Dipublikasikan Harian Radar Totabuan, Senin, 09 Agustus
2010, untuk menanggapi polemik yang terjadi di wilayah Bolaang Mongondow
Bersatu pasca Pemilukada Gubernur dan Wakil Gubernur Sulawesi Utara periode
2010 – 2015.
Seorang tokoh agama Bolaang Mongondow bersatu, lebih spesifiknya
salah satu ulama Kota Kotamobagu sebagaimana aktivitasnya yang diketahui
masyarakat luas. Entah sadar atau tidak, marah, jengkel, gemas atau apapun itu,
menumpahkan kekesalannya atas hasil quick
count (hitung cepat) Pilkada Gubernur dan Wakil Gubernur Sulut Periode
2010-2015 dalam akun jejaring sosialnya dengan mengakronimkan LSI sebagai
“Lingkar Setan Indonesia”. Sedikit menyinggung tentang “kebenaran yang akan terungkap”.
Dan tidak lupa melaknat orang-orang yang memanfaatkan kecanggihan ilmu dan
teknologi untuk kepentingan sesat. Saya jelas kaget campur heran oleh perkara
seperti ini. Kaget karena jarang-jarang ada orang yang menyandang status sosial
sebagai seorang “ulama” bisa senekat itu. Heran sebab, bukankah yang namanya
“ulama” selalu hadir untuk untuk memberikan “pencerahan” di atas langit mendung
anarkisme masyarakat luas yang sedang meninggi. Menurut saya, ada beberapa
kemungkinan yang bisa saja mengiringi “status” sang ulama tersebut. Pertama;
luapan emosi yang tak terbendung atas klaim kemenangan pasangan kandidat lain,
sehingga lupa campur tak sadar dengan status sosial yang disandang. Kedua; bisa
jadi sang ulama sedang mengalami yang namanya keseleo jari tangan ketika
mengetikkan status tersebut. Kalau tidak untuk kedua-duanya, maka kemungkinan
ketiga; bisa dipastikan sang ulama sedang berkutat dengan lamunan yang bagi
saya, cukup keterlaluan. Sebagai orang yang cukup mengenal beliau, saya
berharap yang disebutkan pertama menjadi kemungkinan terbesar yang mengiringi
“status” yang di-update. Sebab bagaimanapun, ulama juga tak bisa menghindari
kodratnya sebagai “manusia”, yang penuh khilaf maupun salah.
Salahkah Quick Count?
Sesuatu
yang tak bisa dimungkiri, dalam perkembangannya demokrasi terkadang menuntut
idealismenya. Tak peduli itu dibelahan dunia pertama maupun kedua, karena jauh
sebelumnya George Sorensen telah meramalkan bahwa dunia ketiga termasuk
Indonesia kita tercinta ini akan mengalami yang namanya “musim semi demokrasi”.
Penerapan hitung cepat dalam pelaksanaan pesta demokrasi, baik itu pemilu
legislatif, pilpres, pemilihan kepala daerah, mungkin juga adalah bagian dari
musim semi dimaksud, dengan sejumlah dampak atau pun ekses bawaan yang selalu
saja hadir mengiringi itu. Kalau mau ditilik kebelakang, sejak diujicobakan
olah Forum Rektor dan LP3ES bekerjasama dengan National Democratic Institute
for International Affairs (NDI) pada pemilu 1999, dan selanjutnya diterapkan
lima tahun kemudian oleh LP3ES dengan mempublikasikan hasil pemilu 2004 dalam
kurun waktu kurang dari 24 jam setelah pemungutan suara ditutup, sepak terjang
quick count sering melahirkan pro dan kontra berbagai kelangan, tentu saja
dengan beragam argumentasi. Yang pro beralasan bahwa selain dapat dijadikan
data pembanding, hasil quick count juga bisa mengantisipasi maupun mengeleminir
berbagai kecurangan yang mungkin bisa saja ada. Sedangkan mereka yang kontra
ngotot bahwa selain telah mendahului kewenangan penyelenggara resmi pemilu,
dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk mengumumkan hasil perolehan
suara lewat mekanisme pleno sebagaimana diatur undang-undang pemilu, juga
karena pubilkasi hasil quick count beberapa saat setelah pemungutan suara
ditutup, dapat membentuk opini publik terhadap hasil pemilu, dan tentu saja
menimbulkan keresahan ditengah masyaralat luas. Perdebatan mencapai klimaksnya
awal 2009, dengan keluarnya keputusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan
permohonan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang
Pemilhan Umum Anggota DPR, DPD, DPRD yang diajukan Lingkar Survei Indonesia
(LSI) dan Lembaga Survei Nasional (LSN), yang memutuskan Pasal 245 ayat (2),
Pasal 245 ayat (3), Pasal 282 dan Pasal 307 Undang-undang tersebut bertentangan
dengan konstitusi, tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sehingga dengan
sendirinya pelaksanaan survei pada masa tenang maupun penghitungan cepat dan
publikasinya pada hari H pelaksanaan pemilihan, dibolehkan.
Kalau
kemudian Mahkamah konstitusi telah membolehkan hasil quick count dipublikasikan
secara luas, kenapa Bolmong harus bergolak pasca publikasi hasil penghitungan
cepat ala LSI untuk Pilkada Gubernur – Wakil Gubernur Sulut, yang menurut
lembaganya dimenangkan pasangan SHS – DK dalam satu putaran. Saya cukup paham,
cukup mafhum bahwa setiap perhelatan memiliki panggung tersendiri untuk yang
namanya eksistensi plus pertaruhan sebuah harga diri. Dalam perhelatan Pilkada
Gubernur – Wakil Gubernur kali ini, saya rasa rakyat Bolmong Bersatu telah
menunjukkan eksistensi dan harga diri lewat kemenangan pasangan SVR-MMS dengan
presentase di atas 50%. Tapi menunjukkan itu secara berlebihan bukankah sedang
menertawai kebodohan sendiri, sambil pura-pura lupa ingat bahwa bumi yang kita
pijak ini adalah Indonesia; Negara Demokrasi, yang masih menjunjung tinggi
perbedaan sebagai sebuah anugerah. Menyalahkan hasil quick count yang dipublikasikan LSI pada hari H pemilihan tidak ada
bedanya dengan membungkam demokrasi yang sedang bersemi sambil secara sadar
menenggelamkan nilai-nilai perbedaan dan kemajemukan yang sudah terpatri
sedemikian kuatnya dalam peradaban negeri ini. Atau bisa saja, rakyat Bolmong
untuk saat ini masih terkungkung dalam fase sebagaimana yang disebutkan Sartre
sebagai sebuah “keyakinan buruk”. Di satu sisi, demokrasi harus dijunjung,
perbedaan mesti dihargai, hak politik wajib dihormati, siap menang kalah dalam
pilkada, namun di sisi yang lainnya; persetan dengan itu semua. Tahapan pilkada
belum juga selesai, penghitungan suara masih sedang berlangsung, dan KPUD Sulut
belum menggelar pleno untuk menentukan siapa pemenang Pilkada, maka untuk itu
semua tak perlu risau dengan LSI, tak harus gundah gulana dengan hasil quick count. Toh keputusan resmi
sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, tetap milik
KPUD. Kalau kemudian ada kecurangan yang ditemui selama proses pencoblosan
maupun penghitungan, kenapa kita tidak dengan kesantunan dan kesadaran tinggi
menyerahlan itu ke ranah hukum, sambil menghormati proses yang sedang berlangsung
sambil tak lupa awas mata telinga untuk mengawal dan mengawasi itu. Kalau hanya
permasalahan opini publik yang terlanjur terbentuk sehingga mendatangkan
keresahan di tengah masyarakat, jawabannya singkat dan jelas; kalau tak mau
resah, jangan mau terpengaruh.
Belajar dari yang “Kalah”
Konsekuensi
sebuah pertarungan adalah menang dan kalah. Saya teringat Ketua Dewan Pembina
Korps Alumni Makassar Indonesia Bolmong, Djelantik Mokodompit, yang juga
Walikota Kotamobagu. Dalam sebuah kesempatan ketika belum dilantik sebagai
Walikota Kota Kotamobagu, dihadapan saya dan beberapa teman wartawan beliau
mengatakan terjun ke dunia politik mengandung konsekuensi menang atau kalah;
menang bukan segala-galanya dan kalah pun bukan akhir dari segalanya. Ketika kalah
dalam Pilkada Bupati – Wakil Bupati Bolmong 2001, ia berucap “ ini bukan rejeki
saya”. Begitu 2006 mengalami hal yang sama “Allah SWT belum mengijinkan”. Untuk
kedua kekalahan tersebut beliau menambahkan “saya pasrah sambil berserah diri
kepada Allah SWT”. Saat memenangi pertarungan Walikota Kotamobagu 2008 “Allah
SWT telah mengijinkan, karena rejeki tidak akan lari kemana-mana”. Secara
singkat beliau hakul yakin bahwa jalan hidupnya telah diatur dan ditentukan
Allah SWT sebagai penentu kehendak.
Seandainya
nanti dalam pleno penentuan pemenang Pilkada oleh KPUD Sulut, pasangan SVR –
MMS dinyatakan kalah, maka itu adalah bagian kecil dari konsekuensi politik
seorang politisi. Bukankah dalam debat kandidat Pikada Sulut beberapa waktu
lalu yang ditayangkan salah satu TV nasional, dengan santunnya Bunda Marlina
Moha Siahaan menyatakan Pilkada bukan segala-galanya, akan tetapi persatuan dan
kesatuan di atas segalanya. Dan bagi saya pernyataan itu adalah konsekuensi dan
bentuk komitmen seorang Bunda Pembaharu Totabuan untuk siap menang maupun kalah
dalam pertarungan. Kekalahan bukan akhir dari segalanya, bisa jadi ia adalah
kesuksesan yang masih tertunda. Jadikanlah itu pembelajaran yang amat berharga
untuk menjadi motivasi seluruh masyarakat untuk memberikan yang terbaik bagi
daerah ini. Kekhawatiran bahwa kekalahan SVR – MMS dalam pilkada, seperti
menggantung mimpi Provinsi Totabuan di puncak ketidakpastian, bagi saya bukan
alasan yang tepat, karena demokrasi dalam bentuk idealnya menempatkan kehendak
rakyat di atas segalanya. Artinya ketika rakyat berkehendak, tidak ada satu pun
yang bisa membungkam keinginan itu. Dengan ukuran kemenangan di wilayah Bolmong
Bersatu yang cukup telak saat ini, ditambah fanatisme pendukung yang sangat
solid, bagi saya sebuah keniscayaan bagi Bunda Marlina Moha Siahaan untuk
menjadi Gubernur pertama pilihan rakyat Provinsi Bolmong Raya nanti, dan
mungkin saat itu “Allah SWT telah mengijinkan, karena rejeki tak kan lari
kemana-mana”.
Mungkin
sudah saatnya kita semua untuk selalu menoleh kebelakang, bukan hanya
melambaikan tangan kepada mereka-mereka yang pernah merasakan kekalahan, tapi
datang menghampiri untuk menyapa, sambil belajar bagaimana pahit manisnya
berpolitik dengan segala konsekuensinya . Tak perlu jauh-jauh mencari tempat bertanya,
karena Djelantik Mokodompit, Hamdi Paputungan, Syahrial Damopolii, dan masih
banyak lainnya, ada di sekitar kita semua. Mereka dengan penuh kesadaran sudah
menunjukkan kesantunan dalam berdemokrasi, kedewasaan dalam berpolitik. Bagi
saya, mereka tergolong orang-orang berjiwa besar, dan yang saya tahu Bunda
Pembaharu Totabuan kita ini juga adalah golongan orang seperti itu.#
Tidak ada komentar:
Posting Komentar