Kamis, 06 November 2008

Malu! (Katamsi yang lain masih pada Bobo!)




Ditulis tgl 6 November 2008 setelah membaca tulisan Pemimpin Redaksi Manado Post; Suhendro Boroma, yang menanggapi polemik antara Katamsi Ginano dan Pitres Sombowadile tentang perlakuan khusus kepada Bupati Bolmong Marlina Moha Siahaan dalam pelaksanaan Sholat Id.

Membaca tulisan Suhendro Boroma, “Makmum VIP”, Kamis, 6 November 2008 di harian Tribun Totabuan, yang merupakan tanggapan atas tulisan Pitres Sombowadile sebelumnya di harian yang sama, “Tulisan Katamsi, Caption Foto Yang Gegabah”, siapapun anak temurun intau mongondow yang masih menapakkan kaki di bumi Totabuan, terkecuali tentunya mereka yang menganggap dirinya bagian dari dayang-dayang dan budak penguasa, wajib untuk “malu”. Saya pun, tak bisa mangkir dari rasa itu. Mungkin untuk itu pula saya yang sudah cukup lama tidak bersua secara langsung dengan Om Edo (panggilan akrab saya untuk Suhendro Boroma), secara tersirat menyampaikan terima kasih untuk spirit yang diberikan, meski tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada beliau, itu harus diungkapkan lewat pesan singkat.

Apa yang disampaikan Suhendro lewat tulisannya, tak pelak merupakan realitas yang tumbuh subur dalam perspektif sosio-kultur orang mongondow. Dan mirisnya, ini sudah terjadi dan berlangsung cukup lama oleh pembiaran-pembiaran yang dilakukan segelintir orang, yang tanpa rasa malu sedikit pun memposisikan diri sebagai dayang atau budak penguasa. Semenjak dulu mengikuti krtitikan-kritikan yang disampaikan Katamsi Ginano lewat tulisannya di berbagai media, terutama saat berdiskusi secara langsung dalam beberapa kesempatan, saya tidak bisa menyembunyikan rasa malu dan sedih saat ia mengaku harus mengurut dada sendiri melihat penyelewengan dan pembengkokan logika yang dipertontonkan dengan terang benderangnya oleh para penguasa. Satu hal yang sangat menonjol dan begitu terasa dalam setiap tulisan maupun diskusi yang dilakukan, adalah pesan tersirat yang ingin disampaikan kepada kita seluruh rakyat Bolmong, bahwa dalam lokalitas kultur intau mongondow, ada “sesuatu” yang hilang. Dan sejak lima tahun belakangan ini, setelah beberapa kali sempat mengkritik gaya kepemimpinan para penguasa Bolmong secara terbuka lewat tulisan di beberapa media, jujur setiap menulis saya sangat berharap kita anak temurun intau mongondow bisa menangkap pesan yang disampaikan Katamsi, mencari “sesuatu” yang hilang itu, mengangkatnya kepermukaan dan ikut memperjuangkannya agar bisa ditegakkan.

Hal yang amat disayangkan, justru yang terjadi selama ini jauh “panggang” dari “api”. Sederet kita, orang-orang yang harusnya bisa berdiri tegak sambil mengangkat kepala untuk mengatakan ini salah, itu kurang etis, tidak pantas dan bukan pada tempatnya, malah ikut terbawa arus feodalisme gaya primitif plus perilaku narsis yang tak ada habisnya dipertontonkan para penguasa daerah ini. 

Setidaknya ada beberapa hal yang bisa saya tangkap dengan jelas dalam tulisan Suhendro. Pertama; penegasan terhadap substansi permasalahan yang sebenarnya kepada Pitres, bahwa lepas dari kemampuan intelektualitasnya yang cukup diakui, ada ranah tertentu yang tidak bisa ia masuki, terutama ketika itu menyangkut hubungan manusia dengan Tuhannya demi meletakkan fundamentalisme agama, lebih khususnya aspek universalisme islam dalam porsi sebenarnya. “Pitres memang “tahu diri” tidak masuk ke wilayah ini. Saya sengaja memasuki wilayah ini karena itulah pokok utama tulisan Katamsi”, tulis Suhendro. Penjelasan ikutan yang diterangkan selanjutnya, lebih memperkuat penegasan tersebut. Pitres, tentu sangat paham dengan itu, hanya saja mungkin karena “kalap” sehingga “khilaf” tak bisa terhindarkan. Sementara berbicara mengenai metodologis yang digunakan, siapa tak kenal Pitres untuk urusan metodologi penulisan dan ranah jurnalisme publik, tapi lepas dari itu semua, saya rasa setiap metodologi punya maksud, tujuan dan substansi yang tak pernah bisa diabaikan. Artinya, seribu argumentasi pun yang dikemukakan untuk menjustifikasi permasalahan Sholat Id Bupati Bolmong, ada fakta yang sangat jelas dan tak terbantahkan seperti yang dikatakan Suhendro, yakni perlakuan khusus kepada sang Bupati untuk menjadi “Makmum VIP”.

Kedua; pesan moral dan spirit yang diberikan. Setelah membaca itu, untuk kesekian kalinya saya tidak bisa membungkam rasa malu campur sedih. Hampir lima tahun belakangan ini, penyelewengan plus pembengkokan logika memang menjadi pemandangan umum di Bolmong, baik itu dihadapan kita sebagai intau Mongondow, maupun dihadapan Tuhan Yang Maha Sakral. Hal yang lebih memiriskan, penyelewengan dan pembengkokan logika itu, dilakukan secara bersekongkol dengan pembenaran sepihak, disertai kebanggaan dan kesombongan luar biasa. Para penguasanya bak raja yang doyan dengan “puja-puji”, sementara para dayang latah terhadap itu, sampai tak peduli harus menjilat pantat orang sambil tanpa beban sedikit pun menjungkirbalikkan “harga diri” sebagai intau Mongondow , dan dengan sangat sadar melukai adat istiadat yang harusnya tidak diselewengkan maupun dibengkokan. Terus terang, saya tak pernah bisa berfikir jernih untuk perilaku jenis ini. Apa yang salah dengan Bolmong tercinta kita, hingga manusia-manusia di dalamnya seperti tak pernah jera dengan perilaku menyimpang, terutama mereka yang berdiri dengan gagahnya di sekitar para penguasa. Berbagai kritik yang dilontarkan selama ini, terutama dari Katamsi Ginano dinilai sebagai sesuatu yang destruktif serta ancaman terhadap kelanggengan kekuasaan. Apakah salah ketika kritik setidaknya bisa dianggap “pembetulan” terhadap sesuatu yang keliru. Dosa besar kah ketika orang-orang di sekitar para penguasa mengingatkan pemimpinanya tentang sesuatu yang salah. Naïf kah seorang pemimpin untuk sadar bahwa yang dilakukan para bawahannya bukan pada tempatnya, meski itu untuk menyenangkan dirinya, kemudian dengan arif dan bijaksana membetulkan itu. Dalam konteks universalisme islam, selain konsep kesetaraan yang dikemukakan Suhendro dengan analogi yang cukup apik, terutama aspek hablumminallah, masih ada konsep pembumian manusia di jagad semesta yang tidak bisa dikesampingkan yakni aspek hablumminannas. Di lingkup inilah maka saling memperingati, memberi teguran, melarang sesuatu yang keliru dan membetulkan yang salah menjadi wajib hukumnya bagi umat manusia. Secara pribadi, saya rasa para penguasa di Bolmong sangat ngerti dan paham akan itu. Seribu gunung api belum akan meletus seandainya orang-orang disekitar para penguasa mengingatkan pemimpinnya akan sesuatu yang bengkok, dan langit belum akan runtuh ketika para penguasa setidaknya mau mendengar, dan dengan lapang dada menerima itu untuk diluruskan.

Sebagaimana yang dikemukakan Suhendro, selama penyimpangan, penyelewengan, pembengkokan logika secara bersekongkol masih tumbuh bak jamur di Bolmong tercinta ini, maka hal yang pasti kita masih sangat membutuhkan manusia-manusia seperti Katamsi. Kesedihan, kegundahan seorang Suhendro memberikan kita, anak temurun intau mongondow pelajaran yang amat berharga, dan spirit yang tak terperihkan, “sepuluh katamsi sungguh tak cukup, seratus katamsi kurang, dan seribu katamsi belum memadai,”. 

Kegundahan memang bukan jawaban atas sesuatu. Tapi api dalam sekam tak bisa memadamkan “gundah” hati. Ia aka terus menyulut, membakar setiap jiwa-jiwa manusia yang masih bisa “malu” ketika hal yang salah, kurang pantas, tidak etis dan bukan pada tempatnya terjadi di depan mata kepala. Entah kita bagian dari itu atau bukan, karena “malu” yang ini, adalah sedih yang teramat dalam terutama ketika harus tertegun menyaksikan “katamsi yang lain masih pada bobo’”.#


Senin, 26 Mei 2008

Numpang Permisi di Rumah Sendiri



Tulisan ini dipublikasikan Koran Radar Bolmong, tanggal 26 Mei 2008, untuk memperingati satu tahun Kota Kotamobagu pasca dimekarkan dari Kabupaten Bolaang Mongondow.

Matahari belum juga bosan memancarkan teriknya. Siang itu, secara kebetulan saya duduk di deretan samping kiri bagian tengah, sebuah rangkaian pesta pernikahan di Kelurahan Mogolaing Kecamatan Kotamobagu Barat, Kota Kotamobagu. Di atas pelaminan, tepatnya di sisi kanan kedua mempelai dan pengampu, tampak Sekretaris Kota Kotamobagu, Drs. Jainudin Damopolii sedang menyampaikan nasehat perkawinan sekaligus sambutan pemerintah, untuk memenuhi permintaan sahibul hajat. Nasehat Pak Sekkot berjalan tenang, syahdu, khidmat dengan analogi-analogi yang cukup segar. Sambutan pemerintah yang disampaikan pun berjalan sebagaimana mestinya. Dalam artian, saya masih melihat seorang birokrat yang sedang bicara di depan, bukan politisi ataupun tim sukses salah satu pasangan calon Walikota dan Wakil Walikota. Belum begitu lama memberikan sambutan, tiba-tiba telepon genggam Pak Sekkot berbunyi. Tanpa mengurangi rasa hormat kepada sahibul hajat, beliau menghentikan sedikit penyampaian untuk sesaat refleks melirikkan mata ke layar telepon genggamnya. Sesaat memang, tapi setelah itu aura ruang pesta berubah sebagaimana air muka Pak Sekkot yang mulai memerah. Dengan suara agak tertahan dan sedikit menahan amarah, beliau secara terbuka tanpa canggung menyampaikan bahwa yang bunyi tadi itu SMS, dan isinya “jangan memprovokasi massa”. Hadirin yang hadir saat itu, terkecuali yang mengirimkan SMS tentunya, jelas kaget. Saya pun tidak bisa menyembunyikan perasaan yang sama. Bahwa yang sedang bicara di depan tersebut adalah seorang Sekretaris Kota, dan sedari tadi menyimak penyampaian beliau, tidak ada satu kata pun—menurut pemahaman saya—yang bisa dikategorikan provokasi.

Pilkada memang sudah diambang pintu, dan politik bentukan zaman ini, sering menggiring perilaku orang-orang untuk dengan mudahnya berpikiran sempit. Apakah menjelaskan kondisi real Kota Kotamobagu sebagai daerah otonom baru dengan PAD yang hanya 1,5 M, dan terus dievaluasi oleh pemerintah pusat adalah tindakan provokasi? Apakah menyampaikan himbauan kepada rakyat Kotamobagu untuk menggunakan hak pilihnya sebaik-baiknya dengan memilih pemimpin yang memiliki kemampuan memadai untuk menakhodai daerah baru, bisa disebut sebagai provokasi? Bukankah yang terjadi malah sebaliknya? Sadarkah masyarakat dengan kondisi Kotamobagu sebenarnya? Setidaknya, subjektifitas perlu dihindari untuk memaknai sebuah kondisi se objektif mungkin, bahwa Kotamobagu memang seperti itu.

Ranah pikir saya refleks ikut menerawang menembus sekat-sekat ideologi yang masih berusaha dipertahankan, tanpa disadari antara sekat-sekat itu saya menjumpai beberapa hal berwujud kesedihan. Dan selama memendam kesedihan adalah sesuatu yang kurang baik, maka itu perlu diungkapkan, entah itu harus ke publik Kotamobagu yang secara langsung akan merasakan dampak dari semua itu. 

Pertama; permasalahan aset. Kota Kotamobagu yang diresmikan secara sah sebagai daerah otonom baru dengan diangkatnya penjabat walikota sejak 23 Mei 2007 lalu, memang berada dalam kondisi yang cukup memprihatinkan dalam hal pendapatan asli daerah. Salah satu penyebab utamanya adalah penyerahan aset yang masih terkesan setengah hati. Undang-undang nomor 4 tahun 2007 tentang pembentukan Kota Kotamobagu, BAB V pasal 13 mengamanatkan penyerahan personel, aset dan dokumen lainnya. Kita tahu bahwa penyerahan personel memang telah dilakukan, tapi bagaimana dengan aset dan dokumen penting lainnya. Sementara di satu sisi kita juga sadar, aset-aset potensial sangat dibutuhkan untuk mengenjot pendapatan asli daerah. Selama ini yang diserahkan ke Pemerintah Kota Kotamobagu hanya sebatas aset yang pundi-pundi PAD-nya kecil. Memang penyerahan aset berupa; a. barang milik/dikuasi yang bergerak dan tidak bergerak dan/atau dimanfaatkan oleh pemerintah kabupaten Bolaang Mongondow yang berada dalam wilayah kota kotamobagu; b. Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Kabupaten Bolaang Mongondow yang berkedudukan, kegiatan, dan lokasinya berada di kota kotamobagu; c. utang piutang kabupaten Bolaang Mongondow yang kegunaannya untuk kota kotamobagu menjadi tanggung jawab kota kotamobagu; d. dokumen dan arsip yang karena sifatnya diperlukan oleh kota kotamobagu, sebagaimana bunyi ayat 7, akan diserahkan paling lambat 5 tahun sejak pelantikan penjabat walikota (ayat 3). Tapi jangan pernah lupa, dan yang harus kita garis bawahi bahwa di situ ada kata “paling lambat” yang memuat asumsi range waktu yang harus dipercepat. Artinya, lebih cepat lebih baik untuk menjawab proses evaluasi yang terus dilakukan. Dalam BAB VII tentang pembinaan, pasal 17 mengisyaratkan “setelah 5 (lima) tahun sejak diresmikan…….” Akan dilakukan evaluasi. Disitu pun kita mendapatkan bahwa redaksinya bukan “sejak 5 tahun setelah diresmikan”. Kita rakyat harus sadar, perkembangan Kota Kotamobagu terus dipantau 5 tahun kedepan, terutama dari aspek kemampuan daerah otonom baru untuk mandiri dalam segala hal, lebih khususnya menatausahakan pendapatan asli daerahnya sendiri. Kita rakyat harus sadar, waktu adalah nilai yang terus berjalan, dan se kecil apapun itu harus tetap dihargai. Jika tidak, maka kita harus sama-sama tertunduk untuk pasrah “selamat tinggal kota-ku”. 

Kedua; kesalahan persepsi. Sejak direncanakan maupun setelah dimekarkannya kota kotamobagu, ada semacam kesalahan persepsi yang hadir dan berkembang di tengah masyarakat. Kota kotamobagu diposisikan sebagai seorang “anak” dan Kabupaten Bolmong adalah seorang “ibu”. Adagium ini mau tak mau melahirkan asumsi-asumsi persepsional, bahwasanya sebagai seorang “anak”, sudah sepatutnya tunduk, taat, patuh dan pasrah pada keinginan “sang ibu”, meskipun karena itu sang ibu sadar bahwa anaknya tidak pernah bisa untuk mandiri. Jika hubungan seperti ini yang dipertahankan atau pun sengaja diwacanakan, kita tidak akan bisa menghindari tembok tinggi etika kesantunan yang terbangun kokoh disitu. Ada semacam relationship yang agak keliru ketika itu disandingkan dalam konteks kemandirian suatu daerah, yang secara kasat mata menggiring polemik antara hak dan kewajiban yang tidak ada habisnya. Artinya, hubungan antara ibu dan anak tidak tepat secara kontekstual. Kalaupun harus ada pewacanaan relasi untuk menjaga dan mempertahankan integritas secara kewilayahan, Mungkin akan lebih baik ketika yang diwacanakan adalah hubungan saudara antara seorang “kakak” dan seorang “adik”. Sedangkan yang pantas menjadi “ibu” adalah pemerintah pusat yang tidak bosan-bosanya memanjakan “anaknya” dengan segala DAU, DAK, Adhoc dan sebagainya, oleh laku anaknya yang belum juga bisa mandiri.

Ketiga; masalah kepemimpinan. Sebagaimana yang disampaikan pak Sekretaris Kota, memang seperti itulah harusnya. Sebagai daerah otonom baru, kota kotamobagu sangat membutuhkan pemimpin yang kapasitas intelektualitasnya bisa dipertanggungjawabkan. Menjalankan pemerintahan bukan hanya sekadar hitung-hitungan politik, tapi lebih dari itu. Kalau politik kemudian menjadi sebuah ukuran, maka yakinlah pemerintahan tidak akan berjalan sebagaimana mestinya. Akan terlalu banyak kepentingan berbenturan disana, dan akhirnya rakyat banyak harus dikorbankan. Di antara semua kandidat calon Walikota dan Wakil Walikota yang akan bertarung nanti, pada dasarnya semuanya memiliki itu, tapi hal yang pasti tetap saja ada yang “terbaik” diantara yang “baik”, dan yang akan menentukan itu adalah rakyat kota kotamobagu, tentu saja masih tetap dengan “kehati-hatian”. 

Ranah pikir saya kembali tersadar ketika suara lantang pak Sekretaris Kota, memecah kesenduan. Dengan sedikit menantang beliau menegaskan “saya tidak akan pernah takut dicopot dari jabatan kapan saja, hanya karena berbicara seperti ini”, dan satu hal yang tidak berubah, saya masih tetap melihat seorang birokrat di depan sana.

Setiap melihat Penjabat Walikota, Sekretaris Kota dan pejabat lainnya di lingkungan Pemerintah Kota Kotamobagu, saya jadi miris untuk tidak menyembunyikan perasaan, bahwa mereka, saya, anda, kita semua rakyat Kota Kotamobagu sedang permisi untuk numpang tinggal, dan sayangnya itu harus di rumah kita sendiri. Untuk sekadar tidak menafikan rasa bangga dengan satu tahun Kota Kotamobagu, saya teringat sajak Sapardi Djoko Damono yang harus dikutip dalam konteks lokal, tanpa pernah terpikirkan untuk mengurangi rasa hormat saya kepada sang penyair besar ini “Biarkan aku banggakan kau, Kotamobagu-ku, dengan cara yang sederhana”. Dirgahayu Kotamobagu!.#


Senin, 03 Maret 2008

Naga Bonar Jadi Tiga!



Tulisan ini dipublikasikan Koran Radar Totabuan awal Maret 2008, untuk menanggapi tulisan Pemimpin Redaksi Tabloid GEMPAR, Jaslin Sitinjak sang “Naga Bonar” lewat artikelnya “Lengkebong Bermimpi Jadi Pawang Sirkus”, yang secara terbuka khusus ditujukan untuk menanggapi tulisan saya “Sirkus Media, Akhir Kisah Paman Gober”

Almarhum Asrul Sani tentu tidak sedang “berkhayal” yang bukan-bukan ketika ia melahirkan sosok “Naga Bonar”. Gaisan pena dan dimensi imajinasinya, berjalan dalam ruang tanpa batas yang masih tetap memiliki “tuan”, dan tanpa ia sadari, sosok yang dihadirkan dalam “mimpi” tersebut ternyata mendapat apresiasi yang sangat luar biasa dengan menjadi film terbaik FFI tahun 1986, sekaligus mencatat jumlah penonton terbesar. Dalam suatu ruang imajinasi, terkadang suatu “ketidakmungkinan” akan diketengahkan sebagai “kemungkinan”, karena disitulah sebenarnya esensi sebuah “khayalan”. Terlebih kalau hanya mengkhayal yang mungkin-mungkin, itu lebih tepat dikatakan sebagai wujud lain dari “lamunan”. Dan ditengah ketidakmungkinan itulah, Asrul Sani memulai kisah seorang pencopet ulung di zaman perang kemerdekaan, yang kemudian berkat kepolosan, keluguan, maupun kelugasannya diangkat menjadi seorang Jenderal. Setelah 21 tahun beranjak, Deddy Mizwar sebagai pemeran tokoh “Naga Bonar”, bermain dengan ketidakmungkinan, dan mencoba membangkitkan kembali sosok Naga Bonar ditengah zaman yang sangat jauh berbeda—dalam persepsinya—dengan mengangkat “Naga Bonar Jadi Dua”. Sebagaimana film pertamanya, sequel yang ditampilkan Deddy Mizwar saat ini, tetap mengangkat pesan-pesan moral yang bisa dipahami dalam artian luas, dengan mengarahkan sebuah personifikasi makna hidup, komitmen maupun konsistensi kedirian yang tidak akan pernah aus oleh apapun. Dalam setiap alur cerita, tempat dan waktu berbeda yang disuguhkan, sang Naga Bonar sepertinya tidak pernah tenggelam oleh zaman, bahkan ditampilkan seperti menantang zaman. Meskipun pada akhirnya ia harus “mencoba memahami zaman yang sama sekali tidak dimengerti”. Dan Naga bonar memang pada dasarnya adalah sebuah personifikasi.

Sayangnya hal diatas sangat kontradiktif dengan kisah seseorang, saya sebut saja si “ Ucok kecil”, yang dengan kesombongan luar biasa mengaku-ngaku sebagai “Naga Bonar”. Meminjam istilah Katamsi Ginano, pengakuan ini lebih tepat dikatakan “bukan sekedar mimpi di siang bolong, namun lamunan yang keterlaluan”, dan agak kekanak-kanakan. Lamunan yang keterlaluan ini, menjadi sangat jelas terlihat ketika suatu ketika ia menulis tentang seorang “pengkhayal”, yang tanpa sadar ia kemukakan dalam ruang imajinasi tak bertuan dengan gaya penulisan “persis aku semasa SD”, karena kecenderungannya yang sama sekali tidak menghormati takdir koma sebagai perehat frase ataupun kalimat. Dalam tulisan yang khusus ditujukan untuk menangapi salah satu kolom saya “Sirkus Media Akhir Kisah Paman Gober”, (Manado Post,08/02/2008), selain berbicara mengenai “si Pengkhayal” dalam persepsi “lamunan keterlaluannya”, Ucok kecil juga mengangkat hal-hal yang lucunya, sangat jauh dari makna esensi yang saya kemukakan dengan begitu lugasnya dalam kolom tersebut. Implisitas yang ditonjolkan membuka aib rendahnya batas pengetahuan yang ia miliki, dan dengan sangat sadarnya sedang “mempermalukan diri sendiri” tanpa “malu-malu”. Sebenarnya ada keengganan berwujud “malas” menghingapi relung jiwa saya untuk menangapi, akan tetapi untuk sekadar menjawab tanggapan yang dialamatkan secara langsung, terbuka dan tanpa malu-malu, maka pertanggungjawaban setidaknya harus dikemukakan, meski konteksnya hanya “seadanya”.

Pertama, permasalahan substansi. Si Ucok kecil bisa dikatakan menyimpang jauh dari substansi yang saya sampaikan dalam kolom tersebut. Entah itu karena kepintarannya yang dilebih-lebihkan tanpa arah yang jelas, atau bisa jadi, dan yang paling mungkin oleh kedangkalan penalaran sekaligus keterbatasan daya tangkap dari seorang yang juga mengaku sebagai wartawan senior. Ini sangat jelas terlihat dengan begitu congkaknya ia berbicara tentang plagiat yang kabur oleh makna. Apakah mengutip sebuah ungkapan sambil menulis dengan jelas nara sumbernya, kemudian mengkritisi itu dari sudut pandang berbeda adalah perbuatan “plagiat”. Apakah mengungkap fakta dari catatan seseorang untuk sebuah analogisme, dengan tidak lupa menyertakan penulisnya, disebut plagiat, dan apakah mengutip monolog seorang budayawan sebagai sarana kontemplasi diri, dengan tetap menuliskan nama sang budayawan serta sumber medianya termasuk plagiat. Saya pikir hanya orang bodoh dengan ketololan luar biasa yang bisa mengatakan itu sebagai “plagiat”. Substansi yang saya sampaikan dalam tulisan tersebut sudah sangat terbuka dengan lebarnya, bahwa perimbangan perlu dikemukakan untuk menghormati para korban kekejaman rezim Soeharto, yang sampai saat ini masih tetap berjuang menuntut keadilan yang tidak pernah mereka dapatkan. Bahwa media sebisa mungkin harus mempertahankan aspek perimbangan untuk menghindari subjektivitas dan intervensi kapitalisme, terutama untuk “menyenangkan” khalayak dalam berbagai macam persepesi.

Kedua, mengenai lengkebong. Saya tidak terlalu heran oleh cakupan yang ia kemukakan, artinya, batasan “khayalan” yang dimaksudkan tentu saja berangkat dari persepsi subjektif yang terwujud oleh “lamunan keterlaluannya” . Namun untuk sekadar meluruskan, setidaknya antara yang “fakta” dan “imajiner” harus dirunut, dibahas dan disandingkan sesuai porsinya. Kalau ingin mempertanyakan sesuatu yang imajiner, tanyakan itu langsung kepada Seno Gumira Ajidarma, kenapa harus menulis cerpen “Kematian Paman Gober”. Dan marahilah Butet Kertaradjasa karena bermonolog dengan itu. Di titik ini bisa dikatakan bahwa dengan sangat sadarnya ia sedang berjalan ke arah jebakan surealisme yang sama sekali tidak memikat, sambil melahirkan imajinasi-imajinasi sesat tak bertuan. Kalau hanya sekadar menghormati apa yang telah diperbuat Soeharto, ada batasan yang tepat ketika itu harus diperuntukkan kepada dia, dan di lingkup batasan itu, objektivitas akan menenggelamkan segala bentuk apa pun dari subjektivitas. tapi kalau kemudian asumsi penghormatan adalah pengkultusan terhadap penghambaan, maaf saja, saya bukan bagian dari itu.

Mungkin akan lebih baik kiranya jika si Ucok Kecil ini lebih banyak membaca agar mengerti dengan baik apa itu plagiat, sebelum menanggapi sebuah kolom, dan paham benar permasalahan substansi agar tidak kebablasan sebelum menulis. Setidaknya Ucok Kecil bisa sedikit berlega hati, karena saya bukan bagian dari masyarakat Kotamobagu Timur, terutama wilayah Kelurahan Kotobangon. Implisitas yang dikemukakan dalam tulisannya, mengarah kepada masyarakat yang dianggap sebagai gerembolan lengkebong yang harus dilatih untuk tidak menjadi lengkebong, dan sayangnya persepsi lengkebong dimaksud, berangkat dari “lamunan keterlaluannya”. Jika pun kemudian “Naga Bonar Jadi Tiga” akan ada, si Ucok Kecil ini tetap belum pantas untuk menyandang itu, karena hal yang pasti, Deddy Mizwar tak akan sudi dan Almarhum Asrul Sani tentu akan pernah “tenang!”.#