama bangsa ini tidak melangkah dalam bingkai ke-pancasila-an, selama itu pula kesejahteraan hanya akan menunggu dengan ketidaksabaran dan ketidakpastian dalam ruang teoritis, tidak bisa dijamah ataupun diraih. Untuk menuju suatu masyarakat yang sejahtera memang membutuhkan proses. Karena dengan berproses kita bisa mengambil sebuah ukuran untuk dijadikan pijakan apakah kita sejahtera atau tidak. Dengan berproses juga kita akan selalu diingatkan untuk introspeksi, baik itu introspeksi terhadap bangsa maupun diri sendiri.

Untuk dikenang dan selalu diingat dengan antusiasme yang dalam, sebenarnya bukanlah pekerjaan yang terlalu susah. Berbaiklah dengan semua mahluk penghuni bumi ini dan lakukan hal-hal yang bermanfaat untuk semua, maka kita akan selalu dikenang dan diingat sampai kapanpun. Bangsa ini kalau mau dikenang dan diingat oleh rakyatnya, setidaknya harus melakukan hal yang sama. Dalam artian kerahkanlah semua potensi sumber daya yang ada, untuk kemudian dipergunakan sebaik-baiknya demi kemakmuran dan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. “sejahtera” mungkin adalah kata yang sangat diidam-idamkan oleh kita semua. Sangat mungkin dengan sejahtera, hadirin yang hadir dalam pesta nikah tersebut masih tetap setia mengingat umur negeri ini. Dengan sejahtera, orang-orang di kelurahan saya pasti akan memberikan antusiasme yang nyata dalam setiap peringatan hari kemerdekaan, pak Lurah tak perlu marah-marah lagi untuk mempertanyakan apakah kita orang Indonesia atau bukan, kepala lingkungan pun tak perlu repot meminjam mobil dealer untuk menyampaikan himbaun darurat, dan yang terpenting kita semua tak harus bengong dengan senyum tertahan. Dirgahayu Indonesia-ku.#