Kamis, 27 Desember 2007

Berantas Kebodohan Perangi Kemiskinan



Ditulis akhir Desember 2007, dipublikasikan Koran Radar Totabuan Edisi Perdana.

Analogisme formal menyuratkan dikotomi antara dua kutub yang berlawanan ketika sebuah objek ditempatkan dalam suatu sudut pandang dimensional, dan lagu tentang kebodohan maupun kemiskinan adalah nyanyian sendu dalam petikan dawai merdu kapitalisme global, yang sering kali mengangkangi peradaban sebuah masyarakat, bangsa dan Negara. Keduanya sampai detik ini masih tetap menjadi isu sentral sekaligus momok yang sangat mengerikan dalam pelaksanaan dan penerapan pembangunan, tak terkecuali negeri dimana saya, anda, kita semua sedang berdiri antara dua perspektif yang berseberangan, optimis atau pesimis. Setelah hampir 63 tahun merasakan pahit manisnya kemerdekaan, kebodohan dan kemiskinan sepertinya tidak akan pernah bosannya menggerogoti hak-hak fundamentalisme manusia untuk hidup dan menentukan pilihan bagaimana cara ia untuk hidup. Di satu sisi, aspek elementer yang paling utama ketika bangsa ini sepakat membumikan kemerdekaan adalah untuk menuju suatu tatanan masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera sebagaimana yang dicita-citakan bersama. Sudut pandang yang lain, kecemberutan dan kesedihan masih saja menghiasi wajah-wajah murung sebagian besar masyarakat, termasuk wajah totabuan tercinta dimana saya, anda, kita semua masih tetap berdiri dengan berbagai kacamata pandang berbeda.

Andi Dwi Dharma (perintis dan pendiri Radar Totabuan), sudah pasti memiliki kacamata pandang sendiri untuk melihat sekaligus mencermati potret muram dan wajah sedih totabuan kita. Entah itu dengan kacamata yang bersih mengkilat, ataupun kacamata kotor buram dimana ia berdiri antara pengabdian dan kepentingan, ataupun antara loyalitas dan kegaduhan hati ketika harus berdialektika dengan tarian kebodohan dan kemiskinan yang sering kali menelanjangi diri serta menampar wajah-wajah sendu rakyat totabuan. Saya sendiri belum berada dalam suatu kepastian untuk menjawab itu, akan tetapi kehadiran Radar Totabuan setidaknya bisa memberi warna tersendiri dalam perkembangan dunia pers lokal sekaligus menjawab kacamata mana yang ia gunakan. Jargon yang diangkat pun−”Berantas Kebodohan Perangi Kemiskinan”− memuat konsep universal yang coba diimplementasikan secara lebih spesifik untuk diketengahkan dalam konteks lokal. 

Dalam artian yang lebih luas, Dwi Dharma dengan pemikirannya yang cukup kontroversial untuk ukuran seorang pejabat (Kepala Dinas Infokom Bolmong) saat ini, termasuk pandangannya bahwa ada yang salah dalam teknis pelaksanaan berbagai kebijakan pemerintah yang pro rakyat, dengan segala bentuk keberanian dan kenekatanya mencoba memotret sisi lain dari keburaman hidup dan ketertindasan hak kaum marginal totabuan untuk kemudian diangkat sebagai konsumsi publik. Dan ketika itu menjadi konsumsi publik, maka hal yang pasti bahwa pertaruhan dan pergumulan telah dimulai, baik itu secara idealisme, loyalitas, pengabdian ataupun sederet kepentingan lainnya, dan seorang Andi Dwi Dharma tentu sangat siap dengan itu.

Pencerahan dan pembentukan opini publik memang sangat penting untuk mengarahkan proses lahirnya mindset baru sebagai jalan peretas menuju suatu tatanan masyarakat yang diidamkan. Dan lokalitas rakyat totabuan tentu sangat menginginkan itu, bahwa kearifan lokal sangat penting untuk mendorong ketertinggalan masyarakat terhadap pendidikan dan kesejahteraan hidup yang lebih layak, bahwa dengan akses yang lebih terbuka bagi masyarakat miskin terhadap dunia pendidikan, akan mendorong partisipasi masyarakat untuk lebih mensejahterakan hidupnya, bahwa petikan lagu wajib belajar yang dulu sering kita nyanyikan sewaktu sekolah “berantas kebodohan perangi kemiskinan//habis gelap terbit terang//hari depan cerah” bisa menjadi hitme marss yang memecah kesenduan, dan bahwa saya, anda, kita semua memiliki tanggung jawab yang besar untuk itu, tentu saja dengan keberanian layaknya Radar Totabuan. 

Saya teringat dengan keluh kesah penyair Goenawan Mohamad dalam “Chairil Anwar” bahwa pada waktu dimana kita sering melihat manusia-manusia dipukul oleh penjahat-penjahat, disiksa oleh penguasa dan difitnah oleh publik, kita tetap masih takut menjadi “AKU”. Kita merasa lebih aman dengan menjadi “KITA”. Dan Andi Dwi Dharma bukan bagian dari itu.#