(Tanggapan untuk Katamsi Ginano)
Alkisah, di tengah padang rumput luas. Dua
orang musafir berdebat tentang sebuah titik hitam yang tampak di kejauhan.
Orang pertama menyatakan titik hitam itu seekor kambing. Orang kedua, yakin itu
seekor burung. Perdebatan terjadi. Tak jua titik temu didapat, keduanya mufakat
mendekati titik hitam itu.
Sambil menyusuri jalan, tak henti keduanya berdebat.
Argumentasi, referensi, pengalaman dan acuan disandingkan. Sebelum tiba lebih
dekat. Tiba-tiba titik hitam itu terbang melesat dari tempatnya, melayang ke
angkasa. Keduanya berlari mengejar. Namun titik hitam itu melesat lebih jauh
lagi.
"Apa saya bilang, burung kan!” kata orang kedua. “Burung
gimana? Itu pasti kambing!” orang
pertama tak mau kalah. “Sudah jelas terbang. Mana ada kambing terbang?” timpal
orang kedua. “Kambing!” orang pertama berkeras. “Pokoknya kambing! Meski
terbang, pokoknya kambing! Sekali kambing tetap kambing!”
Kisah dunia sophis
yang kemudian dituliskan Emha Ainun Nadjib dalam “Sayap-Sayap Kerbau”—kambing diganti kerbau, dalam “Kiai Bejo, Kiai Untung, Kiai Hoki”
diterbitkan Kompas Media Nusantara, 2007 lalu. Memang penuh anekdot.
sebagaimana Cak Nun, saya juga memanjatkan doa semoga difananya
dunia ini, kita dijauhkan dari sang pengucap kambing. Apa sebab? Tak usah
diuraikan. Teramat lucu, jika yang jelas saja sudah melesat terbang melayang ke
angkasa, tapi masih dibilang kambing. Bagaimana jadinya jika yang dilihat itu
seekor burung?
Doa itu memang belum sepenuhnya dikabulkan. Karena di Bolmong
Raya ini, masih ada Katamsi Ginano, yang harus saya identikkan dengan si idiot
pengucap kambing itu.
Pertama, masalah substansi. Dalam “Nyali Hemaprodit “Daong Lemong”—mudah-mudahan Radar Totabuan telah
salah dalam editing, mungkin yang
dimaksud Katamsi adalah hermaprodit.
Katamsi menuliskan bahwa saya “tetap
setia dengan kekacauan substansi. Sekadar mencakar-cakar ke segala arah.”
Dilanjutkan “menghina-hina dan melecehkan”
Katamsi—sebenar-benar pribadi. Bukankah itu se luar biasanya kebodohan? Keheranan
tersendiri jika kebodohan dipertontonkan. Pun diterik hari. Siapa yang menghina
habis-habisan? Siapa yang memamerkan sombong luar biasa? Ayolah Katamsi! Anda
bisa menyemburkan ludah ke muka saya. Tapi rakyat banyak tak buta tuli untuk
paham apa yang anda tuliskan.
Pembaca budiman. Apa yang bisa diperoleh dari tulisan “Motif Culas dan Batas Api (1-3, RT,
22-24/5)?” Substansi apa? Nihil. Nol besar. Tak ada yang penting selain caci
maki tendensius yang mengarah ke pribadi saya. Tambah diperjelas kesombongan
luar biasa hebat penulisnya. Melebihi kuasa Tuhan. Sangat jelas yang dituliskan
Katamsi; pukul sana, pukul sini. Tabrak sana, tubruk sini! Kalap kesasar tak
tentu arah.
Di hari pertama, setelah tulisan “Motif Culas dan Batas Api”
dilansir harian ini. Lewat telepon saya bercakap dengan Katamsi. Dalam
perbincangan Katamsi mengatakan bahwa dia telah mengumpulkan seluruh makian
untuk saya dalam tulisan itu. Saya jawab “silahkan!
Dengan catatan hanya ke saya. Tak perlu luber kemana-mana. Tak perlu libatkan
orang lain.” Penuh elegan, Katamsi menjawab; “tentu, kita bukan anak kemarin yang nda tau membedakan.”
Nyatanya! Orang-orang tentu bisa menangkap dengan jelas apa
yang kemudian dituliskan Katamsi. Sekarang pembaca. Siapa substansi kacau?
Siapa yang mencakar-cakar ke segala arah?
Itu pula yang saya tuliskan dalam “Terantuk Bongkahan Congkak (RT, 28/5).” Saya sekadar ikut ritmenya Katamsi.
Meski dalam pembelajaran dan pemahaman bagi publik, ini jelas keliru dan diluar
konteks peran media sesungguhnya. Dalam
tulisan itu, saya pikir caci maki Katamsi telah saya jawab. Sembari mempertegas
hinaan yang dialamatkan. Bahwa saya bukan siapa-siapa. Anggap saja saya sekadar
mengikuti Nietzsche. Saya akan bicara
pada “kesombongan” idiot ini.
Kedua, tentang penulis. Sebagaimana simpulan yang bersemayam
di batok kepala Katamsi yang luber oleh congkak luar biasa. “kita bukang penulis kasianggg!” harus berapa
kali saya mempertegas bahwa saya bukan penulis. Anda sendiri yang menyimpulkan
saya bukan siapa-siapa. Hanya belut yang sirik pada naga. Meski untuk apa saya
sirik ke anda. Bahkan 15-20 tahun kedepan tak pernah pantas disandingkan dengan
anda. Dan saya memang tak ingin disandingkan dengan Katamsi. Terutama urusan
caci maki. Lucu jika kemudian, anda memaksa saya untuk “membuka mulut sedikit saja dan menuliskan dua tiga patah kata di media.”
Di akhir tulisan itu pun saya telah
menuliskan. Yang menanggapi saya yang bukan siapa-siapa ini—apalagi seorang
penulis, adalah idiot pandir bin
congkak. Sang pemilik mutlak surga kebenaran. Katamsi telah menyempurnakan dirinya sebagai
idiot itu.
Ketiga, permasalahan CPNS, relokasi pasar dan HUT Kota Kotamobagu
ke-5. Semakin jelas siapa yang mencakar-cakar tak tentu arah. Hingga
membawa-bawa Djelantik Mokodompit, Tatong Bara dan Yasti Mokoagow. Sekali lagi.
Ayolah Katamsi! Saya akan kembali ke simpulan anda. Bagaimana saya yang bukan
siapa-siapa ini mencampuri permasalahan itu. Biarkan
saja permasalahan CPNS dan relokasi pasar terselesaikan dalam ranah hukum,
seperti yang berlangsung saat ini. Hormati saja proses itu, sebagaimana Djelantik
Mokodompit, Tatong Bara dan Yasti Mokoagow menghormati anda dan keluarga.
Sedang untuk HUT Kota Kotamobagu, silahkan menafsirkan dalam kaca mata anda. Itu
hak anda. Tidak ada yang melarang atau membatasi. Apalagi saya!
Namun, sebelum mulut bual anda memamah kesombongan luar biasa
perih yang dibanggakan. Sejenak, renungkan diri anda. Jangan buruk rupa, cermin
dibelah. Saya tak minta anda seperti Narcissus dalam pengantarnya Paulo Coelho
“Sang Alkemis.” Yang setiap hari duduk di tepian danau, mengagumi keindahan
dirinya. Hingga tak sadar, tercebur dan mati tenggelam. Berkacalah secara utuh.
Bukan terpesona mengagumi diri. Tapi mengetuk pintu hati untuk sadar diri. Pun
memperdalam ilmu ”menghargai orang lain.” Karena sumpah serapah orang banyak
akan mengunyah tiap lekuk tubuh. Puisi “Penerimaan” Chairil Anwar, pun menegaskan
kesadaran itu. Jangan pernah menunggu
hingga “cermin pun enggan berbagi!”
Sedang penjepit rambut, tas tangan kecil dan sepatu high heels, itu lebih pantas anda
kenakan. Warna merah muda akan sedikit menutupi wajah jelek anda. Setelah itu
silahkan ngacir ke Taman Lawang. Di
sana tempat anda yang paling amat pantas. Karena yang paling “daong lemong” itu jelas anda.
Untuk bedak dan lipstick yang cocok bagi saya. Silahkan saja
kirimkan. Karena dengan senang hati, saya akan mengantarkan itu ke rumah
sebelah. Masih di Jalan Amal. Minta
kejelasan ke siapa sebenarnya kiriman ini ditujukan. Amat pasti alamat saya dituju
palsu! Kiriman itu lebih cocok berada di rumah itu.