Tulisan ini dipublikasikan Koran Radar Totabuan awal Maret 2008, untuk menanggapi tulisan Pemimpin Redaksi Tabloid GEMPAR, Jaslin Sitinjak sang “Naga Bonar” lewat artikelnya “Lengkebong Bermimpi Jadi Pawang Sirkus”, yang secara terbuka khusus ditujukan untuk menanggapi tulisan saya “Sirkus Media, Akhir Kisah Paman Gober”
Almarhum Asrul Sani tentu tidak sedang
“berkhayal” yang bukan-bukan ketika ia melahirkan sosok “Naga Bonar”. Gaisan
pena dan dimensi imajinasinya, berjalan dalam ruang tanpa batas yang masih
tetap memiliki “tuan”, dan tanpa ia sadari, sosok yang dihadirkan dalam “mimpi”
tersebut ternyata mendapat apresiasi yang sangat luar biasa dengan menjadi film
terbaik FFI tahun 1986, sekaligus mencatat jumlah penonton terbesar. Dalam
suatu ruang imajinasi, terkadang suatu “ketidakmungkinan” akan diketengahkan
sebagai “kemungkinan”, karena disitulah sebenarnya esensi sebuah “khayalan”.
Terlebih kalau hanya mengkhayal yang mungkin-mungkin, itu lebih tepat dikatakan
sebagai wujud lain dari “lamunan”. Dan ditengah ketidakmungkinan itulah, Asrul
Sani memulai kisah seorang pencopet ulung di zaman perang kemerdekaan, yang
kemudian berkat kepolosan, keluguan, maupun kelugasannya diangkat menjadi
seorang Jenderal. Setelah 21 tahun beranjak, Deddy Mizwar sebagai pemeran tokoh
“Naga Bonar”, bermain dengan ketidakmungkinan, dan mencoba membangkitkan
kembali sosok Naga Bonar ditengah zaman yang sangat jauh berbeda—dalam persepsinya—dengan
mengangkat “Naga Bonar Jadi Dua”. Sebagaimana film pertamanya, sequel yang
ditampilkan Deddy Mizwar saat ini, tetap mengangkat pesan-pesan moral yang bisa
dipahami dalam artian luas, dengan mengarahkan sebuah personifikasi makna
hidup, komitmen maupun konsistensi kedirian yang tidak akan pernah aus oleh
apapun. Dalam setiap alur cerita, tempat dan waktu berbeda yang disuguhkan,
sang Naga Bonar sepertinya tidak pernah tenggelam oleh zaman, bahkan
ditampilkan seperti menantang zaman. Meskipun pada akhirnya ia harus “mencoba
memahami zaman yang sama sekali tidak dimengerti”. Dan Naga bonar memang pada
dasarnya adalah sebuah personifikasi.
Sayangnya
hal diatas sangat kontradiktif dengan kisah seseorang, saya sebut saja si “
Ucok kecil”, yang dengan kesombongan luar biasa mengaku-ngaku sebagai “Naga
Bonar”. Meminjam istilah Katamsi Ginano, pengakuan ini lebih tepat dikatakan
“bukan sekedar mimpi di siang bolong, namun lamunan yang keterlaluan”, dan agak
kekanak-kanakan. Lamunan yang keterlaluan ini, menjadi sangat jelas terlihat
ketika suatu ketika ia menulis tentang seorang “pengkhayal”, yang tanpa sadar
ia kemukakan dalam ruang imajinasi tak bertuan dengan gaya penulisan “persis
aku semasa SD”, karena kecenderungannya yang sama sekali tidak menghormati
takdir koma sebagai perehat frase ataupun kalimat. Dalam tulisan yang khusus
ditujukan untuk menangapi salah satu kolom saya “Sirkus Media Akhir Kisah Paman
Gober”, (Manado Post,08/02/2008), selain berbicara mengenai “si Pengkhayal”
dalam persepsi “lamunan keterlaluannya”, Ucok kecil juga mengangkat hal-hal
yang lucunya, sangat jauh dari makna esensi yang saya kemukakan dengan begitu
lugasnya dalam kolom tersebut. Implisitas yang ditonjolkan membuka aib
rendahnya batas pengetahuan yang ia miliki, dan dengan sangat sadarnya sedang
“mempermalukan diri sendiri” tanpa “malu-malu”. Sebenarnya ada keengganan
berwujud “malas” menghingapi relung jiwa saya untuk menangapi, akan tetapi
untuk sekadar menjawab tanggapan yang dialamatkan secara langsung, terbuka dan
tanpa malu-malu, maka pertanggungjawaban setidaknya harus dikemukakan, meski
konteksnya hanya “seadanya”.
Pertama, permasalahan substansi. Si Ucok
kecil bisa dikatakan menyimpang jauh dari substansi yang saya sampaikan dalam
kolom tersebut. Entah itu karena kepintarannya yang dilebih-lebihkan tanpa arah
yang jelas, atau bisa jadi, dan yang paling mungkin oleh kedangkalan penalaran
sekaligus keterbatasan daya tangkap dari seorang yang juga mengaku sebagai
wartawan senior. Ini sangat jelas terlihat dengan begitu congkaknya ia
berbicara tentang plagiat yang kabur oleh makna. Apakah mengutip sebuah
ungkapan sambil menulis dengan jelas nara sumbernya, kemudian mengkritisi itu
dari sudut pandang berbeda adalah perbuatan “plagiat”. Apakah mengungkap fakta
dari catatan seseorang untuk sebuah analogisme, dengan tidak lupa menyertakan
penulisnya, disebut plagiat, dan apakah mengutip monolog seorang budayawan
sebagai sarana kontemplasi diri, dengan tetap menuliskan nama sang budayawan
serta sumber medianya termasuk plagiat. Saya pikir hanya orang bodoh dengan
ketololan luar biasa yang bisa mengatakan itu sebagai “plagiat”. Substansi yang
saya sampaikan dalam tulisan tersebut sudah sangat terbuka dengan lebarnya,
bahwa perimbangan perlu dikemukakan untuk menghormati para korban kekejaman
rezim Soeharto, yang sampai saat ini masih tetap berjuang menuntut keadilan
yang tidak pernah mereka dapatkan. Bahwa media sebisa mungkin harus
mempertahankan aspek perimbangan untuk menghindari subjektivitas dan intervensi
kapitalisme, terutama untuk “menyenangkan” khalayak dalam berbagai macam
persepesi.
Kedua, mengenai lengkebong. Saya tidak
terlalu heran oleh cakupan yang ia kemukakan, artinya, batasan “khayalan” yang
dimaksudkan tentu saja berangkat dari persepsi subjektif yang terwujud oleh
“lamunan keterlaluannya” . Namun untuk sekadar meluruskan, setidaknya antara
yang “fakta” dan “imajiner” harus dirunut, dibahas dan disandingkan sesuai
porsinya. Kalau ingin mempertanyakan sesuatu yang imajiner, tanyakan itu
langsung kepada Seno Gumira Ajidarma, kenapa harus menulis cerpen “Kematian
Paman Gober”. Dan marahilah Butet Kertaradjasa karena bermonolog dengan itu. Di
titik ini bisa dikatakan bahwa dengan sangat sadarnya ia sedang berjalan ke
arah jebakan surealisme yang sama sekali tidak memikat, sambil melahirkan
imajinasi-imajinasi sesat tak bertuan. Kalau hanya sekadar menghormati apa yang
telah diperbuat Soeharto, ada batasan yang tepat ketika itu harus diperuntukkan
kepada dia, dan di lingkup batasan itu, objektivitas akan menenggelamkan segala
bentuk apa pun dari subjektivitas. tapi kalau kemudian asumsi penghormatan
adalah pengkultusan terhadap penghambaan, maaf saja, saya bukan bagian dari
itu.
Mungkin
akan lebih baik kiranya jika si Ucok Kecil ini lebih banyak membaca agar mengerti
dengan baik apa itu plagiat, sebelum menanggapi sebuah kolom, dan paham benar
permasalahan substansi agar tidak kebablasan sebelum menulis. Setidaknya Ucok
Kecil bisa sedikit berlega hati, karena saya bukan bagian dari masyarakat
Kotamobagu Timur, terutama wilayah Kelurahan Kotobangon. Implisitas yang
dikemukakan dalam tulisannya, mengarah kepada masyarakat yang dianggap sebagai
gerembolan lengkebong yang harus dilatih untuk tidak menjadi lengkebong, dan
sayangnya persepsi lengkebong dimaksud, berangkat dari “lamunan
keterlaluannya”. Jika pun kemudian “Naga Bonar Jadi Tiga” akan ada, si Ucok
Kecil ini tetap belum pantas untuk menyandang itu, karena hal yang pasti, Deddy
Mizwar tak akan sudi dan Almarhum Asrul Sani tentu akan pernah “tenang!”.#