Ditulis untuk memperingati hari
kemerdekaan Indonesia yang ke-62, tepatnya 17 Agustus 2007.
“Dalam
rangka memperingati hari kemerdekaan Indonesia yang ke lima puluh…..?lima puluh
dua yach?. Belum cukup bagi Pak Lurah berpikir terus untuk mengolah kata
melanjutkan penyampaian, seketika undangan yang hadir satu-satu mulai celetuk
dengan gaya spontanitas yang cukup mengharukan..”lima puluh dua!!” kata
beberapa undangan yang ada di baris paling depan. Barisan kedua tempat duduk
tak mau kalah…”oh bukang…lima puluh enam do’ee!!”. Belum sedetik
mengucap, dari bangku berikutnya…”sambarang ngoni..lima puluh delapan ahh..!!.
gaduh sejenak, tiba-tiba suara terbanyak para undangan sampai pada satu kesimpulan
“lima puluh enam”. Pak Lurah spontan menyungging senyum kecil dengan
mimik muka agak ekspresif, “jadi ka berapa?lima puluh enam atau?” Sekali
lagi hadirin yang hadir serentak “iyo..lima puluh enam pak!!”. Tanpa
perlu panjang lebar pak lurah langsung “Oke dang Hari Ulang Tahun
kemerderkaan Negara Indonesia yang ke lima puluh enam!!!, Ini ngoni yang bilang
neh bukang kita!!!”. Penggalan prolog di atas adalah sambutan kepala
kelurahan selaku unsur pemerintahan dalam sebuah pesta nikah yang kebetulan saya
hadiri beberapa waktu lalu di salah satu kelurahan di Kota Kotamobagu. Saya
yang kebetulan berada di rentetan bangku belakang−sebagaimana dikhususkan untuk
rakyat kecil di setiap hajatan karena tempat di depan untuk pejabat dan publik
figur lainnya −langsung bengong dengan senyum tertahan.
Tak
berselang lama, di suatu pagi yang sangat dingin, tidur saya dikagetkan suara loudspeaker
yang sangat keras dari sekitaran wilayah kantor Kelurahan yang kebetulan cukup
dekat dengan tempat saya tinggal, tepatnya di Kelurahan Biga. Dengan agak malas
dan samar-samar saya bangun untuk coba mendengar himbauan darurat yang ternyata
disampaikan langsung oleh Kepala Kelurahan. Diujung michrophone
terdengar suara Pak Lurah mencak-mencak dengan nada tinggi. “bagi masyarakat
yang tinggal di Biga, masih merasa sebagai orang Biga dan bagian dari rakyat
Indonesia, ini so mo HUT kemedekaan Indonesia yang ke-62, kalo bole pasang akan
dulu itu umbul-umbul dengan arkus. Masakan ngoni cuma mo pasang tu dia kong
nimbole, ,nanti mo bilang bagimana lagi dang, jadi sekali lagi tolong akang
neh. Kalo ngoni merasa bukang orang biga deng so bukang orang Indonesia, biar
jo noh nda apa-apa..terserah!!”. demikian mungkin sedikit konklusi dari
himbauan Pak Lurah tersebut. Saya terhentak bangun untuk kembali bengong dengan
senyum tertahan.
Masih
di hari yang sama, matahari belum sempat tepat di atas ubun-ubun. Suara loudspeaker
yang sangat keras kembali terdengar. Akan tetapi muasal suara ini bukan berasal
dari sekitaran kantor Kelurahan, dan juga bukan dari Kepala Kelurahan. Namun
suara itu berasal dari sebuah mobil pickup dilengkapi perangkat sound
sistem milik salah satu dealer motor yang berkantor di kelurahan Biga, dan
kali ini tujuannya mengambil rute mengelilingi wilayah Kelurahan. Ternyata
mobil tersebut dipinjam oleh Kelurahan untuk menyampaikan himbauan darurat
kesekian kali kepada warganya, dan bisa saya pastikan kemudian bahwa suara di
balik michrophone tersebut adalah suara kepala lingkungan I, yang
membawahi wilayah lingkungan tempat tinggal saya. Dengan menduga-duga, indera
pendengaran coba saya tajamkan untuk sekadar menangkap inti himbauan tersebut.
Tak salah kaprah esensi penyampaian masih sama dengan yang disampaikan oleh Pak
Lurah pagi tadi, tak lupa pula dengan intonasi nada yang cukup tinggi. Dan
sekali lagi saya harus dibuat bengong dengan senyum tertahan.
Kemudian,
saya, anda, hadirin yang ada di pesta nikah, orang-orang di kelurahan tempat
tinggal saya dan kita semua sebenarmya ada dimana? Di Indonesia kah atau
dimana?, Apakah ini Indonesia-ku atau bukan? Apakah HUT kemerdekaan juga
mengiringi siklus kehidupan manusia yang selalu saja membentangkan pemaknaan
sistemik yang alamiah dan bagian dari teori hukum alam bahwa “manusia semakin
umur-an, semakin pelupa”. Atau malah kita lebih enteng untuk kemudian
menjustifikasikan pemahaman yang mengiringi itu bahwa “Indonesia semakin
umuran, semakin pelupa”. Manusia setiap bertambah umur pasti sujud syukur masih
diberi umur, diberi kesehatan, masih diberi kesempatan melakukan introspeksi
diri, menilai segala sikap, perilaku, tingkah laku untuk dijadikan landasan
menuju suatu perubahan nilai hidup yang lebih baik. Bangsa ini, Indonesia
tercinta juga setidaknya melakukan hal yang sama. Sujud syukur dijadikan
rutinitas biasa dengan terwakilkan oleh pelaksanaan upacara bendera sambil
sejenak mengheningkan cipta untuk mengenang jasa para pahlawan bangsa.
Sementara Introspeksi bangsa apakah sejalan dengan itu? Apakah bangsa besar ini
masih melakukan penilaian terhadap sikap, perilaku, tingkah laku kepada
rakyatnya? Apakah bangsa yang sejak zaman dulu hinga sekarang ini, wilayah
kedaulatannya masih tetap diperebutkan berbagai negara dikarenakan kekayaan
alam yang melimpah ruah, masih tetap setia untuk memikirkan nasib ratusan juta
rakyatnya? Dalam alinea kedua pembukaan Undang-undang Dasar 1945 dikatakan “dan
perjuangan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia
dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang
kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat adil dan
makmur”. Alinea keempat “kemudian daripada itu untuk membentuk suatu
pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan
kebangsaan Indonesia itu dalam suatu undang-undang dasar Negara Indonesia, yang
terbentuk dalam suatu susunan Negara republik Indonesia yang berkedaulatan
rakyat dengan berdasar kepada : Ketuhanan yang maha esa, kemanusiaan yang adil
dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Jalan
peretas menuju kemerdekaan telah diperjuangkan olah para pendiri bangsa ini.
Mereka dengan mengorbankan jiwa, raga dan tetesan air mata yang tiada hentinya
telah mengantarkan kita ke depan pintu gerbang kemerdekaan, sebagaimana bunyi
alinea kedua. Ibarat makan, kita sudah disiapkan piring dan lauk pauk yang
didapatkan dengan segala daya dan upaya, untuk memberikan wadah yang seharusnya
sebagai tempat makan. Sementara kita yang ditakdirkan kecipratan enaknya,
tahu-nya tinggal duduk manis sambil makan untuk menikmati hidangan tersebut.
Apa kurang nikmatnya kita. Pada saat kita makanpun para pendiri bangsa
memberikan pedoman-pedoman yang sangat mendasar bahwa supaya makannya enak,
ngak ketelan tulang, ngak kegigit yang pahit-pahit, pedas-pedas atau yang
asam-asam, makan-nya harus berdasarkan Pancasila sebagaimana tertera dalam
alinea keempat.
Kalau
mau dipikir-pikir, konsep bernegara yang telah dicetuskan oleh para pendiri
bangsa sudah sangat brilian dan konseptual. Tinggal bagaimana cara kita
mengartikulasikan, mengaktualisasikan, mengejahwantakan konsepsi tersebut
kedalam konteks kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang lebih
hakiki dan kemudian bisa untuk dipertanggungjawabkan. Esensi sebenarnya yang
kemudian ingin dicapai dalam kemerdekaan sebuah bangsa, tak lain dan tak bukan
adalah kesejahteraan rakyat yang berkeadilan, yang setiap tahunnya harus
dijadikan tolok ukur dalam membangun kebangsaan yang merdeka. Dan yang harus
melaksanakan itu semua adalah tanggung jawab pemerintah sebagaimana diamanatkan
undang-undang, baik itu pemerintah pusat, maupun daerah.
Enam
puluh dua tahun yang lalu, kita telah diantar ke depan pintu gerbang
kemerdekaan. Tugas selanjutnya adalah, bagaimana cara kita membuka pintu untuk
kemudian masuk melangkah menuju sebuah masyarakat pancasilais sebagaimana yang
dicita-citakan bersama. Selama bangsa ini tidak melangkah dalam bingkai
ke-pancasila-an, selama itu pula kesejahteraan hanya akan menunggu dengan
ketidaksabaran dan ketidakpastian dalam ruang teoritis, tidak bisa dijamah
ataupun diraih. Untuk menuju suatu masyarakat yang sejahtera memang membutuhkan
proses. Karena dengan berproses kita bisa mengambil sebuah ukuran untuk dijadikan
pijakan apakah kita sejahtera atau tidak. Dengan berproses juga kita akan
selalu diingatkan untuk introspeksi, baik itu introspeksi terhadap bangsa
maupun diri sendiri.
Untuk
dikenang dan selalu diingat dengan antusiasme yang dalam, sebenarnya bukanlah
pekerjaan yang terlalu susah. Berbaiklah dengan semua mahluk penghuni bumi ini
dan lakukan hal-hal yang bermanfaat untuk semua, maka kita akan selalu dikenang
dan diingat sampai kapanpun. Bangsa ini kalau mau dikenang dan diingat oleh
rakyatnya, setidaknya harus melakukan hal yang sama. Dalam artian kerahkanlah
semua potensi sumber daya yang ada, untuk kemudian dipergunakan sebaik-baiknya
demi kemakmuran dan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. “sejahtera” mungkin
adalah kata yang sangat diidam-idamkan oleh kita semua. Sangat mungkin dengan
sejahtera, hadirin yang hadir dalam pesta nikah tersebut masih tetap setia
mengingat umur negeri ini. Dengan sejahtera, orang-orang di kelurahan saya
pasti akan memberikan antusiasme yang nyata dalam setiap peringatan hari
kemerdekaan, pak Lurah tak perlu marah-marah lagi untuk mempertanyakan apakah
kita orang Indonesia atau bukan, kepala lingkungan pun tak perlu repot meminjam
mobil dealer untuk menyampaikan himbaun darurat, dan yang terpenting kita semua
tak harus bengong dengan senyum tertahan. Dirgahayu Indonesia-ku.#