Tulisan
ini dipubilkasin Harian Tribun Totabuan sekitar awal November 2009, untuk
menanggapi tulisan Mudasir Potabuga (Sekretaris FPAN DPRD Kota Kotamobagu)
sebelumnya di Harian yang sama dengan judul artikel “Laskar Djelantik, Buat
Siapa?”, yang mempermasalahkan pembentukan Laskar Djelantik oleh Walikota
Kotamobagu Drs. Hi. Djelantik Mokodompit.
Kalau tulisan ini
dianggap pembelaan terhadap Laskar Djelantik, maka William Liddle ada benarnya
ketika mengkritik konsep menara gading-nya Mohamad Sobary. Kalau tulisan ini
disamakan dengan provokasi, pembaca yang budiman, silahkan lempar jauh-jauh
Koran ini dari hadapan anda. Dan kalau tulisan ini dimaksudkan untuk
memperkeruh suasana, penegasannya; tidak, karena bermain di air keruh bukan
sesuatu yang baik, selain kotor, ada kesumiran perspektif dan sebagaimana puisi
“Penerimaan” Chairil Anwar; “cermin pun enggan berbagi”.
Membaca
artikel “Laskar Djelantik, Buat Siapa?” (Tribun Totabuan, 29/10/09), yang
ditulis oleh yang terhormat Saudara Mudasir Potabuga, sekretaris F-PAN DPRD
Kotamobagu, saya takjub seketika. Jarang-jarang ada anggota DPRD baru, dengan
latar belakang seperti Saudara Mudasir, tiba-tiba bisa menulis. Kutipan pakar
yang dinukilkan pun cukup fantastis; dari George Sorensen, pebisnis terkemuka
negeri Paman Sam, kelahiran Denmark tahun 1861, yang pada 1881 bermigrasi ke
Amerika dan kemudian menjadi Presiden terpilih Pionner Bank Negara Burlingame
tahun 1910. Sampai ke David E Apter sang Henry J. Heinz II Profesor of
Comparative Politik dan Pembangunan Sosial Universitas Yale. Isi tulisannya pun
cukup fundamental membahas aspek “Demokrasi” dengan mempermasalahkan kehadiran
sebuah organisasi kemasyarakatan yang disebut “Laskar Djelantik”.
Oleh
sebab permasalahan ini sudah terlanjur dilempar ke ruang publik, dan menjadi
konsumsi masyarakat luas, maka tidak ada salahya untuk menanggapi, meskipun
tanpa mengurangi rasa hormat dan bermaksud melecehkan, anggap saja yang menulis
memang saudara Mudasir sendiri.
Ada
beberapa hal yang kiranya perlu disampaikan dengan merunut sistimatika
penulisan dalam tulisan tersebut. Pertama; pemahaman terhadap demokrasi.
Apa yang diramalkan George Sorensen mengenai abad ke-21 yang akan menjadi musim
semi demokrasi, khususnya bagi Negara-negara dunia ketiga, dengan melihat
perkembangan yang terjadi dan berlangsung saat ini memang ada benarnya.
Demokrasi telah menjadi roh fundamentalisme dalam sistem ketatanegaraan sebuah
bangsa, dan ditempatkan sebagai tools utama dalam pencapaian
kesejahteraan masyarakatnya. Mengutip apa yang disampaikan Saudara Mudasir ”demokrasi
telah mampu menjadi fenomena yang menglobal, bahkan menjadi konstruksi
peradaban manusia tertinggi dan universal”, makin jelaslah sudah bahwa
karena ia (demokrasi) “menjadi fenomena yang menglobal”, “konstruksi peradaban
manusia tertinggi” dan “universal”, maka yang namanya “demokrasi” tidak bisa
hanya dilihat dari sudut lapangan Mongkonai saja. Terlebih jika yang dipakai
adalah kacamata Sorensen dengan musim semi demokrasinya. Sesuatu yang pasti,
berbagai fenomena yang termanifestasikan oleh konstruksi peradaban
manusia-manusia di dalamnya, mau tak mau akan tumbuh dan bersemi dalam taman
demokrasi yang universal. Dan saya rasa, dengan kemampuan intelektual yang
tergambarkan dengan sangat jelas dalam tulisannya, Saudara Mudasir pasti tahu
itu. Dengan paham demokrasi, kita tidak bisa menafikan unsur kebebasan yang
termaktub di dalamnya; bahwa demokrasi menjamin kebebasan, yang dibingkai manis
dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Di
Indonesia kita, kebebasan itu telah diwujudkan sejak pertama negeri ini
dikumandangkan sebagai Negara merdeka, dengan menjamin kebebasan masyarakatnya
untuk berkumpul dan berserikat. Dalam konteks ini, seandainya Saudara Mudasir
sepaham dengan saya, pembentukan organisasi yang lahir dari construct
peradaban manusia, bukan sesuatu yang salah. Kalau perbandingannya ditarik dari
romantisme demokrasi yang menghancurkan Uni Soviet, sebenarnya Gorbachev patut
dipuji karena keberaniannya menjalankan reformasi yang dikenal; glasnost
(keterbukaan politik), perestroika (restrukturisasi ekonomi) dan kalau
boleh saya tambahkan satu unsur lagi; uskoreniye (percepatan pembangunan
ekonomi). Hanya saja dalam implementasinya, paham komunisme yang mencengkeram
Uni Soviet demikian kuatnya ketika itu, belum terlalu siap menghadapi berbagai
kemungkinan yang muncul kemudian, terutama restrukturisasi bidang ekonominya,
yang secara otomatis mengurangi dominasi Negara melakukan pengontrolan terhadap
dinamika perekonomian, dan menyebabkan negeri ini hancur. Di titik ini saya
akan sepakat bahwa Gorbachev termakan oleh isme demokrasi yang ia
tegakkan sendiri. Tapi, seandainya batasan yang digunakan adalah
otoritarianisme Soeharto yang runtuh oleh demokrasi, maka yakin dan percayalah;
laskar Djelantik belum mampu membunuh demokrasi.
Kedua; kapasitas yang dipertanyakan. Kehadiran seorang Djelantik
ketika mengukuhkan wadah tersebut pun, saya pikir tentu harus dilihat dari dua
sisi. Seandainya itu dalam kapasitasnya sebagai walikota, maka kehadiran
seorang kepala daerah untuk mengukuhkan sebuah wadah organisasi, meski itu
adalah Laskar Djelantik, bukan sesuatu yang tabu atau dilarang. Tempatkanlah
itu sebagai tanggung jawab moral seorang pemimpin daerah, dan bagian dari
pembinaan terhadap segala aktivitas organisasi sosial kemasyarakatan yang eksis
di daerah ini. Kalau kehadirannya kemudian dalam kapasitasnya sebagai pribadi,
tak perlu dibahas panjang lebar; itu hak politik beliau secara individu, dan
untuk lebih mempertegas, saya harus kembali mengutip Saudara Mudasir “reformasi
menyiapkan kanal-kanal demokrasi dalam bentuk aturan main yang jelas yang
kemudian kita sebut perundang-undangan”. Jadi sekali lagi; dijamin
undang-undang. Mengenai batasan Laskar yang kemudian disamakan dengan milisi,
maka yang sedang dilakukan adalah penyempitan makna yang sangat subjektif,
mengada-ada, terlalu berlebihan, sampai harus membawa-bawa keadaan darurat
militer untuk mempertahankan ibu pertiwi dari cengkeraman Negara asing. Malah
yang lebih lucu lagi jika kemudian kehadiran Laskar Djelantik, dianggap bisa
mengkriminalisasi peran lembaga parlemen serta pembonsaian terhadap teori Trias
Politika-nya Montesquieu. Sesuatu yang kurang masuk diakal seandainya di zaman
dengan “musim semi demokrasi” seperti saat ini, sebuah “Laskar Djelantik” bisa
dengan mudahnya mengecilkan peran birokrasi pemerintahan, mengambil fungsi
legislasi, penganggaran dan pengawasan legislatif, serta dengan angkuhnya
mencengkeram Polisi, Jaksa, Hakim di bawah ketiak mereka. Saya sendiri sulit
membayangkan itu. Yang terlihat dengan terang benderangnya justru;
kekhawatiran, kecemasan, dan ketakutan. Tak beda dengan orang sedang
“paranoid”, yang melihat “cicak” bak seekor “buaya”.
Kota
Kotamobagu saat ini sedang intens-nya memoles diri sedemikian rupa.
Pembangunan sarana prasarana diperluas, berbagai infrastruktur penunjang
dibenahi, dan untuk saat ini, saya rasa tidak ada satu orang pun bisa
berbantahan bahwa semua itu sudah mulai dirasakan oleh seluruh masyarakat Kota
Kotamobagu. Akan lebih elok, etis dan bermartabat, seandainya yang difokuskan
oleh Saudara Mudasir sebagai seorang anggota legislatif, lebih cenderung
memprioritaskan pandangannya pada aspek-aspek yang lebih bersentuhan langsung
dengan masyarakat, terutama bagaimana solusi yang paling tepat untuk lebih
meningkatkan kesejahteraan rakyat Kota Kotamobagu, ketimbang “parno” oleh
kehadiran Laskar Djelantik.
Kalau
pun itu memang merupakan sebuah pandangan politik dari PAN secara kelembagaan,
maka tak perlu gundah gulana, sebab musim semi demokrasi-nya George Sorensen
tak pernah melarang anda untuk kemudian menahbiskan misalnya; “LASKAR MUDASIR”,
“LASKAR KAMRAN”, atau apapun namanya. Rileks saja, santai dan ikuti perkembangannya.
Anggap itu semua bagian dari dinamika berdemokrasi tanpa perlu berlebihan dalam
menanggapi. Terkecuali seandainya dengan kehadiran “Laskar Djelantik”, esok
harinya langit di atas bumi ini akan runtuh, jangankan saya atau masyarakat
Kota Kotamobagu, seluruh dunia pun tentu tak akan setuju.#