Senin, 03 Maret 2008

Naga Bonar Jadi Tiga!



Tulisan ini dipublikasikan Koran Radar Totabuan awal Maret 2008, untuk menanggapi tulisan Pemimpin Redaksi Tabloid GEMPAR, Jaslin Sitinjak sang “Naga Bonar” lewat artikelnya “Lengkebong Bermimpi Jadi Pawang Sirkus”, yang secara terbuka khusus ditujukan untuk menanggapi tulisan saya “Sirkus Media, Akhir Kisah Paman Gober”

Almarhum Asrul Sani tentu tidak sedang “berkhayal” yang bukan-bukan ketika ia melahirkan sosok “Naga Bonar”. Gaisan pena dan dimensi imajinasinya, berjalan dalam ruang tanpa batas yang masih tetap memiliki “tuan”, dan tanpa ia sadari, sosok yang dihadirkan dalam “mimpi” tersebut ternyata mendapat apresiasi yang sangat luar biasa dengan menjadi film terbaik FFI tahun 1986, sekaligus mencatat jumlah penonton terbesar. Dalam suatu ruang imajinasi, terkadang suatu “ketidakmungkinan” akan diketengahkan sebagai “kemungkinan”, karena disitulah sebenarnya esensi sebuah “khayalan”. Terlebih kalau hanya mengkhayal yang mungkin-mungkin, itu lebih tepat dikatakan sebagai wujud lain dari “lamunan”. Dan ditengah ketidakmungkinan itulah, Asrul Sani memulai kisah seorang pencopet ulung di zaman perang kemerdekaan, yang kemudian berkat kepolosan, keluguan, maupun kelugasannya diangkat menjadi seorang Jenderal. Setelah 21 tahun beranjak, Deddy Mizwar sebagai pemeran tokoh “Naga Bonar”, bermain dengan ketidakmungkinan, dan mencoba membangkitkan kembali sosok Naga Bonar ditengah zaman yang sangat jauh berbeda—dalam persepsinya—dengan mengangkat “Naga Bonar Jadi Dua”. Sebagaimana film pertamanya, sequel yang ditampilkan Deddy Mizwar saat ini, tetap mengangkat pesan-pesan moral yang bisa dipahami dalam artian luas, dengan mengarahkan sebuah personifikasi makna hidup, komitmen maupun konsistensi kedirian yang tidak akan pernah aus oleh apapun. Dalam setiap alur cerita, tempat dan waktu berbeda yang disuguhkan, sang Naga Bonar sepertinya tidak pernah tenggelam oleh zaman, bahkan ditampilkan seperti menantang zaman. Meskipun pada akhirnya ia harus “mencoba memahami zaman yang sama sekali tidak dimengerti”. Dan Naga bonar memang pada dasarnya adalah sebuah personifikasi.

Sayangnya hal diatas sangat kontradiktif dengan kisah seseorang, saya sebut saja si “ Ucok kecil”, yang dengan kesombongan luar biasa mengaku-ngaku sebagai “Naga Bonar”. Meminjam istilah Katamsi Ginano, pengakuan ini lebih tepat dikatakan “bukan sekedar mimpi di siang bolong, namun lamunan yang keterlaluan”, dan agak kekanak-kanakan. Lamunan yang keterlaluan ini, menjadi sangat jelas terlihat ketika suatu ketika ia menulis tentang seorang “pengkhayal”, yang tanpa sadar ia kemukakan dalam ruang imajinasi tak bertuan dengan gaya penulisan “persis aku semasa SD”, karena kecenderungannya yang sama sekali tidak menghormati takdir koma sebagai perehat frase ataupun kalimat. Dalam tulisan yang khusus ditujukan untuk menangapi salah satu kolom saya “Sirkus Media Akhir Kisah Paman Gober”, (Manado Post,08/02/2008), selain berbicara mengenai “si Pengkhayal” dalam persepsi “lamunan keterlaluannya”, Ucok kecil juga mengangkat hal-hal yang lucunya, sangat jauh dari makna esensi yang saya kemukakan dengan begitu lugasnya dalam kolom tersebut. Implisitas yang ditonjolkan membuka aib rendahnya batas pengetahuan yang ia miliki, dan dengan sangat sadarnya sedang “mempermalukan diri sendiri” tanpa “malu-malu”. Sebenarnya ada keengganan berwujud “malas” menghingapi relung jiwa saya untuk menangapi, akan tetapi untuk sekadar menjawab tanggapan yang dialamatkan secara langsung, terbuka dan tanpa malu-malu, maka pertanggungjawaban setidaknya harus dikemukakan, meski konteksnya hanya “seadanya”.

Pertama, permasalahan substansi. Si Ucok kecil bisa dikatakan menyimpang jauh dari substansi yang saya sampaikan dalam kolom tersebut. Entah itu karena kepintarannya yang dilebih-lebihkan tanpa arah yang jelas, atau bisa jadi, dan yang paling mungkin oleh kedangkalan penalaran sekaligus keterbatasan daya tangkap dari seorang yang juga mengaku sebagai wartawan senior. Ini sangat jelas terlihat dengan begitu congkaknya ia berbicara tentang plagiat yang kabur oleh makna. Apakah mengutip sebuah ungkapan sambil menulis dengan jelas nara sumbernya, kemudian mengkritisi itu dari sudut pandang berbeda adalah perbuatan “plagiat”. Apakah mengungkap fakta dari catatan seseorang untuk sebuah analogisme, dengan tidak lupa menyertakan penulisnya, disebut plagiat, dan apakah mengutip monolog seorang budayawan sebagai sarana kontemplasi diri, dengan tetap menuliskan nama sang budayawan serta sumber medianya termasuk plagiat. Saya pikir hanya orang bodoh dengan ketololan luar biasa yang bisa mengatakan itu sebagai “plagiat”. Substansi yang saya sampaikan dalam tulisan tersebut sudah sangat terbuka dengan lebarnya, bahwa perimbangan perlu dikemukakan untuk menghormati para korban kekejaman rezim Soeharto, yang sampai saat ini masih tetap berjuang menuntut keadilan yang tidak pernah mereka dapatkan. Bahwa media sebisa mungkin harus mempertahankan aspek perimbangan untuk menghindari subjektivitas dan intervensi kapitalisme, terutama untuk “menyenangkan” khalayak dalam berbagai macam persepesi.

Kedua, mengenai lengkebong. Saya tidak terlalu heran oleh cakupan yang ia kemukakan, artinya, batasan “khayalan” yang dimaksudkan tentu saja berangkat dari persepsi subjektif yang terwujud oleh “lamunan keterlaluannya” . Namun untuk sekadar meluruskan, setidaknya antara yang “fakta” dan “imajiner” harus dirunut, dibahas dan disandingkan sesuai porsinya. Kalau ingin mempertanyakan sesuatu yang imajiner, tanyakan itu langsung kepada Seno Gumira Ajidarma, kenapa harus menulis cerpen “Kematian Paman Gober”. Dan marahilah Butet Kertaradjasa karena bermonolog dengan itu. Di titik ini bisa dikatakan bahwa dengan sangat sadarnya ia sedang berjalan ke arah jebakan surealisme yang sama sekali tidak memikat, sambil melahirkan imajinasi-imajinasi sesat tak bertuan. Kalau hanya sekadar menghormati apa yang telah diperbuat Soeharto, ada batasan yang tepat ketika itu harus diperuntukkan kepada dia, dan di lingkup batasan itu, objektivitas akan menenggelamkan segala bentuk apa pun dari subjektivitas. tapi kalau kemudian asumsi penghormatan adalah pengkultusan terhadap penghambaan, maaf saja, saya bukan bagian dari itu.

Mungkin akan lebih baik kiranya jika si Ucok Kecil ini lebih banyak membaca agar mengerti dengan baik apa itu plagiat, sebelum menanggapi sebuah kolom, dan paham benar permasalahan substansi agar tidak kebablasan sebelum menulis. Setidaknya Ucok Kecil bisa sedikit berlega hati, karena saya bukan bagian dari masyarakat Kotamobagu Timur, terutama wilayah Kelurahan Kotobangon. Implisitas yang dikemukakan dalam tulisannya, mengarah kepada masyarakat yang dianggap sebagai gerembolan lengkebong yang harus dilatih untuk tidak menjadi lengkebong, dan sayangnya persepsi lengkebong dimaksud, berangkat dari “lamunan keterlaluannya”. Jika pun kemudian “Naga Bonar Jadi Tiga” akan ada, si Ucok Kecil ini tetap belum pantas untuk menyandang itu, karena hal yang pasti, Deddy Mizwar tak akan sudi dan Almarhum Asrul Sani tentu akan pernah “tenang!”.#