Ditulis akhir Desember 2007, dipublikasikan Koran Radar Totabuan Edisi Perdana.
Analogisme formal menyuratkan dikotomi antara
dua kutub yang berlawanan ketika sebuah objek ditempatkan dalam suatu sudut
pandang dimensional, dan lagu tentang kebodohan maupun kemiskinan adalah
nyanyian sendu dalam petikan dawai merdu kapitalisme global, yang sering kali
mengangkangi peradaban sebuah masyarakat, bangsa dan Negara. Keduanya sampai
detik ini masih tetap menjadi isu sentral sekaligus momok yang sangat
mengerikan dalam pelaksanaan dan penerapan pembangunan, tak terkecuali negeri
dimana saya, anda, kita semua sedang berdiri antara dua perspektif yang
berseberangan, optimis atau pesimis. Setelah hampir 63 tahun merasakan pahit
manisnya kemerdekaan, kebodohan dan kemiskinan sepertinya tidak akan pernah
bosannya menggerogoti hak-hak fundamentalisme manusia untuk hidup dan
menentukan pilihan bagaimana cara ia untuk hidup. Di satu sisi, aspek elementer
yang paling utama ketika bangsa ini sepakat membumikan kemerdekaan adalah untuk
menuju suatu tatanan masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera sebagaimana
yang dicita-citakan bersama. Sudut pandang yang lain, kecemberutan dan kesedihan
masih saja menghiasi wajah-wajah murung sebagian besar masyarakat, termasuk
wajah totabuan tercinta dimana saya, anda, kita semua masih tetap berdiri
dengan berbagai kacamata pandang berbeda.
Andi
Dwi Dharma (perintis dan pendiri Radar Totabuan), sudah pasti memiliki kacamata
pandang sendiri untuk melihat sekaligus mencermati potret muram dan wajah sedih
totabuan kita. Entah itu dengan kacamata yang bersih mengkilat, ataupun
kacamata kotor buram dimana ia berdiri antara pengabdian dan kepentingan, ataupun
antara loyalitas dan kegaduhan hati ketika harus berdialektika dengan tarian
kebodohan dan kemiskinan yang sering kali menelanjangi diri serta menampar
wajah-wajah sendu rakyat totabuan. Saya sendiri belum berada dalam suatu
kepastian untuk menjawab itu, akan tetapi kehadiran Radar Totabuan setidaknya
bisa memberi warna tersendiri dalam perkembangan dunia pers lokal sekaligus
menjawab kacamata mana yang ia gunakan. Jargon yang diangkat pun−”Berantas
Kebodohan Perangi Kemiskinan”− memuat konsep universal yang coba
diimplementasikan secara lebih spesifik untuk diketengahkan dalam konteks
lokal.
Dalam artian yang lebih luas, Dwi Dharma dengan pemikirannya yang cukup
kontroversial untuk ukuran seorang pejabat (Kepala Dinas Infokom Bolmong) saat
ini, termasuk pandangannya bahwa ada yang salah dalam teknis pelaksanaan
berbagai kebijakan pemerintah yang pro rakyat, dengan segala bentuk keberanian
dan kenekatanya mencoba memotret sisi lain dari keburaman hidup dan
ketertindasan hak kaum marginal totabuan untuk kemudian diangkat sebagai
konsumsi publik. Dan ketika itu menjadi konsumsi publik, maka hal yang pasti
bahwa pertaruhan dan pergumulan telah dimulai, baik itu secara idealisme,
loyalitas, pengabdian ataupun sederet kepentingan lainnya, dan seorang Andi Dwi
Dharma tentu sangat siap dengan itu.
Pencerahan
dan pembentukan opini publik memang sangat penting untuk mengarahkan proses
lahirnya mindset baru sebagai jalan peretas menuju suatu tatanan masyarakat
yang diidamkan. Dan lokalitas rakyat totabuan tentu sangat menginginkan itu,
bahwa kearifan lokal sangat penting untuk mendorong ketertinggalan masyarakat
terhadap pendidikan dan kesejahteraan hidup yang lebih layak, bahwa dengan
akses yang lebih terbuka bagi masyarakat miskin terhadap dunia pendidikan, akan
mendorong partisipasi masyarakat untuk lebih mensejahterakan hidupnya, bahwa
petikan lagu wajib belajar yang dulu sering kita nyanyikan sewaktu sekolah
“berantas kebodohan perangi kemiskinan//habis gelap terbit terang//hari depan
cerah” bisa menjadi hitme marss yang memecah kesenduan, dan bahwa saya, anda,
kita semua memiliki tanggung jawab yang besar untuk itu, tentu saja dengan
keberanian layaknya Radar Totabuan.
Saya teringat dengan keluh kesah penyair
Goenawan Mohamad dalam “Chairil Anwar” bahwa pada waktu dimana kita sering
melihat manusia-manusia dipukul oleh penjahat-penjahat, disiksa oleh penguasa
dan difitnah oleh publik, kita tetap masih takut menjadi “AKU”. Kita merasa
lebih aman dengan menjadi “KITA”. Dan Andi Dwi Dharma bukan bagian dari itu.#