(dipublikasikan
Kolom ARAH Harian Kawanua Post, Rabu 26 Februari 2014)
Masih seriuskah
kita dengan Tuhan? Dengan segala keterbatasan, saya tak bisa menjawab itu.
Namun di tahun 913 M, di jalanan kota Baghdad, seorang lelaki berjubah compang
camping berlarian menghambur ke orang banyak sambil berteriak “Ana Al-Haqq
(Akulah Tuhan)”. Lelaki itu kita kenal sebagai Mansur Al-Hallaj.
Sekitar hampir 500 tahun yang lalu, Syekh Siti Jenar berbicara tentang “Manunggaling Kawula Gusti”. Dalam “Die frohliche
Wissenschaft” tahun 1882, Nietzsche
mengatakan “Gott ist tot—Tuhan telah mati”,
dan puisi “Padamu Jua” Amir Hamzah,
dengan lirih menyatakan “Tuhan ganas dan cemburu”.
Berbicara tentang
Tuhan dalam wilayah transendental memang cukup menggairahkan, terutama ketika
itu menyentuh aspek subtansial. ini pun bukan tidak mendapat tantangan, Al-Hallaj
dan Syekh Siti Jenar harus berakhir dengan kematian, karena dianggap sesat. Kalau
pemahaman Tuhan yang disakralkan dengan pencarian yang sangat panjang saja
sering diartikan salah, bagaimana halnya dengan sakralitas yang dipermainkan?
Sejarah mencatat
penistaan memang telah menjadi bagian dari perkembangan agama itu sendiri. Tak
hanya nabi, Tuhan pun tak luput dari penistaan atau laku kesangsian yang cukup
serius terhadap agama, dan menghadirikan kontroversi. Dalam agama kristen, film
“The Passion of The Christ”, “The Messiah” atau “The Da Vinci Code”, cukup menimbulkan polemik. Bahkan yang
disebutkan terakhir, yang difilmkan berdasar novel karya Dan Brown, menurut
teolog Erwin Lutzers merupakan “penyerangan
paling serius terhadap kekristenan” karena mengungkap salah satu sisi
manusiawi Jesus Kristus, khususnya hubungan-Nya dengan Maria Magdalena, dan
menghasilkan keturunan. Dalam Islam, belum lepas dari ingatan kita ketika Sam
Bacile—kemudian muncul nama baru Nakoula Basseley, meliris film “Innocence of Muslims”.
Awal tahun 2014,
Bupati Boltim, Sehan Landjar cukup membuat bising. Pernyataannya yang dilansir
salah satu media lokal Bolmong terbitan Jumat (21/2) pekan lalu, tak ada salahnya
dikutipkan “Jangankan Sachrul Mamonto,
Nabi Muhammad dan Tuhan Yesus pun kalau di Boltim ini, masih bisa saya kalahkan,”
telah membuat kening orang banyak mengkerut. Pembaca, permasalahan statement ini sedang dalam proses hukum di Polres Bolmong; sejumlah
orang melaporkan sang pejabat atas tindakan penistaan agama, sang pejabat
membantah keras mengeluarkan statement
itu, dan media yang menerbitkan tak kalah cepat membuat ralat untuk berita
tersebut, tentu sambil meminta maaf.
Selain ketiga reaksi itu, di jalanan,
di pasar, di kantor sampai ke sudut warung kopi, orang banyak mulai ribut
dengan asumsi plus dugaan masing-masing. Setidaknya ada tiga asumsi ramai yang
mengemuka terkait pernyataan sang bupati, yang harus dipahami dalam perspektif luas.
Pertama; orang yang menganggap itu
penistaan sekaligus penodaan keyakinan beragama. Tak kurang, Aliansi Masyarakat
Muslim Bolmong Bersatu bersigegas melaporkan Sehan Landjar ke Polres Bolmong. Bagi
mereka—dan umumnya umat muslim, penggambaran Nabi Muhammad secara fisik untuk
tujuan yang kurang etis adalah penghinaan besar. Dan pengandaian Sehan Landjar
yang “bisa mengalahkan Nabi Muhammad” dalam konteks Pemilukada Boltim tahun
depan, menurut mereka adalah penghinaan terhadap umat muslim.
Kedua; mereka
yang menyudutkan media penerbit statement
itu dengan dalih kode etik. Kebanyakan yang berada di pihak ini adalah
pewarta—beberapa dikenal cukup dekat dengan Sehan Landjar, dan secara garis
besar tidak terlalu mempermasalahkan benar tidaknya pernyataan sang bupati.
Yang dikritisi pengangkangan terhadap salah satu elemen dasar jurnalisme;
verifikasi data dan informasi, termasuk melabrak kode etik wartawan. Argumen
ini pun masih terbelah. Ada yang menyetujui meski pernyataan sang bupati benar
adanya, media tak harus menghadirkan itu ke ruang publik, dengan dalih kurang
etis. Ada juga yang menganggap jika prosedur standar jurnalisme telah
diterapkan ketika memperoleh informasi itu, maka tak ada salahnya untuk
disajikan ke publik. Alasannya cukup sederhana; Bupati sebagai pejabat publik
harus selalu dikontrol, baik tindakan maupun ucapan. Setidaknya menurut meraka,
agar ada efek jera dan sang bupati segera tersadar bahwa ia seorang kepala
daerah, dan bukan preman pasar.
Ketiga; orang
yang menganggap pernyataan itu biasa saja dan tak harus dipersoalkan, sebab di
Negara-negara Nordik—eropa bagian utara, statement
sang bupati, konon bisa bernilai positif. Meski menurut berbagai kalangan, analogi
ini sudah terlalu jauh tersesat, karena kita saat ini sedang ada di bawah
langit Mongondow, Indonesia. Kita di sini, bukan di sana. Setiap langit punya
tradisi, punya kultur, punya nilai. Dan itu semua pun mau tak mau harus
dihargai, dihormati.
Kita tentu tak menghendaki sakralitas
kita dipermainkan, kesucian kita dinista, dan kemurnian iman kita dinodai.
Namun di sisi lain, kita tentu tak harus jadi kerbau yang teramat mudah ditarik
masuk ke dalam kubangan lumpur penistaan. Mari kita hormati proses hukum yang
sedang berjalan, dan berharap Bupati Boltim tidak sedang bermain dalam “lumpur
itu”, sebab Boltim masih butuh kepemimpinan kharismatik ala Sehan Landjar. Dan
orang-orang tak perlu lagi bertanya; masih seriuskah kita dengan “Tuhan”?#
Tidak ada komentar:
Posting Komentar