Senin, 09 Agustus 2010

Belajar Berjiwa Besar



Dipublikasikan Harian Radar Totabuan, Senin, 09 Agustus 2010, untuk menanggapi polemik yang terjadi di wilayah Bolaang Mongondow Bersatu pasca Pemilukada Gubernur dan Wakil Gubernur Sulawesi Utara periode 2010 – 2015.

Seorang tokoh agama Bolaang Mongondow bersatu, lebih spesifiknya salah satu ulama Kota Kotamobagu sebagaimana aktivitasnya yang diketahui masyarakat luas. Entah sadar atau tidak, marah, jengkel, gemas atau apapun itu, menumpahkan kekesalannya atas hasil quick count (hitung cepat) Pilkada Gubernur dan Wakil Gubernur Sulut Periode 2010-2015 dalam akun jejaring sosialnya dengan mengakronimkan LSI sebagai “Lingkar Setan Indonesia”. Sedikit menyinggung tentang “kebenaran yang akan terungkap”. Dan tidak lupa melaknat orang-orang yang memanfaatkan kecanggihan ilmu dan teknologi untuk kepentingan sesat. Saya jelas kaget campur heran oleh perkara seperti ini. Kaget karena jarang-jarang ada orang yang menyandang status sosial sebagai seorang “ulama” bisa senekat itu. Heran sebab, bukankah yang namanya “ulama” selalu hadir untuk untuk memberikan “pencerahan” di atas langit mendung anarkisme masyarakat luas yang sedang meninggi. Menurut saya, ada beberapa kemungkinan yang bisa saja mengiringi “status” sang ulama tersebut. Pertama; luapan emosi yang tak terbendung atas klaim kemenangan pasangan kandidat lain, sehingga lupa campur tak sadar dengan status sosial yang disandang. Kedua; bisa jadi sang ulama sedang mengalami yang namanya keseleo jari tangan ketika mengetikkan status tersebut. Kalau tidak untuk kedua-duanya, maka kemungkinan ketiga; bisa dipastikan sang ulama sedang berkutat dengan lamunan yang bagi saya, cukup keterlaluan. Sebagai orang yang cukup mengenal beliau, saya berharap yang disebutkan pertama menjadi kemungkinan terbesar yang mengiringi “status” yang di-update. Sebab bagaimanapun, ulama juga tak bisa menghindari kodratnya sebagai “manusia”, yang penuh khilaf maupun salah.

Salahkah Quick Count?

Sesuatu yang tak bisa dimungkiri, dalam perkembangannya demokrasi terkadang menuntut idealismenya. Tak peduli itu dibelahan dunia pertama maupun kedua, karena jauh sebelumnya George Sorensen telah meramalkan bahwa dunia ketiga termasuk Indonesia kita tercinta ini akan mengalami yang namanya “musim semi demokrasi”. Penerapan hitung cepat dalam pelaksanaan pesta demokrasi, baik itu pemilu legislatif, pilpres, pemilihan kepala daerah, mungkin juga adalah bagian dari musim semi dimaksud, dengan sejumlah dampak atau pun ekses bawaan yang selalu saja hadir mengiringi itu. Kalau mau ditilik kebelakang, sejak diujicobakan olah Forum Rektor dan LP3ES bekerjasama dengan National Democratic Institute for International Affairs (NDI) pada pemilu 1999, dan selanjutnya diterapkan lima tahun kemudian oleh LP3ES dengan mempublikasikan hasil pemilu 2004 dalam kurun waktu kurang dari 24 jam setelah pemungutan suara ditutup, sepak terjang quick count sering melahirkan pro dan kontra berbagai kelangan, tentu saja dengan beragam argumentasi. Yang pro beralasan bahwa selain dapat dijadikan data pembanding, hasil quick count juga bisa mengantisipasi maupun mengeleminir berbagai kecurangan yang mungkin bisa saja ada. Sedangkan mereka yang kontra ngotot bahwa selain telah mendahului kewenangan penyelenggara resmi pemilu, dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk mengumumkan hasil perolehan suara lewat mekanisme pleno sebagaimana diatur undang-undang pemilu, juga karena pubilkasi hasil quick count beberapa saat setelah pemungutan suara ditutup, dapat membentuk opini publik terhadap hasil pemilu, dan tentu saja menimbulkan keresahan ditengah masyaralat luas. Perdebatan mencapai klimaksnya awal 2009, dengan keluarnya keputusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilhan Umum Anggota DPR, DPD, DPRD yang diajukan Lingkar Survei Indonesia (LSI) dan Lembaga Survei Nasional (LSN), yang memutuskan Pasal 245 ayat (2), Pasal 245 ayat (3), Pasal 282 dan Pasal 307 Undang-undang tersebut bertentangan dengan konstitusi, tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sehingga dengan sendirinya pelaksanaan survei pada masa tenang maupun penghitungan cepat dan publikasinya pada hari H pelaksanaan pemilihan, dibolehkan.

Kalau kemudian Mahkamah konstitusi telah membolehkan hasil quick count dipublikasikan secara luas, kenapa Bolmong harus bergolak pasca publikasi hasil penghitungan cepat ala LSI untuk Pilkada Gubernur – Wakil Gubernur Sulut, yang menurut lembaganya dimenangkan pasangan SHS – DK dalam satu putaran. Saya cukup paham, cukup mafhum bahwa setiap perhelatan memiliki panggung tersendiri untuk yang namanya eksistensi plus pertaruhan sebuah harga diri. Dalam perhelatan Pilkada Gubernur – Wakil Gubernur kali ini, saya rasa rakyat Bolmong Bersatu telah menunjukkan eksistensi dan harga diri lewat kemenangan pasangan SVR-MMS dengan presentase di atas 50%. Tapi menunjukkan itu secara berlebihan bukankah sedang menertawai kebodohan sendiri, sambil pura-pura lupa ingat bahwa bumi yang kita pijak ini adalah Indonesia; Negara Demokrasi, yang masih menjunjung tinggi perbedaan sebagai sebuah anugerah. Menyalahkan hasil quick count yang dipublikasikan LSI pada hari H pemilihan tidak ada bedanya dengan membungkam demokrasi yang sedang bersemi sambil secara sadar menenggelamkan nilai-nilai perbedaan dan kemajemukan yang sudah terpatri sedemikian kuatnya dalam peradaban negeri ini. Atau bisa saja, rakyat Bolmong untuk saat ini masih terkungkung dalam fase sebagaimana yang disebutkan Sartre sebagai sebuah “keyakinan buruk”. Di satu sisi, demokrasi harus dijunjung, perbedaan mesti dihargai, hak politik wajib dihormati, siap menang kalah dalam pilkada, namun di sisi yang lainnya; persetan dengan itu semua. Tahapan pilkada belum juga selesai, penghitungan suara masih sedang berlangsung, dan KPUD Sulut belum menggelar pleno untuk menentukan siapa pemenang Pilkada, maka untuk itu semua tak perlu risau dengan LSI, tak harus gundah gulana dengan hasil quick count. Toh keputusan resmi sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, tetap milik KPUD. Kalau kemudian ada kecurangan yang ditemui selama proses pencoblosan maupun penghitungan, kenapa kita tidak dengan kesantunan dan kesadaran tinggi menyerahlan itu ke ranah hukum, sambil menghormati proses yang sedang berlangsung sambil tak lupa awas mata telinga untuk mengawal dan mengawasi itu. Kalau hanya permasalahan opini publik yang terlanjur terbentuk sehingga mendatangkan keresahan di tengah masyarakat, jawabannya singkat dan jelas; kalau tak mau resah, jangan mau terpengaruh.

Belajar dari yang “Kalah”

Konsekuensi sebuah pertarungan adalah menang dan kalah. Saya teringat Ketua Dewan Pembina Korps Alumni Makassar Indonesia Bolmong, Djelantik Mokodompit, yang juga Walikota Kotamobagu. Dalam sebuah kesempatan ketika belum dilantik sebagai Walikota Kota Kotamobagu, dihadapan saya dan beberapa teman wartawan beliau mengatakan terjun ke dunia politik mengandung konsekuensi menang atau kalah; menang bukan segala-galanya dan kalah pun bukan akhir dari segalanya. Ketika kalah dalam Pilkada Bupati – Wakil Bupati Bolmong 2001, ia berucap “ ini bukan rejeki saya”. Begitu 2006 mengalami hal yang sama “Allah SWT belum mengijinkan”. Untuk kedua kekalahan tersebut beliau menambahkan “saya pasrah sambil berserah diri kepada Allah SWT”. Saat memenangi pertarungan Walikota Kotamobagu 2008 “Allah SWT telah mengijinkan, karena rejeki tidak akan lari kemana-mana”. Secara singkat beliau hakul yakin bahwa jalan hidupnya telah diatur dan ditentukan Allah SWT sebagai penentu kehendak.

Seandainya nanti dalam pleno penentuan pemenang Pilkada oleh KPUD Sulut, pasangan SVR – MMS dinyatakan kalah, maka itu adalah bagian kecil dari konsekuensi politik seorang politisi. Bukankah dalam debat kandidat Pikada Sulut beberapa waktu lalu yang ditayangkan salah satu TV nasional, dengan santunnya Bunda Marlina Moha Siahaan menyatakan Pilkada bukan segala-galanya, akan tetapi persatuan dan kesatuan di atas segalanya. Dan bagi saya pernyataan itu adalah konsekuensi dan bentuk komitmen seorang Bunda Pembaharu Totabuan untuk siap menang maupun kalah dalam pertarungan. Kekalahan bukan akhir dari segalanya, bisa jadi ia adalah kesuksesan yang masih tertunda. Jadikanlah itu pembelajaran yang amat berharga untuk menjadi motivasi seluruh masyarakat untuk memberikan yang terbaik bagi daerah ini. Kekhawatiran bahwa kekalahan SVR – MMS dalam pilkada, seperti menggantung mimpi Provinsi Totabuan di puncak ketidakpastian, bagi saya bukan alasan yang tepat, karena demokrasi dalam bentuk idealnya menempatkan kehendak rakyat di atas segalanya. Artinya ketika rakyat berkehendak, tidak ada satu pun yang bisa membungkam keinginan itu. Dengan ukuran kemenangan di wilayah Bolmong Bersatu yang cukup telak saat ini, ditambah fanatisme pendukung yang sangat solid, bagi saya sebuah keniscayaan bagi Bunda Marlina Moha Siahaan untuk menjadi Gubernur pertama pilihan rakyat Provinsi Bolmong Raya nanti, dan mungkin saat itu “Allah SWT telah mengijinkan, karena rejeki tak kan lari kemana-mana”.

Mungkin sudah saatnya kita semua untuk selalu menoleh kebelakang, bukan hanya melambaikan tangan kepada mereka-mereka yang pernah merasakan kekalahan, tapi datang menghampiri untuk menyapa, sambil belajar bagaimana pahit manisnya berpolitik dengan segala konsekuensinya . Tak perlu jauh-jauh mencari tempat bertanya, karena Djelantik Mokodompit, Hamdi Paputungan, Syahrial Damopolii, dan masih banyak lainnya, ada di sekitar kita semua. Mereka dengan penuh kesadaran sudah menunjukkan kesantunan dalam berdemokrasi, kedewasaan dalam berpolitik. Bagi saya, mereka tergolong orang-orang berjiwa besar, dan yang saya tahu Bunda Pembaharu Totabuan kita ini juga adalah golongan orang seperti itu.#