Sabtu, 19 April 2014

Masih Seriuskah Kita Dengan "Tuhan"?


(dipublikasikan Kolom ARAH Harian Kawanua Post, Rabu 26 Februari 2014)

Masih seriuskah kita dengan Tuhan? Dengan segala keterbatasan, saya tak bisa menjawab itu. Namun di tahun 913 M, di jalanan kota Baghdad, seorang lelaki berjubah compang camping berlarian menghambur ke orang banyak sambil berteriak “Ana Al-Haqq  (Akulah Tuhan)”. Lelaki itu kita kenal sebagai Mansur Al-Hallaj. Sekitar hampir 500 tahun yang lalu, Syekh Siti Jenar berbicara tentang “Manunggaling Kawula Gusti”. Dalam “Die frohliche Wissenschaft” tahun 1882, Nietzsche mengatakan “Gott ist tot—Tuhan telah mati”, dan puisi “Padamu Jua” Amir Hamzah, dengan lirih menyatakan “Tuhan ganas dan cemburu”. 

Berbicara tentang Tuhan dalam wilayah transendental memang cukup menggairahkan, terutama ketika itu menyentuh aspek subtansial. ini pun bukan tidak mendapat tantangan, Al-Hallaj dan Syekh Siti Jenar harus berakhir dengan kematian, karena dianggap sesat. Kalau pemahaman Tuhan yang disakralkan dengan pencarian yang sangat panjang saja sering diartikan salah, bagaimana halnya dengan sakralitas yang  dipermainkan?

Sejarah mencatat penistaan memang telah menjadi bagian dari perkembangan agama itu sendiri. Tak hanya nabi, Tuhan pun tak luput dari penistaan atau laku kesangsian yang cukup serius terhadap agama, dan menghadirikan kontroversi. Dalam agama kristen, film “The Passion of The Christ”, “The Messiah” atau “The Da Vinci Code”, cukup menimbulkan polemik. Bahkan yang disebutkan terakhir, yang difilmkan berdasar novel karya Dan Brown, menurut teolog Erwin Lutzers merupakan “penyerangan paling serius terhadap kekristenan” karena mengungkap salah satu sisi manusiawi Jesus Kristus, khususnya hubungan-Nya dengan Maria Magdalena, dan menghasilkan keturunan. Dalam Islam, belum lepas dari ingatan kita ketika Sam Bacile—kemudian muncul nama baru Nakoula Basseley, meliris film “Innocence of Muslims”.

Awal tahun 2014, Bupati Boltim, Sehan Landjar cukup membuat bising. Pernyataannya yang dilansir salah satu media lokal Bolmong terbitan Jumat (21/2) pekan lalu, tak ada salahnya dikutipkan “Jangankan Sachrul Mamonto, Nabi Muhammad dan Tuhan Yesus pun kalau di Boltim ini, masih bisa saya kalahkan,” telah membuat kening orang banyak mengkerut. Pembaca,  permasalahan statement ini sedang dalam proses hukum di Polres Bolmong; sejumlah orang melaporkan sang pejabat atas tindakan penistaan agama, sang pejabat membantah keras mengeluarkan statement itu, dan media yang menerbitkan tak kalah cepat membuat ralat untuk berita tersebut, tentu sambil meminta maaf.

Selain ketiga reaksi itu, di jalanan, di pasar, di kantor sampai ke sudut warung kopi, orang banyak mulai ribut dengan asumsi plus dugaan masing-masing. Setidaknya ada tiga asumsi ramai yang mengemuka terkait pernyataan sang bupati, yang harus dipahami dalam perspektif luas. Pertama; orang yang menganggap itu penistaan sekaligus penodaan keyakinan beragama. Tak kurang, Aliansi Masyarakat Muslim Bolmong Bersatu bersigegas melaporkan Sehan Landjar ke Polres Bolmong. Bagi mereka—dan umumnya umat muslim, penggambaran Nabi Muhammad secara fisik untuk tujuan yang kurang etis adalah penghinaan besar. Dan pengandaian Sehan Landjar yang “bisa mengalahkan Nabi Muhammad” dalam konteks Pemilukada Boltim tahun depan, menurut mereka adalah penghinaan terhadap umat muslim. 

Kedua; mereka yang menyudutkan media penerbit statement itu dengan dalih kode etik. Kebanyakan yang berada di pihak ini adalah pewarta—beberapa dikenal cukup dekat dengan Sehan Landjar, dan secara garis besar tidak terlalu mempermasalahkan benar tidaknya pernyataan sang bupati. Yang dikritisi pengangkangan terhadap salah satu elemen dasar jurnalisme; verifikasi data dan informasi, termasuk melabrak kode etik wartawan. Argumen ini pun masih terbelah. Ada yang menyetujui meski pernyataan sang bupati benar adanya, media tak harus menghadirkan itu ke ruang publik, dengan dalih kurang etis. Ada juga yang menganggap jika prosedur standar jurnalisme telah diterapkan ketika memperoleh informasi itu, maka tak ada salahnya untuk disajikan ke publik. Alasannya cukup sederhana; Bupati sebagai pejabat publik harus selalu dikontrol, baik tindakan maupun ucapan. Setidaknya menurut meraka, agar ada efek jera dan sang bupati segera tersadar bahwa ia seorang kepala daerah, dan bukan preman pasar.

Ketiga; orang yang menganggap pernyataan itu biasa saja dan tak harus dipersoalkan, sebab di Negara-negara Nordik—eropa bagian utara, statement sang bupati, konon bisa bernilai positif. Meski menurut berbagai kalangan, analogi ini sudah terlalu jauh tersesat, karena kita saat ini sedang ada di bawah langit Mongondow, Indonesia. Kita di sini, bukan di sana. Setiap langit punya tradisi, punya kultur, punya nilai. Dan itu semua pun mau tak mau harus dihargai, dihormati.

Kita tentu tak menghendaki sakralitas kita dipermainkan, kesucian kita dinista, dan kemurnian iman kita dinodai. Namun di sisi lain, kita tentu tak harus jadi kerbau yang teramat mudah ditarik masuk ke dalam kubangan lumpur penistaan. Mari kita hormati proses hukum yang sedang berjalan, dan berharap Bupati Boltim tidak sedang bermain dalam “lumpur itu”, sebab Boltim masih butuh kepemimpinan kharismatik ala Sehan Landjar. Dan orang-orang tak perlu lagi bertanya; masih seriuskah kita dengan “Tuhan”?#



Tidak ada komentar:

Posting Komentar