Kamis, 16 Juni 2011

"M" Untuk Bupati Lapadengan

(dipublikasikan Harian Radar Totabuan, Kamis, 16 Juni 2011)
Hari masih terlalu pagi. Nun jauh di ufuk timur, mentari masih enggan keluar dari peraduan untuk sekadar menyunggingkan senyum kecil. Waktu belum menunjukkan jam 06.30 pagi, dan hawa dingin masih membalut sebagian besar wilayah Kotamobagu. Di satu rumah yang terletak di salah satu sudut Taman Kota, dua orang berkendara bergegas turun menderapkan langkah melewati selasar, merangsek hingga kedepan pintu masuk, mengetok pintu rumah yang masih tertutup rapat. Di pagi se-buta itu. Di jam se-dingin itu, tak perlu kesal mencari musabab! Sang empunya rumah tentu masih terbuai oleh mimpi indah, terkulai oleh lelah yang menyengat. Seorang perempuan usia 30-an keluar menyapa tamu yang datang, sembari menghaturkan tanya “ada apa?”. “Pak Kabag ada?”, ketus salah seorang berperawakan kecil. “Ada! mar masih tidor!”, jawab perempuan itu. Seorang lagi berperawakan agak kekar, dengan setelan t-shirt salah satu SKPD Bolmong─belakangan diketahui sebagai salah satu petugas Satpol PP─langsung menyergah, “se bangon akang! Bilang pak bupati ada suruh pangge! Skarang!”. Perempuan yang ditanya─lebih tepat diperintah,­ bergegas masuk ke dalam rumah untuk memastikan kembali keberadaan tuannya. Tak lama berselang, seorang perempuan paru baya keluar dari arah belakang sambil menyapa tamu yang datang. “Pak Kabag masih tidor noh! Tako kita kase bangon!” jawabnya. Petugas Pol PP tak mau kalah. “sini dulu dang ngana supaya kita mo kase mangarti!”─masih dengan nada perintah. “Pi kase bangon pa pak kabag, bilang pak bupati ada pangge skarang! kalo ngoni tahu torang pe bupati itu sedang orang nda ada salah dia boleh se isi penjara!”, ucapnya dengan congkak. Tak terpengaruh sedikit pun, perempuan paru baya itu balas berujar, “adoh! Tako kita noh, soalnya kita nda pernah kase bangon pa pak kabag kalo dia masih tidor!”. Merasa gayung tak bersambut, sang petugas Satpol PP bergegas ke depan pintu kamar Pak Kabag, menggedor pintu sambil memanggil-manggil sang tuan rumah. Kejadian berikutnya tak perlu diceritakan lagi. Bagi yang pernah merasakan pengalaman serupa tentu tahu seperti apa “chapter” berikutnya.
Perspektif Sumir
Yang paling saya khawatirkan setiap kali menuliskan kolom adalah tarian kolot subjektivitas yang mengangkangi batok kepala saya dengan jebakan surealisme yang menggoda, menelanjangi realitas, serta kecenderungan untuk menarik perspektif yang tergolong sumir. Dan itu yang saya rasakan tak kala membaca dua buah tulisan Abang saya, Katamsi Ginano yang di upload ke dalam blognya (http://kronikmongondow.blogspot.com), masing-masing; “Pada Satu Santap Siang dengan Bupati Gun Lapadengan”, dan terakhir “Terapi Kejut Penjabat Bupati Bolmong”. Bagi pembaca yang belum terlalu mengenal sosok Gun Lapadengan, tulisan itu implisit menggambarkan sosok “mahluk ideal”, figur “birokrat profesional” yang seakan belum terjamah oleh noda dan dosa. Akan tetapi untuk mereka yang tahu betul siapa Gun Lapadengan, bisa dipastikan yang akan dilakukan tentu sebatas menggelengkan kepala.
Mungkin untuk itu pula, saya yang cukup mengenal sosok Bupati Gun Lapadengan, agak terkejut dengan tulisan itu. Bahwa Gun Lapadengan adalah sosok “mahluk ideal” menurut saya ya!. Bahwa Penjabat Bupati Bolmong ini adalah figur “birokrat profesional”, cukup masuk di akal. Akan tetapi, pantaskah ini kemudian dijadikan pijakan untuk menggambarkan Bupati Lapadengan hampir sedemikian utuhnya, lewat cerita “terobosan” maupun “shock terapy” yang ia lakukan.
Dalam kacamata apapun, saya tahu betul Katamsi Ginano tentu tidak sedang menjulurkan lidah untuk mulai “menjilat” ketika menuliskan itu. Karena Katamsi tergolong orang yang tak pintar, tak berbakat untuk membiarkan lidahnya mulai bercabang, menjalar dan mengeluarkan suara “mendesis” di kuping para penguasa. Sama halnya ketika ia tak ingin “terjebak memuji Penjabat Bupati Gun Lapadengan yang masa kerjanya terlampau pendek untuk mengukur kinerja utuhnya”. Namun, tetap saja “puja-puji” telah terlanjur digulirkan dan opini orang banyak tentu tak bisa dibendung.
Yang justru menjadi kekhawatiran saya bahwa lakon “heroik”─meski dalam konteks seadanya─yang ia paparkan dalam tulisan tersebut bisa berbalik arah dan menghantam frasa yang ia tuliskan sendiri; “don’t judge a book by the cover”. Artinya, membaca kedua tulisan tersebut, bukankah pembaca sedang digiring masuk “perangkap” untuk men-judge seorang Gun Lapadengan hanya dari kulit luarnya saja. Bukankah kita sedang dibuat terbuai oleh salah satu tag iklan yang cukup menggiurkan; “kesan pertama begitu menggoda”.
Saya membayangkan suasana makan siang bersama Bupati Gun Lapadengan itu. Seandainya yang bersua bukanlah seorang Katamsi Ginano─orang paling “killer” dalam kata-kata di jagat Bolmong Raya─tentu kondisinya bisa jauh berbeda. Bagaimana jika yang makan bersama adalah rakyat kelas “teri” laiknya saya. Apa yang akan terjadi kemudian? Tak usah dipikir panjang sebab paradigma berpikir sebagian birokrat Bolmong masih terkungkung oleh “klan” orde baru, yang menempatkan rakyat banyak laksana hamba dan wajib hukumnya untuk “melayani”.
Kamuflase sangat mungkin terjadi dan orang-orang tak akan pernah malu untuk jadi “bunglon”. Raut wajah bisa dipermak, cara duduk gampang diatur, cara makan pun bukan sesuatu yang sulit untuk diakali. Di sini, saya tidak sedang dalam kapasitas untuk meragukan “keluguan” seorang Gun Lapadengan. Tapi “pameo” umum sudah terlanjur membumikan kemafhuman bahwasanya segala sesuatu sangat-sangat bisa di-setting, terutama ketika yang bicara adalah “kepentingan”. Terlebih untuk pengkritik brutal sekaliber Katamsi dengan sisi intelektualitasnya yang bagi saya begitu mengesankan. Orang besar saja risih berhadapan langsung, apalagi “orang kecil”. Di depan Katamsi, tak perlu sungkan “bermanis-manis” sambil memaparkan konsep pembenahan dan penyiapan yang amat sangat brilian, kalau boleh yang paling “wah!”. Dan satu yang perlu dikutipkan kembali sekadar mengingatkan sebagaimana yang dituliskan Katamsi “Dalam melaksanakan pembenahan dan penyiapan itu, tegas Bupati, dia sama sekali tak berniat meminggirkan –terlebih menyingkirkan—seorang birokrat pun. Kalau akhirnya ada yang memilih meminggirkan diri, dia tidak akan menolak. ‘’Bukankah Pak Gubernur juga menegaskan agar tidak melakukan perubahan, kecuali atas permintaan birokrat yang bersangkutan,’’ katanya sambil tertawa”.
“M” yang Mana?
Akan halnya “Terapi Kejut Penjabat Bupati Bolmong”. Dari aspek substansi, pembaca yang budiman tentu bisa dengan mudah membandingkan kedua tulisan tersebut. Bukan dari sisi penulisnya, tapi dari “subjek” yang digambarkan. Yang bisa didapati bahwa secara langsung, sang Penjabat Bupati Bolmong sedang berusaha menampar wajah sendiri dengan sangat sadarnya dan tanpa malu-malu. Di titik ini pun, saya cukup tahu diri untuk tak masuk wilayah itu, selain lubang subjektifitas yang mengangga begitu lebar bagi saya pribadi, juga karena langit runtuh sekalian pun itu hak beliau sebagai Penjabat Bupati─apalagi seandainya undang-undang maupun ketentuan peraturan memungkinkan itu. Akan tetapi jika yang menjadi sebab musabab hanya karena “cerita dongeng” orang suruhan, “ancaman bui” yang tak berbalas dan ego birokrat sang Penjabat, tentu ini tamparan keras kesekian kali yang seakan tak pernah habis untuk iklim birokrasi di Bolmong. Saya cukup sadar, sebagaimana yang diuraikan Katamsi, bahwa apa yang dirasakan saat ini oleh para birokrat yang “dipinggirkan”, belum sebanding dengan apa yang dirasakan oleh mereka-mereka yang dahulu jauh dari “kekuasaan”, yang kebanyakan hanya bisa pasrah sambil “mengurut dada” menyaksikan ketimpangan maupun ketidakadilan yang dipertontonkan para penguasa. Tapi Ini bukan “roman” tentang itu. ini lebih pada pertanggungjawaban terhadap kebijakan yang ditempuh, dengan mengedepankan landasan argumentasi yang memadai, jauh dari segala macam “bau amis” tendensi. Untuk ukuran masa jabatan yang hanya “sepelemparan batu” ini, saya rasa Penjabat Bupati Gun Lapadengan tentu menginginkan tata kelola pemerintahan akan berjalan sesuai yang diharapkan, meminimalisir segala kemungkinan resistensi yang bakal muncul ke permukaan, serta membutuhkan dukungan penuh seluruh aparatur pemerintahan yang ada dibawah kendalinya untuk melaksanakan tugas-tugas yang diemban sebagai Penjabat Bupati. Tentu agar berhasil dan bisa dikenang sebagai pembawa “simpati” dan bukan “antipati”.
Sesuatu yang salah perlu dibetulkan, khilaf patut ditegur, yang “bengkok” semestinya diluruskan. Besar harapan kiranya iklim birokrasi Bolmong bisa ditempatkan kembali se-profesional mungkin, bebas dari intrik politik, maupun “balas dendam”. saya rasa, Bupati Lapadengan juga menginginkan itu, agar orang banyak bisa berseru “Muantap”, “Makyus” dan bukan “Makang Puji!”.*

Rabu, 11 Mei 2011

Bahoba di Kronik! (pertaruhan eksistensi seorang Katamsi Ginano)

Bahoba! di Kronik!
(Ketika Eksistensi Sedang Dipertaruhkan)


Oleh : M. Fahri Damopolii


Setiap kali menerima pesan pendek untuk sekadar mengunjungi situs http://kronikmongondow.blogspot.com, tanpa dipaksa pun, mau tak mau saya harus selalu ikhlas menahan senyum campur geli. Kenapa harus senyum; karena tiap-tiap pesan pendek yang dikirimkan langsung sang “empunya” blog ke telepon genggam saya, membawa petanda langit cakrawala berfikir penulisnya sedang menohok, mencengkeram, menabrak dinding pemahaman yang karatan, kumal , kotor, jauh patut untuk disebut “kinclong”, tak lupa gaisan kuas yang “bengkok” masih perlu diluruskan. Mungkin untuk itulah senyum pun harus diumbar kemana-mana. Apa urusannya dengan geli! Sebab; tiap-tiap kata yang diuntai―di luar percakapan lewat sms yang diunggah ke dalam blog― dijejalkan penuh perhitungan untuk tak menafikan berbagai “fakta “, disajikan dengan “reportase bertutur” yang khas, berirama satu dengan lainnya membentuk senandung; kesedihan, kejengkelan, kekecewaan, ke-tidaksetuju-an, senang, girang maupun gembira. Dan senandung dengan segala “rasa” ini yang mendorong kerelaan saya untuk menahan geli! Tak peduli yang lainnya gerah, marah, dengki, tensi darahnya naik, kebakaran jenggot, meliuk-liuk bak cacing kepanasan.

Katamsi Ginano, terserah dia mewujudkan bentuk dalam rupa apapun, adalah senior, teman, sahabat, abang bagi saya secara pribadi. Satu dekade lebih mengenal orang ini, membentangkan cakupan spektrum hidup penuh warna yang tak pernah aus dimakan waktu, keropos termakan usia. Tanpa perlu malu, terkadang saya takjub sembari berdecak kagum oleh luasnya spektrum yang ia bentangkan, dan tanpa sadar pun, itu secara tidak langsung merasuki hampir segenap pemikiran, pandangan, perspektif dengan aroma kritisnya tentang Bolaang Mongondow Raya, lengkap dengan segala aspek kehidupannya. Sebagai seseorang yang membuncah tak kala memamerkan “kemongondowannya”―dan itu yang paling getol ia pertahankan dalam setiap helaan nafas, detak jantungnya―jempol jari saya seperti enggan turun ketika dengan lugasnya ia berbicara tentang Bolmong dulu dengan segenap kenangannya, saat ini dengan segala dinamikanya, dan progress Bolmong kedepan tentu saja dengan harapan yang digantung setinggi langit peradaban yang menghentak, kadang membisu. Dan kebuncahan yang “disombongkan” ini merangkum segenap kata yang patut diuntai; konsistensi serta komitmen yang tak (belum) hadir untuk lekang.


Ruang Kosong “Keberpihakan”


Sejak kali pertama menerima telepon¬―tentu saja dari pemiliknya¬―pemberitahuan tentang “kronik mongondow” yang terlintas dalam benak adalah sekelumit “dugaan” dan “asumsi”. Untuk yang satu ini, karena bersingunggan dengan ranah privat, tidak ada seorang pun yang boleh melarang atau memaki saya untuk “menduga” dan “berasumsi”―tentu tak terkecuali Katamsi Ginano. Apalagi untuk seorang pengkritik “brutal” sekaliber ini, “dugaan” adalah keharusan, dan “asumsi” adalah kepatutan yang terkontekstualisasi oleh senandung yang ia lantunkan. Dan benar! Desas-desus yang selama ini mampir di telinga saya menuai titik terang bahwa; ada keberpihakan yang dipertontonkan dengan terang benderangnya, vulgar, melumat ranah “konsistensi” dan “komitmen” yang selama ini dijunjung setinggi langit. Dimana-mana kelaziman hadir untuk tak diperdebatkan ketika sesuatu yang “biasa” dapat diterima dalam “ranah publik”. Akan tetapi etika “pengkritik” tentu mengeneralisasi keberpihakan yang diperuntukkan. Untuk siapa keberpihakan itu? Untuk apa? Rakyat Bolmong lagi dimana? Dan untuk seorang Katamsi Ginano, tak perlu melumerkan air liur kemana-mana menghabiskan tenaga berdebat, abang saya ini tentu tahu “keberpihakan” harus ditempatkan di ruang seperti apa. Dalam konteks ini, otak kumal saya selalu berpaling ke pemahaman yang digambarkan Mohamad Sobary tentang konsep “menara gading-nya” bahwa; dengan berada di menara yang tinggi, bebas polusi kekuasaan dan materi, kreatifitas dan produktifitas kita dalam memberikan segenap pencerahan lebih bisa dipertanggungjawabkan.

Eksistensi yang Terpinggirkan


Ketika “keberpihakan” dipamerkan, dipertontonkan, ditunjukkan se-vulgar mungkin di siang hari bolong, di tengah teriknya matahari yang menyengat, tentu konsekuensi sedang antri menunggu giliran. Pertama; secara tidak langsung konsistensi seorang Katamsi Ginano yang ia gambarkan penuh warna dalam spektrum perjalanan hidupnya akan sedikit tercoreng. Artinya, warna “putih” yang ia torehkan, terutama ketika memposisikan kewajibannya sebagai intau mongondow yang merasa terusik oleh berbagai kebijakan “salah kaprah” maupun perilaku menyimpang yang dipertontonkan elit daerah, baik itu jajaran pemimpin maupun para politisinya, akan menggiring persepsi masyarakat luas bahwa Katamsi Ginano yang selama ini identik dengan ke-brutalannya mengkritik, buas ketika kepentingan “orang banyak” ditelikung segelintir elit, mencaci maki ketika rakyat Bolmong sedang dibodohi, memijakkan kedua kakinya di tengah masyarakat Bolmong untuk memperjuangkan sebuah “harga diri”, ternyata urung berubah wujud. Katamsi yang terlanjur ditahbiskan sebagai milik “rakyat Bolmong”, juga bisa menunjukkan keberpihakannya pada se-kelompok elit. Dan pada akhirnya “putih” itu mungkin tak putih lagi.

Kedua; dengan pijakan yang secara gamblang ia tegaskan, ranah persepi orang banyak yang tentu saja masih berhak menjustifikasi lewat “dugaan” atau “asumsi” akan lebih tertarik kearah subjektifitas yang membabi-buta; bahwasanya keberpihakan itu pasti mengandung “pamrih”. Bahwasanya; Katamsi bisa “dibeli” boleh “dibayar”, layak “digadai” demi suatu maksud. Untuk yang ini, dalam beberapa kesempatan Katamsi telah mengklarifikasi langsung, termasuk terhadap saya pribadi. Namun, persepsi orang banyak tentu tak bisa ditebas. Apalagi ketika orang banyak itu adalah “rakyat Bolmong Raya” lengkap dengan segala dinamikanya.

Lepas dari segala konsekuensi yang ada¬―dan setahu saya, ia tentu tak akan pernah peduli dengan itu―Katamsi Ginano adalah warna tersendiri dalam jagad perpolitikan Bolmong Raya. Kalau boleh memimjan ungkapan William Liddle dalam buku “Islam Politik dan Modernisasi; Jakarta, Pustaka Sinar Harapan;1997”, terutama ketika ia harus menggambarkan sosok penyair besar sekaliber Goenawan Mohamad. Menurut saya pribadi, Katamsi Ginano adalah satu dari sekian “burung langkah dalam sangkar intelektual Bolaang Mongondow Raya khususnya, Sulut pada umumnya”. Sepuluh Katamsi sungguh tak cukup, seratus Katamsi masih kurang, dan seribu Katamsi belum memadai sebagaimana pernah diungkapkan Suhendro Boroma―Direktur Utama Manado Post. Tapi dilubuk hati yang paling dalam; saya masih merindukan satu orang Katamsi. Satu saja! Bukan dalam sosok “milik privat” tapi mewujud sebagai “milik publik”. Dan orang itu adalah Katamsi Ginano; senior, teman, sahabat, abang saya secara pribadi.#