Senin, 02 November 2009

Dari Laskar Djelantik sampai Laskar Mudasir!



Tulisan ini dipubilkasin Harian Tribun Totabuan sekitar awal November 2009, untuk menanggapi tulisan Mudasir Potabuga (Sekretaris FPAN DPRD Kota Kotamobagu) sebelumnya di Harian yang sama dengan judul artikel “Laskar Djelantik, Buat Siapa?”, yang mempermasalahkan pembentukan Laskar Djelantik oleh Walikota Kotamobagu Drs. Hi. Djelantik Mokodompit.

Kalau tulisan ini dianggap pembelaan terhadap Laskar Djelantik, maka William Liddle ada benarnya ketika mengkritik konsep menara gading-nya Mohamad Sobary. Kalau tulisan ini disamakan dengan provokasi, pembaca yang budiman, silahkan lempar jauh-jauh Koran ini dari hadapan anda. Dan kalau tulisan ini dimaksudkan untuk memperkeruh suasana, penegasannya; tidak, karena bermain di air keruh bukan sesuatu yang baik, selain kotor, ada kesumiran perspektif dan sebagaimana puisi “Penerimaan” Chairil Anwar; “cermin pun enggan berbagi”.

Membaca artikel “Laskar Djelantik, Buat Siapa?” (Tribun Totabuan, 29/10/09), yang ditulis oleh yang terhormat Saudara Mudasir Potabuga, sekretaris F-PAN DPRD Kotamobagu, saya takjub seketika. Jarang-jarang ada anggota DPRD baru, dengan latar belakang seperti Saudara Mudasir, tiba-tiba bisa menulis. Kutipan pakar yang dinukilkan pun cukup fantastis; dari George Sorensen, pebisnis terkemuka negeri Paman Sam, kelahiran Denmark tahun 1861, yang pada 1881 bermigrasi ke Amerika dan kemudian menjadi Presiden terpilih Pionner Bank Negara Burlingame tahun 1910. Sampai ke David E Apter sang Henry J. Heinz II Profesor of Comparative Politik dan Pembangunan Sosial Universitas Yale. Isi tulisannya pun cukup fundamental membahas aspek “Demokrasi” dengan mempermasalahkan kehadiran sebuah organisasi kemasyarakatan yang disebut “Laskar Djelantik”. 

Oleh sebab permasalahan ini sudah terlanjur dilempar ke ruang publik, dan menjadi konsumsi masyarakat luas, maka tidak ada salahya untuk menanggapi, meskipun tanpa mengurangi rasa hormat dan bermaksud melecehkan, anggap saja yang menulis memang saudara Mudasir sendiri.

Ada beberapa hal yang kiranya perlu disampaikan dengan merunut sistimatika penulisan dalam tulisan tersebut. Pertama; pemahaman terhadap demokrasi. Apa yang diramalkan George Sorensen mengenai abad ke-21 yang akan menjadi musim semi demokrasi, khususnya bagi Negara-negara dunia ketiga, dengan melihat perkembangan yang terjadi dan berlangsung saat ini memang ada benarnya. Demokrasi telah menjadi roh fundamentalisme dalam sistem ketatanegaraan sebuah bangsa, dan ditempatkan sebagai tools utama dalam pencapaian kesejahteraan masyarakatnya. Mengutip apa yang disampaikan Saudara Mudasir ”demokrasi telah mampu menjadi fenomena yang menglobal, bahkan menjadi konstruksi peradaban manusia tertinggi dan universal”, makin jelaslah sudah bahwa karena ia (demokrasi) “menjadi fenomena yang menglobal”, “konstruksi peradaban manusia tertinggi” dan “universal”, maka yang namanya “demokrasi” tidak bisa hanya dilihat dari sudut lapangan Mongkonai saja. Terlebih jika yang dipakai adalah kacamata Sorensen dengan musim semi demokrasinya. Sesuatu yang pasti, berbagai fenomena yang termanifestasikan oleh konstruksi peradaban manusia-manusia di dalamnya, mau tak mau akan tumbuh dan bersemi dalam taman demokrasi yang universal. Dan saya rasa, dengan kemampuan intelektual yang tergambarkan dengan sangat jelas dalam tulisannya, Saudara Mudasir pasti tahu itu. Dengan paham demokrasi, kita tidak bisa menafikan unsur kebebasan yang termaktub di dalamnya; bahwa demokrasi menjamin kebebasan, yang dibingkai manis dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. 

Di Indonesia kita, kebebasan itu telah diwujudkan sejak pertama negeri ini dikumandangkan sebagai Negara merdeka, dengan menjamin kebebasan masyarakatnya untuk berkumpul dan berserikat. Dalam konteks ini, seandainya Saudara Mudasir sepaham dengan saya, pembentukan organisasi yang lahir dari construct peradaban manusia, bukan sesuatu yang salah. Kalau perbandingannya ditarik dari romantisme demokrasi yang menghancurkan Uni Soviet, sebenarnya Gorbachev patut dipuji karena keberaniannya menjalankan reformasi yang dikenal; glasnost (keterbukaan politik), perestroika (restrukturisasi ekonomi) dan kalau boleh saya tambahkan satu unsur lagi; uskoreniye (percepatan pembangunan ekonomi). Hanya saja dalam implementasinya, paham komunisme yang mencengkeram Uni Soviet demikian kuatnya ketika itu, belum terlalu siap menghadapi berbagai kemungkinan yang muncul kemudian, terutama restrukturisasi bidang ekonominya, yang secara otomatis mengurangi dominasi Negara melakukan pengontrolan terhadap dinamika perekonomian, dan menyebabkan negeri ini hancur. Di titik ini saya akan sepakat bahwa Gorbachev termakan oleh isme demokrasi yang ia tegakkan sendiri. Tapi, seandainya batasan yang digunakan adalah otoritarianisme Soeharto yang runtuh oleh demokrasi, maka yakin dan percayalah; laskar Djelantik belum mampu membunuh demokrasi. 

Kedua; kapasitas yang dipertanyakan. Kehadiran seorang Djelantik ketika mengukuhkan wadah tersebut pun, saya pikir tentu harus dilihat dari dua sisi. Seandainya itu dalam kapasitasnya sebagai walikota, maka kehadiran seorang kepala daerah untuk mengukuhkan sebuah wadah organisasi, meski itu adalah Laskar Djelantik, bukan sesuatu yang tabu atau dilarang. Tempatkanlah itu sebagai tanggung jawab moral seorang pemimpin daerah, dan bagian dari pembinaan terhadap segala aktivitas organisasi sosial kemasyarakatan yang eksis di daerah ini. Kalau kehadirannya kemudian dalam kapasitasnya sebagai pribadi, tak perlu dibahas panjang lebar; itu hak politik beliau secara individu, dan untuk lebih mempertegas, saya harus kembali mengutip Saudara Mudasir “reformasi menyiapkan kanal-kanal demokrasi dalam bentuk aturan main yang jelas yang kemudian kita sebut perundang-undangan”. Jadi sekali lagi; dijamin undang-undang. Mengenai batasan Laskar yang kemudian disamakan dengan milisi, maka yang sedang dilakukan adalah penyempitan makna yang sangat subjektif, mengada-ada, terlalu berlebihan, sampai harus membawa-bawa keadaan darurat militer untuk mempertahankan ibu pertiwi dari cengkeraman Negara asing. Malah yang lebih lucu lagi jika kemudian kehadiran Laskar Djelantik, dianggap bisa mengkriminalisasi peran lembaga parlemen serta pembonsaian terhadap teori Trias Politika-nya Montesquieu. Sesuatu yang kurang masuk diakal seandainya di zaman dengan “musim semi demokrasi” seperti saat ini, sebuah “Laskar Djelantik” bisa dengan mudahnya mengecilkan peran birokrasi pemerintahan, mengambil fungsi legislasi, penganggaran dan pengawasan legislatif, serta dengan angkuhnya mencengkeram Polisi, Jaksa, Hakim di bawah ketiak mereka. Saya sendiri sulit membayangkan itu. Yang terlihat dengan terang benderangnya justru; kekhawatiran, kecemasan, dan ketakutan. Tak beda dengan orang sedang “paranoid”, yang melihat “cicak” bak seekor “buaya”.

Kota Kotamobagu saat ini sedang intens-nya memoles diri sedemikian rupa. Pembangunan sarana prasarana diperluas, berbagai infrastruktur penunjang dibenahi, dan untuk saat ini, saya rasa tidak ada satu orang pun bisa berbantahan bahwa semua itu sudah mulai dirasakan oleh seluruh masyarakat Kota Kotamobagu. Akan lebih elok, etis dan bermartabat, seandainya yang difokuskan oleh Saudara Mudasir sebagai seorang anggota legislatif, lebih cenderung memprioritaskan pandangannya pada aspek-aspek yang lebih bersentuhan langsung dengan masyarakat, terutama bagaimana solusi yang paling tepat untuk lebih meningkatkan kesejahteraan rakyat Kota Kotamobagu, ketimbang “parno” oleh kehadiran Laskar Djelantik.

Kalau pun itu memang merupakan sebuah pandangan politik dari PAN secara kelembagaan, maka tak perlu gundah gulana, sebab musim semi demokrasi-nya George Sorensen tak pernah melarang anda untuk kemudian menahbiskan misalnya; “LASKAR MUDASIR”, “LASKAR KAMRAN”, atau apapun namanya. Rileks saja, santai dan ikuti perkembangannya. Anggap itu semua bagian dari dinamika berdemokrasi tanpa perlu berlebihan dalam menanggapi. Terkecuali seandainya dengan kehadiran “Laskar Djelantik”, esok harinya langit di atas bumi ini akan runtuh, jangankan saya atau masyarakat Kota Kotamobagu, seluruh dunia pun tentu tak akan setuju.#