Tulisan ini dipublikasikan Koran Radar Bolmong, tanggal 26 Mei 2008, untuk memperingati satu tahun Kota
Kotamobagu pasca dimekarkan dari Kabupaten Bolaang Mongondow.
Matahari belum juga
bosan memancarkan teriknya. Siang itu, secara kebetulan saya duduk di deretan
samping kiri bagian tengah, sebuah rangkaian pesta pernikahan di Kelurahan
Mogolaing Kecamatan Kotamobagu Barat, Kota Kotamobagu. Di atas pelaminan,
tepatnya di sisi kanan kedua mempelai dan pengampu, tampak Sekretaris Kota
Kotamobagu, Drs. Jainudin Damopolii sedang menyampaikan nasehat perkawinan
sekaligus sambutan pemerintah, untuk memenuhi permintaan sahibul hajat. Nasehat
Pak Sekkot berjalan tenang, syahdu, khidmat dengan analogi-analogi yang cukup
segar. Sambutan pemerintah yang disampaikan pun berjalan sebagaimana mestinya.
Dalam artian, saya masih melihat seorang birokrat yang sedang bicara di depan,
bukan politisi ataupun tim sukses salah satu pasangan calon Walikota dan Wakil
Walikota. Belum begitu lama memberikan sambutan, tiba-tiba telepon genggam Pak
Sekkot berbunyi. Tanpa mengurangi rasa hormat kepada sahibul hajat, beliau
menghentikan sedikit penyampaian untuk sesaat refleks melirikkan mata ke layar
telepon genggamnya. Sesaat memang, tapi setelah itu aura ruang pesta berubah
sebagaimana air muka Pak Sekkot yang mulai memerah. Dengan suara agak tertahan
dan sedikit menahan amarah, beliau secara terbuka tanpa canggung menyampaikan
bahwa yang bunyi tadi itu SMS, dan isinya “jangan memprovokasi massa”.
Hadirin yang hadir saat itu, terkecuali yang mengirimkan SMS tentunya, jelas
kaget. Saya pun tidak bisa menyembunyikan perasaan yang sama. Bahwa yang sedang
bicara di depan tersebut adalah seorang Sekretaris Kota, dan sedari tadi
menyimak penyampaian beliau, tidak ada satu kata pun—menurut pemahaman
saya—yang bisa dikategorikan provokasi.
Pilkada
memang sudah diambang pintu, dan politik bentukan zaman ini, sering
menggiring perilaku orang-orang untuk dengan mudahnya berpikiran sempit. Apakah
menjelaskan kondisi real Kota Kotamobagu sebagai daerah otonom baru dengan PAD
yang hanya 1,5 M, dan terus dievaluasi oleh pemerintah pusat adalah tindakan
provokasi? Apakah menyampaikan himbauan kepada rakyat Kotamobagu untuk
menggunakan hak pilihnya sebaik-baiknya dengan memilih pemimpin yang memiliki
kemampuan memadai untuk menakhodai daerah baru, bisa disebut sebagai provokasi?
Bukankah yang terjadi malah sebaliknya? Sadarkah masyarakat dengan kondisi
Kotamobagu sebenarnya? Setidaknya, subjektifitas perlu dihindari untuk memaknai
sebuah kondisi se objektif mungkin, bahwa Kotamobagu memang seperti itu.
Ranah
pikir saya refleks ikut menerawang menembus sekat-sekat ideologi yang masih
berusaha dipertahankan, tanpa disadari antara sekat-sekat itu saya menjumpai
beberapa hal berwujud kesedihan. Dan selama memendam kesedihan adalah sesuatu
yang kurang baik, maka itu perlu diungkapkan, entah itu harus ke publik
Kotamobagu yang secara langsung akan merasakan dampak dari semua itu.
Pertama; permasalahan aset. Kota Kotamobagu yang diresmikan secara
sah sebagai daerah otonom baru dengan diangkatnya penjabat walikota sejak 23
Mei 2007 lalu, memang berada dalam kondisi yang cukup memprihatinkan dalam hal
pendapatan asli daerah. Salah satu penyebab utamanya adalah penyerahan aset
yang masih terkesan setengah hati. Undang-undang nomor 4 tahun 2007 tentang
pembentukan Kota Kotamobagu, BAB V pasal 13 mengamanatkan penyerahan personel,
aset dan dokumen lainnya. Kita tahu bahwa penyerahan personel memang telah
dilakukan, tapi bagaimana dengan aset dan dokumen penting lainnya. Sementara di
satu sisi kita juga sadar, aset-aset potensial sangat dibutuhkan untuk
mengenjot pendapatan asli daerah. Selama ini yang diserahkan ke Pemerintah Kota
Kotamobagu hanya sebatas aset yang pundi-pundi PAD-nya kecil. Memang penyerahan
aset berupa; a. barang milik/dikuasi yang bergerak dan tidak bergerak
dan/atau dimanfaatkan oleh pemerintah kabupaten Bolaang Mongondow yang berada
dalam wilayah kota kotamobagu; b. Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Kabupaten
Bolaang Mongondow yang berkedudukan, kegiatan, dan lokasinya berada di kota
kotamobagu; c. utang piutang kabupaten Bolaang Mongondow yang kegunaannya untuk
kota kotamobagu menjadi tanggung jawab kota kotamobagu; d. dokumen dan arsip
yang karena sifatnya diperlukan oleh kota kotamobagu, sebagaimana bunyi
ayat 7, akan diserahkan paling lambat 5 tahun sejak pelantikan penjabat
walikota (ayat 3). Tapi jangan pernah lupa, dan yang harus kita garis bawahi
bahwa di situ ada kata “paling lambat” yang memuat asumsi range waktu
yang harus dipercepat. Artinya, lebih cepat lebih baik untuk menjawab proses
evaluasi yang terus dilakukan. Dalam BAB VII tentang pembinaan, pasal 17
mengisyaratkan “setelah 5 (lima) tahun sejak diresmikan…….” Akan
dilakukan evaluasi. Disitu pun kita mendapatkan bahwa redaksinya bukan “sejak
5 tahun setelah diresmikan”. Kita rakyat harus sadar, perkembangan Kota
Kotamobagu terus dipantau 5 tahun kedepan, terutama dari aspek kemampuan daerah
otonom baru untuk mandiri dalam segala hal, lebih khususnya menatausahakan
pendapatan asli daerahnya sendiri. Kita rakyat harus sadar, waktu adalah nilai
yang terus berjalan, dan se kecil apapun itu harus tetap dihargai. Jika tidak,
maka kita harus sama-sama tertunduk untuk pasrah “selamat tinggal kota-ku”.
Kedua; kesalahan persepsi. Sejak direncanakan maupun setelah
dimekarkannya kota kotamobagu, ada semacam kesalahan persepsi yang hadir dan
berkembang di tengah masyarakat. Kota kotamobagu diposisikan sebagai seorang
“anak” dan Kabupaten Bolmong adalah seorang “ibu”. Adagium ini mau tak mau
melahirkan asumsi-asumsi persepsional, bahwasanya sebagai seorang “anak”, sudah
sepatutnya tunduk, taat, patuh dan pasrah pada keinginan “sang ibu”, meskipun
karena itu sang ibu sadar bahwa anaknya tidak pernah bisa untuk mandiri. Jika
hubungan seperti ini yang dipertahankan atau pun sengaja diwacanakan, kita
tidak akan bisa menghindari tembok tinggi etika kesantunan yang terbangun kokoh
disitu. Ada semacam relationship yang agak keliru ketika itu
disandingkan dalam konteks kemandirian suatu daerah, yang secara kasat mata
menggiring polemik antara hak dan kewajiban yang tidak ada habisnya. Artinya,
hubungan antara ibu dan anak tidak tepat secara kontekstual. Kalaupun harus ada
pewacanaan relasi untuk menjaga dan mempertahankan integritas secara
kewilayahan, Mungkin akan lebih baik ketika yang diwacanakan adalah hubungan
saudara antara seorang “kakak” dan seorang “adik”. Sedangkan yang pantas
menjadi “ibu” adalah pemerintah pusat yang tidak bosan-bosanya memanjakan
“anaknya” dengan segala DAU, DAK, Adhoc dan sebagainya, oleh laku anaknya yang
belum juga bisa mandiri.
Ketiga; masalah kepemimpinan. Sebagaimana yang disampaikan pak
Sekretaris Kota, memang seperti itulah harusnya. Sebagai daerah otonom baru,
kota kotamobagu sangat membutuhkan pemimpin yang kapasitas intelektualitasnya
bisa dipertanggungjawabkan. Menjalankan pemerintahan bukan hanya sekadar
hitung-hitungan politik, tapi lebih dari itu. Kalau politik kemudian menjadi
sebuah ukuran, maka yakinlah pemerintahan tidak akan berjalan sebagaimana
mestinya. Akan terlalu banyak kepentingan berbenturan disana, dan akhirnya
rakyat banyak harus dikorbankan. Di antara semua kandidat calon Walikota dan
Wakil Walikota yang akan bertarung nanti, pada dasarnya semuanya memiliki itu,
tapi hal yang pasti tetap saja ada yang “terbaik” diantara yang “baik”, dan
yang akan menentukan itu adalah rakyat kota kotamobagu, tentu saja masih tetap
dengan “kehati-hatian”.
Ranah
pikir saya kembali tersadar ketika suara lantang pak Sekretaris Kota, memecah
kesenduan. Dengan sedikit menantang beliau menegaskan “saya tidak akan
pernah takut dicopot dari jabatan kapan saja, hanya karena berbicara seperti
ini”, dan satu hal yang tidak berubah, saya masih tetap melihat seorang
birokrat di depan sana.
Setiap
melihat Penjabat Walikota, Sekretaris Kota dan pejabat lainnya di lingkungan
Pemerintah Kota Kotamobagu, saya jadi miris untuk tidak menyembunyikan
perasaan, bahwa mereka, saya, anda, kita semua rakyat Kota Kotamobagu sedang
permisi untuk numpang tinggal, dan sayangnya itu harus di rumah kita sendiri.
Untuk sekadar tidak menafikan rasa bangga dengan satu tahun Kota Kotamobagu,
saya teringat sajak Sapardi Djoko Damono yang harus dikutip dalam konteks
lokal, tanpa pernah terpikirkan untuk mengurangi rasa hormat saya kepada sang
penyair besar ini “Biarkan aku banggakan kau, Kotamobagu-ku, dengan cara
yang sederhana”. Dirgahayu Kotamobagu!.#