Rabu, 30 Mei 2012

Kambing Terbang, Alamat Palsu dan Sakit Jiwa (2)


(Tanggapan untuk Katamsi Ginano)

Dalam “Sarkasme ‘Kasian Deh, Lu….’ (RT, 30/5)” Membaca itu jelas saya tertawa terbahak. Bahkan hingga terguling-guling. Tulisan itu semakin memperjelas posisi Katamsi. Yang paling membosankan dari si jelek ini; kecenderungannya untuk tak tahu diri dan tak tahu malu. Tak sadar diri bahwa orang-orang disekitar mulai jijik dan muak dengan segala omongannya. 

Apa substansi dari artikel itu? Masih sama. Caci maki dan congkak luar biasa hebat. Yang membaca itu, dipastikan mules dan muntah. Sementara Katamsi jelas tak tersadar dengan itu. Kenapa ada mahluk jelek se sombong ini? Saya tak pernah melarang Katamsi untuk congkak. Apalagi itu memang sifat lahiriahnya dia. Tapi sadarkah Katamsi, apa yang dia omongkan hanya menjadi bahan tertawaan dan ejekan orang banyak.

Pertama, mengenai tulisan “Terantuk Bongkahan Congkak (RT, 28/5)” adalah suatu kelucuan jika pening dengan tulisan sendiri. Saya tak se idiot Katamsi. Orang-orang tentu membaca sambil menafsir dan nilai. Di situ pun sudah saya tuliskan, yang mengancam pidana dan perdata hanya “banci pengecut.” Saya ingin melihat siapa “banci pengecut” itu? Saya atau Katamsi? Untuk memeriksakan kewarasan dan jenis kelamin ke dokter. Tanyakan saja ke seluruh rakyat Bolmong Raya. Kita voting saja. Siapa yang lebih pantas. Saya malah mulai yakin. Anda tak hanya idiot. Tapi sakit jiwa dan pemilik kelamin ganda.

Kedua, untuk akun email saya. Saya sudah menjawab itu. Kecanggihan teknologi bisa menunjuk muka orang. Tapi sebenar-benarnya konseptor bisa beda. Karena saya debat dengan bebal begundal yang teramat idiot. Dimaklumi saja. Stilistika tak selamanya menjamin identiknya sebuah tulisan. Atau anda memang hanya sekelas Kogoro Mouri—Richard Moore versi inggrisnyadalam serial Komik Detektif Conan, ciptaan Gosho Aoyama. 

Sebenar-benarnya yang telah sobek entry “malu” dan “beradab” dalam kamus hidup. Kenapa tak anda tanyakan ke seluruh orang, sambil berkaca di cermin dunia. Bukankah yang tak punya malu itu anda. Menista orang se akan kesempurnaan adalah hak anda. Pun tak beradab, jelas menunjuk hidung anda. Yang suka mencaci orang siapa? “ba kaca bae-bae kwa ehhh!

Ketiga, poin yang ingin saya sampaiakan. Di “Terantuk Bongkahan Congkak” sudah saya tulis. Tapi karena anda idiot bebal tak tahu diri. Saya masih maklumi. Adakah ide-ide yang anda tuliskan dalam cacian panjang itu? Yang mana? Buat apa iri hati dan dengki pada orang yang jelas-jelas “sakit jiwa!”
Saya sudah menuliskan se jelas-jelasnya. Bahwa saya bukan siapa-siapa dan tak ingin menjadi siapa-siapa. Hidup sederhana saja sudah syukur.

Sisa lanjutanya teramat jelas. Masyarakat Bolmong Raya semakin tahu roman kesembongan yang luar biasa hebat. Orang banyak akan mengumpat "seseek ahhh! Makang puji." Tapi orang sakit jiwa kan tak peduli. Kalau anda se benar-benarnya memposisikan diri sebagai “abo.” Dan anda berdiri tepat di depan saya. Dipastikan, saya akan memuntahi wajah jelek anda. Sebab yang ada di batok kepala anda hanya caci maki,  gabungan dari sampah, cacing pita, mentalitas teramat busuk dan rusak parah.#     

Kambing Terbang, Alamat Palsu dan Sakit Jiwa (1)



(Tanggapan untuk Katamsi Ginano)

Alkisah, di tengah padang rumput luas. Dua orang musafir berdebat tentang sebuah titik hitam yang tampak di kejauhan. Orang pertama menyatakan titik hitam itu seekor kambing. Orang kedua, yakin itu seekor burung. Perdebatan terjadi. Tak jua titik temu didapat, keduanya mufakat mendekati titik hitam itu.

Sambil menyusuri jalan, tak henti keduanya berdebat. Argumentasi, referensi, pengalaman dan acuan disandingkan. Sebelum tiba lebih dekat. Tiba-tiba titik hitam itu terbang melesat dari tempatnya, melayang ke angkasa. Keduanya berlari mengejar. Namun titik hitam itu melesat lebih jauh lagi.
"Apa saya bilang, burung kan!” kata orang kedua. “Burung  gimana? Itu pasti kambing!” orang pertama tak mau kalah. “Sudah jelas terbang. Mana ada kambing terbang?” timpal orang kedua. “Kambing!” orang pertama berkeras. “Pokoknya kambing! Meski terbang, pokoknya kambing! Sekali kambing tetap kambing!”

Kisah dunia sophis yang kemudian dituliskan Emha Ainun Nadjib dalam “Sayap-Sayap Kerbau”—kambing diganti kerbau, dalam “Kiai Bejo, Kiai Untung, Kiai Hoki” diterbitkan Kompas Media Nusantara, 2007 lalu. Memang penuh anekdot. 

sebagaimana Cak Nun, saya juga memanjatkan doa semoga difananya dunia ini, kita dijauhkan dari sang pengucap kambing. Apa sebab? Tak usah diuraikan. Teramat lucu, jika yang jelas saja sudah melesat terbang melayang ke angkasa, tapi masih dibilang kambing. Bagaimana jadinya jika yang dilihat itu seekor burung?

Doa itu memang belum sepenuhnya dikabulkan. Karena di Bolmong Raya ini, masih ada Katamsi Ginano, yang harus saya identikkan dengan si idiot pengucap kambing itu.

Pertama, masalah substansi. Dalam “Nyali Hemaprodit “Daong Lemong”—mudah-mudahan Radar Totabuan telah salah dalam editing, mungkin yang dimaksud Katamsi adalah hermaprodit. Katamsi menuliskan bahwa saya “tetap setia dengan kekacauan substansi. Sekadar mencakar-cakar ke segala arah.” Dilanjutkan “menghina-hina dan melecehkan” Katamsi—sebenar-benar pribadi. Bukankah itu se luar biasanya kebodohan? Keheranan tersendiri jika kebodohan dipertontonkan. Pun diterik hari. Siapa yang menghina habis-habisan? Siapa yang memamerkan sombong luar biasa? Ayolah Katamsi! Anda bisa menyemburkan ludah ke muka saya. Tapi rakyat banyak tak buta tuli untuk paham apa yang anda tuliskan. 

Pembaca budiman. Apa yang bisa diperoleh dari tulisan “Motif Culas dan Batas Api (1-3, RT, 22-24/5)?” Substansi apa? Nihil. Nol besar. Tak ada yang penting selain caci maki tendensius yang mengarah ke pribadi saya. Tambah diperjelas kesombongan luar biasa hebat penulisnya. Melebihi kuasa Tuhan. Sangat jelas yang dituliskan Katamsi; pukul sana, pukul sini. Tabrak sana, tubruk sini! Kalap kesasar tak tentu arah. 

Di hari pertama, setelah tulisan “Motif Culas dan Batas Api” dilansir harian ini. Lewat telepon saya bercakap dengan Katamsi. Dalam perbincangan Katamsi mengatakan bahwa dia telah mengumpulkan seluruh makian untuk saya dalam tulisan itu. Saya jawab “silahkan! Dengan catatan hanya ke saya. Tak perlu luber kemana-mana. Tak perlu libatkan orang lain.” Penuh elegan, Katamsi menjawab; “tentu, kita bukan anak kemarin yang nda tau membedakan.” 

Nyatanya! Orang-orang tentu bisa menangkap dengan jelas apa yang kemudian dituliskan Katamsi. Sekarang pembaca. Siapa substansi kacau? Siapa yang mencakar-cakar ke segala arah?

Itu pula yang saya tuliskan dalam “Terantuk Bongkahan Congkak (RT, 28/5).” Saya sekadar ikut ritmenya Katamsi. Meski dalam pembelajaran dan pemahaman bagi publik, ini jelas keliru dan diluar konteks peran media sesungguhnya.  Dalam tulisan itu, saya pikir caci maki Katamsi telah saya jawab. Sembari mempertegas hinaan yang dialamatkan. Bahwa saya bukan siapa-siapa. Anggap saja saya sekadar mengikuti Nietzsche.  Saya akan bicara pada “kesombongan” idiot ini.

Kedua, tentang penulis. Sebagaimana simpulan yang bersemayam di batok kepala Katamsi yang luber oleh congkak luar biasa. “kita bukang penulis kasianggg!” harus berapa kali saya mempertegas bahwa saya bukan penulis. Anda sendiri yang menyimpulkan saya bukan siapa-siapa. Hanya belut yang sirik pada naga. Meski untuk apa saya sirik ke anda. Bahkan 15-20 tahun kedepan tak pernah pantas disandingkan dengan anda. Dan saya memang tak ingin disandingkan dengan Katamsi. Terutama urusan caci maki. Lucu jika kemudian, anda memaksa saya untuk “membuka mulut sedikit saja dan menuliskan dua tiga patah kata di media.” Di akhir  tulisan itu pun saya telah menuliskan. Yang menanggapi saya yang bukan siapa-siapa ini—apalagi seorang penulis,  adalah idiot pandir bin congkak. Sang pemilik mutlak surga kebenaran.  Katamsi telah menyempurnakan dirinya sebagai idiot itu.

Ketiga, permasalahan CPNS, relokasi pasar dan HUT Kota Kotamobagu ke-5. Semakin jelas siapa yang mencakar-cakar tak tentu arah. Hingga membawa-bawa Djelantik Mokodompit, Tatong Bara dan Yasti Mokoagow. Sekali lagi. Ayolah Katamsi! Saya akan kembali ke simpulan anda. Bagaimana saya yang bukan siapa-siapa ini mencampuri permasalahan  itu.  Biarkan saja permasalahan CPNS dan relokasi pasar terselesaikan dalam ranah hukum, seperti yang berlangsung saat ini. Hormati saja proses itu, sebagaimana Djelantik Mokodompit, Tatong Bara dan Yasti Mokoagow menghormati anda dan keluarga. Sedang untuk HUT Kota Kotamobagu, silahkan menafsirkan dalam kaca mata anda. Itu hak anda. Tidak ada yang melarang atau membatasi. Apalagi saya!

Namun, sebelum mulut bual anda memamah kesombongan luar biasa perih yang dibanggakan. Sejenak, renungkan diri anda. Jangan buruk rupa, cermin dibelah. Saya tak minta anda seperti Narcissus dalam pengantarnya Paulo Coelho “Sang Alkemis.” Yang setiap hari duduk di tepian danau, mengagumi keindahan dirinya. Hingga tak sadar, tercebur dan mati tenggelam. Berkacalah secara utuh. Bukan terpesona mengagumi diri. Tapi mengetuk pintu hati untuk sadar diri. Pun memperdalam ilmu ”menghargai orang lain.” Karena sumpah serapah orang banyak akan mengunyah tiap lekuk tubuh. Puisi “Penerimaan” Chairil Anwar, pun menegaskan kesadaran itu.  Jangan pernah menunggu hingga “cermin pun enggan berbagi!”

Sedang penjepit rambut, tas tangan kecil dan sepatu high heels, itu lebih pantas anda kenakan. Warna merah muda akan sedikit menutupi wajah jelek anda. Setelah itu silahkan ngacir ke Taman Lawang. Di sana tempat anda yang paling amat pantas. Karena yang paling “daong lemong” itu jelas anda.
Untuk bedak dan lipstick yang cocok bagi saya. Silahkan saja kirimkan. Karena dengan senang hati, saya akan mengantarkan itu ke rumah sebelah. Masih di Jalan Amal.  Minta kejelasan ke siapa sebenarnya kiriman ini ditujukan. Amat pasti alamat saya dituju palsu! Kiriman itu lebih cocok berada di rumah itu.

Sabtu, 26 Mei 2012

Terantuk Bongkahan Congkak! (2)


(tanggapan untuk Katamsi Ginano)


Pentingkah saya? Lebih gila lagi. Tentu tidak. Penting bagi keluarga saja rasanya sudah syukur. Tak merasa penting lebih nyaman untuk saya. Orang-orang yang mengenal saya mafhum dengan itu. Yang sempat kerja bersama-sama khatam siapa saya. Seorang tak penting. Dan tak punya cerita “penting” hal luar biasa hebat. Hidup bagi saya toh bukan tentang “penting”. Apalagi “penting congkak.”  Menjadi “baik” pun punya arti tersendiri.

Signifikansi dan kontribusi untuk mongondow? Lebih parah lagi. Saya tak miliki roman tentang itu. Saya tak punya stok cerita kepahlawanan tentang kontribusi yang bisa disombongkan se-mau hati. Disemburkan ke muka publik sembari telunjuk menunjuk jidat orang banyak,  congkak  memaki “saya pemberi kontribusi besar bagi Mongondow. Pahlawan Mongondow. Orang Mongondow wajib membingkai saya laksana pahlawan. Meski  roman itu omong besar seorang “pembual.”  Sangat jelas saya tak berani. Takutnya! Begitu foto saya dibingkai indah dan dipajang  bagai pahlawan Mongondow. Setiap orang lewat akan mampir. Bukan terpesona. Bangga akan roman kepahlawanan itu. Tapi mengumpat “dasar  mulut  besar”, cuihhh!


Meski tak punya cerita kepahlawanan, Indah rasanya kontribusi tak diumbar. Tak meng-klaim. Biarkan vonis mutlak milik orang banyak. Sementara saya yang tak punya apa-apa ini, lebih memilih bekerja dari pada “omong besar.”  Perkara saya mengenal Djelantik Mokodompit, dan terlibat dalam kegiatan Rasky Mokodompit. Cukup tegas; itu bukan urusan Katamsi. Hantu blau gila dari mana bisa mencampuri  perkawanan saya? Untuk liur dan lidah, saya tak lahir untuk itu. Semua yang mengenal saya, tentu tahu. Saya belum mampu laksana “anjing penjaga” yang luar biasa brutalnya mengonggong ketika tuan-nya diganggu. Sama halnya, belum mampu menjadi PNS (CPNS) baru yang bekerja kurang lebih dua tahun, kemudian dipromosikan sebagai salah satu Kepala Unit Pelaksana Teknis Dinas. Dan saya tak mempersoalkan itu. Elit pimpinan tentu punya “mata” sendiri.

Ketiga, penulis kah saya? Terpikir siapa saja takut! Apalagi penulis. Jelas saya, bukan penulis. Tak pernah terlintas sedikit pun jadi penulis. Bercita-cita pun tidak. Sia-sia belaka jika untuk tulis menulis mesti meraih gelar hingga S3. Siang malam mata melek untuk mengasah kemampuan. Tapi saya penasaran. Ingin jumpa “murid dari murid dari murid” Katamsi. Sekadar tegur sapa untuk ketidakmampuan saya, atas kuasa mereka. Untuk berkaca di ujung pensil! Saya balik menyarakan Katamsi “bakaca di panta blanga.” Berdoa-lah anda masih bernafas secara utuh 15-20 tahun ke depan—sebagaimana doa saya untuk setiap kurang usia. Tulang belulang masih kuat. Keriput tak menggeroyoti tubuh. Tersebab jika anda punya kuasa atas kepentingan publik, bisa jadi saya akan mengkritik anda se-sadis dan se-brutal arus hati. Mungkin hingga kata tak terucap. Jantung henti detak. 


Keempat, kalau A R Thomas, telah membuat Katamsi bak cacing kepanasan.  Thomas, tentu berhasil menempeleng kesombongan “naga culas” ini. Se-sekali si “naga culas” ini memang perlu ditempeleng,  agar batok kepala penuh congkak yang mulai membesar membelah gunung, redam oleh sakit hati orang-orang yang tersakiti. Mereka yang direndahkan, diremehkan, dihina se-nista gila, pasti antri mengular ambil bagian. Sedang ancaman fisik untuk membuat saya mengunyah dengkul dan sikut. Setelah itu memamah gigi sendiri. Tak sabar rasa hati menanti saat itu. Pun mengempiskan batok kepala saya cukup dengan satu kelingking. Sebenar-benarnya satu kelingking. Hebat benar! Jangan-jangan si ceking sombong ini ganti rupa bagai Tuhan. Atau lebih kuasa dari Tuhan. Tapi pantaskah?



Ancaman fisik (tafsir Katamsi) “kalu baku muka kita so tumbu.” Saya masih menyimpan percakapan tulis itu. “Kalo ada di muka qt so pangge baku pukul ini noh.” Itu yang saya tulis. Pun itu atas derasnya caci maki Katamsi ke jidat saya, yang teramat sangat “kasar.” Dan untuk itu, kata maaf  telah saya sampaikan.Tak perlu pelintiran sesat. Itu hanya dilakukan bebal ke-sasar.

Bupati Salihi Mokodongan beserta istri tentu membaca utuh apa yang dituliskan A R Thomas. Seluruh rakyat Bolmong pun tak buta hati untuk lihat. Siapa menghina? Siapa tidak. Jika atas nama Thomas, tudingan saya mengejar politik dagang “tawar-menawar” untuk kepentingan pribadi. Sesal saya, kenapa tak dari dulu!


Kelima, prakiraan cuaca suhu politik Bolmong dan Kota Kotamobagu. Khususnya jelang pilwako 2013. Tegasnya; saya tak tahu, “kita bukan politisi kasiaaannnggg.” Tapi main catur tak hanya satu tepukan dua.  Kurang  menarik. Detailnya, tanyakan langsung ke tokoh-tokoh politik yang terlibat. Kecuali niat  jadi pengamat politik dengan segumpal duga “omong besar.”  Silahkan!


Peringatan lain untuk sukses saya menciptakan musuh dimana-mana. Bukankah itu seperti meludah menunjuk langit sambil telunjuk menuding hidung sendiri. Siapa pun terpilih nantinya dalam pilwako Kota Kotamobagu periode kedua, meski bukan Djelantik Mokodompit, jelas saya tak harus pikir. Catat besar-besar! Saya tak peduli! Tak pernah takut! Termasuk menanti kesabaran revolusioner bersama “gajah congkak.”


Simpulnya, sebelum terantuk sekian kali. Meski Katamsi, lampau pernah berbagi; tak perlu permasalahkan siapa sang “ghost writer.” Debat saja substansi-nya. Saya menyarankan Katamsi membaca kembali tulisan A R Thomas. Baca cermat dan teliti. Kecanggihan teknologi bisa dengan mudah menunjuk muka orang. Tapi bukan berarti konseptornya orang yang sama. Tak perlu membawa tulisan itu dianalisa penulis terbaik negeri ini, sekelas penyair besar  Goenawan Mohamad. Bisa jadi sang konseptor utama—sebenar-benarnya—artikel itu sedang menertawakan Katamsi.


Jangan bayangkan wajah saya. Bayangkan saja wajah-wajah kawan lama anda.  Runut satu per-satu. Mungkin dia penulis dan se-level. Karena saya, sangat jelas. Bukan siapa-siapa. Tak perlu dianggap atau ditanggapi. Terkecuali yang menanggapi adalah idiot pandir bin congkak, yang haqul yakin surga kebenaran berada tepat di telapak kaki. Lainnya? Nista.#

Terantuk Bongkahan Congkak (1)


(tanggapan untuk Katamsi Ginano)

Cukup lama tak menulis ternyata membawa berkah tersendiri bagi saya. Terakhir menulis kala mengkritik Bupati Lapadengan lewat “M Untuk Bupati Lapadengan” yang dipublis Harian Radar Totabuan se-tahun lalu. Berkah itu pun bagi saya mau tak mau harus disyukuri. Berkah pertama, jari-jari telunjuk yang menuding  jidat saya kala ada artikel yang dilansir media cetak Bolmong, dan ruh saya—menurut orang—gentanyangan dalam artikel tersebut. Berkah kedua, makian pedas Katamsi Ginano yang langsung menyemburkan ludahnya ke muka saya. Mendapat caci maki dari Katamsi, bagi saya adalah kerinduan tersendiri. Sebab, sampai detik ini pun menurut saya, belum ada yang mampu, pantas dan layak menggantikan posisi Katamsi sebagai “empuh-nya makian.” Dia belum tergantikan. Dan memang telah cukup lama saya tak dimaki. Apalagi dari seorang Katamsi Ginano, yang “makiannya” terkenal bukan hanya se jagat Bolmong. Bahkan se-antero bumi.

Sebenarnya saya, enggan menanggapi. Sebab berdebat dengan Katamsi adalah omong besar dan kesia-siaan belaka. Percayalah, mengalahkan si ceking jelek ini bukan perkara mudah.  Baru saja ber-argumentasi, Katamsi, telah siap dengan seribu argumentasi. Lengkap dengan sejuta makian yang memerahkan kuping. Tapi karena nama saya disebut dalam “Motif Culas dan Batas Api (1-3, RT, 22-24/5), yang hampir keseluruhan isinya makian  tendensius bagi saya. Tak ada salahnya ditanggapi. Tersebab  si ceking jelek ini telah memaki secara terbuka, saya pun meminta space yang sama di Harian ini, meski sekadar membetulkan tudingan yang tumpah ruah kemana-mana.

Permintaan itu pun diikuti penegasan; saya tak akan melibatkan teman-teman di Harian ini. Ini urusan saya dan Katamsi. Perkenankan saja saya mengikuti Katamsi “kata-kata dibalas kata-kata.” Tak perlu saya, membawa-bawa dewan pers. Tak mesti saya, mengeluarkan ancaman pidana dan perdata. Atau sebagaimana yang ia katakan langsung “jang ngana bawa ini ka polisi.” Konteks kerugian yang saya alami tentu lebih parah dari Katamsi. Caci maki yang saya telan lebih sadis dan brutal. Sementara kritik A R Thomas terhadap Katamsi, masih dalam kewajaran. Terlebih bagi saya, ancam-mengancam wujud lain dari “banci pengecut” yang sok jagoan se-semesta raya. Kebetulan saya bukan “banci pengecut”. Dan saya akan menghadapi itu dengan “kata-kata.”

Itu pula jawaban saya untuk keluarga, kerabat dekat dan para sahabat. Begitu seri 2 dan 3 tulisan itu tersaji ke ruang publik, telepon, SMS, BBM menderas masuk ke telepon genggam saya. Isinya terpahami: makian, hujatan, sumpah serapah untuk Katamsi. Tak ingin terbawa arus, saya menjawab singkat “ini urusan saya dan Katamsi, kata-kata dibalas kata-kata. Kita deng dia kwa cuma suka baku gara.” 

Pertama, ikhwal  tulisan  Metamorfosis  Katamsi ke Wujud Makin Lucu (1/2, RT, 14-15/5)”, yang ditulis A R Thomas. Dibaca secara utuh, tulisan itu jelas mempertanyakan sekaligus membandingkan dua tulisan Katamsi di blog pribadinya.  Sempat dipublis beberapa media cetak Bolmong. Substansinya bagi saya, terang benderang. Ada dua hal kontradiktif menurut analisa penulisnya. A R Thomas tentu ingin memastikan pintu mana sebenarnya Katamsi lalui. Apa lewat pintu depan rumah Salihi, sambil tangan terbuka memeluk. Atau malah mengendap lewat pintu belakang dengan daya dobrak kesusilaan yang teramat biadab. 

Tak lama menunggu, Rabu pagi (16/5), Harian Radar Totabuan menurunkan tulisan  Katamsi--O, Cuma Proklamasi Orang Bermartabat Receh 1/2 (16-17/5), menanggapi artikel A R Thomas. Di artikel itu pun, Katamsi sudah menjawab apa yang ditanyakan Thomas, bahwa “kesetiaan saya bukan pada orang, tetapi pada ide dan visi”. Di titik ini, substansi perdebatan bagi saya, sudah terpenuhi. Lainya, tentu biar publik yang menilai. Kalau konteks kerugiannya dipolemikkan. Pernah terpikirkah bagaimana perasaan Salihi dan istri. Linda Lahamesang tentu punya perasaan. Orang-orang  yang selama ini dikritik Katamsi secara pedas dan brutal tentu mirip Linda. Masih punya “perasaan.” Bagaimana dengan keluarga mereka. Berapa besar kerugian. Berapa banyak sakit hati. Bisakah Katamsi sedikit saja menyelami rasa itu. Kalau kritikan memang mengarah ke pejabat publik oleh tanggung jawab yang dipikul dan mereka yang terlibat didalamnya. Nihil makna-kah jika itu disampaiakan lebih adab. Cibiran akan mendapuk wajah Katamsi, jika kuasa mengkritik di alam semesta ini mutlak milik Katamsi, Katamsi dan Katamsi. Begitu dikritik balik “ohh tidak bisa.” Setan belang dari mana yang hanya memikirkan rasa sendiri?

Kedua, siapa saya? Pentingkah saya? Signifikansi untuk kemaslahatan Mongondow? Kontribusi apa? Katamsi benar. Bahkan 1000 persen benar. Jelas saya bukan siapa-siapa? Berpikir tentang siapa saya saja, tak pernah niat dan berani. Apalagi disanding seorang Katamsi Ginano, tambah telak. Prestasi Katamsi dalam “caci maki” luar biasa hebat. Tak ada duanya “paling hebat se-dunia.” Terutama ketika lidah dan liurnya mulai muncrat kemana-mana, dan omongannya merayap menuju puncak gunung tertinggi dunia. Tak peduli orang-orang sekitar mulai mual, muntah oleh omong besar itu. Saya tak mampu menuding puncak. Saya lebih memilih hidup dengan kebukansiapa-an. Itu lebih nikmat. Tanpa harus membuat mulut orang monyong di balik punggung, menuding ubun-ubun.