(dipubilkasikan Kolom ARAH Harian
Kawanua Post, Rabu 19 Februari 2014)
Ini cerita
tentang pergumulan kemanusiaan. Ini kisah romantisme pengorbanan yang dinukil
dari epos komik Mahabrata; Pandawa Seda, karya Bapak Komik Indonesia, R.A.
Kosasih.
Kisah ini sebagaimana diceritakan Bhisma sebelum mangkat di medan
Kurusetra kepada para Pandawa dan Kurawa yang mengelilinginya—juga dikutip
Goenawan Mohamad dalam “Usinara”, berawal di sebuah hutan belantara ketika
seekor merpati diterkam seekor rajawali. Merpati itu terluka dipunggungnya,
tapi sempat terbang menghindar kejaran rajawali. Sang rajawali terus mengejar,
keluar rimba tanpa henti, hingga akhirnya merpati itu masuk ke balairung Prabu
Usinara, Raja Kerajaan Magada.
“Gusti, tolonglah hamba”,
ucap sang merpati seraya hinggap di pangkuan sang Prabu. “Lindungilah hamba
dari rajawali yang mau memakan daging hamba”. Prabu Usinara—seorang raja adil,
bijaksana, penuh belas kasih dan taat terhadap hukum Tuhan—begitu melihat
merpati yang terluka dan ketakutan segera menjawab; “Tenanglah kau akan kubela.
Aku bersedia mengorbankan hidupku demi keselamatanmu”.
Tak disangka, perkataan sang prabu membawa petaka. Rajawali yang
sudah berada di balairung itu, ikut mendengar ucapan Usinara. Ia menuntut agar
merpati diberikan kepadanya; “Ia telah jadi milikku sebagaimana hukum rimba
yang berlaku, punggungnya telah kutandai dengan luka. Kalau tidak percaya
lihatlah!”. Prabu Usinara mau tak mau harus menghormati hukum itu. Untuk
membela sang merpati, ia menawarkan daging kijang sebagai pengganti. Tapi
rajawali mencemooh; “Hmm, manusia selalu mengorbankan mahkluk lain. Tidakkah ia
sendiri punya daging?”
Jelas daging Usinara sendiri harus diberikan sebagai pengganti
daging merpati. Maka tubuh merpati ditimbang dan seberat itulah daging Prabu
Usinara akan dipotong. Keanehan terjadi; si burung merpati ternyata berat, amat
berat dan seluruh bagian tubuh baginda kian lama nyaris terkeret habis
mengimbanginya. Istana gempar. Orang mulai ribut dan menangis. Tapi sang prabu
bersikukuh pada pendiriannya untuk menepati kata-katanya sendiri. Ia roboh.
Roman kebaikan memang sering menyisakan tanya. Kisah Prabu
Usinara, bagi saya cukup mencengkeram rasa kemanusiaan sekaligus mengusik akal
sehat. Dalam tingkatan manusia seperti apakah sang prabu hingga dengan tulus
ikhlas memberikan dagingnya sendiri sebagai ganti daging sang merpati, meski
berat tubuh si merpati ternyata melampaui berat tubuh Usinara dan secara langsung
menunjuk kematian. Manusiakah sang prabu atau bukan? Saya tak begitu paham.
Yang saya tahu, jika saya Usinara, sang rajawali sangat perlu ditempeleng.
Pendeta Jonathan Manoppo tentu bukan Prabu Usinara, meski keduanya
menyiratkan kebaikan dalam kacamata berbeda. Yang satu memberikan daging,
lainnya tanah. Kebaikan Pendeta Jonathan membagikan tanah kapling yang diklaim
sebagai miliknya di lokasi perkebunan Pangiang Batusaiki Molas, bagi para
korban banjir dan tanah longsor beberapa waktu lalu, bisa dianggap bagian kecil
dari roman kebaikan, tentu dengan beragam persepsi. Menyerahkan hak milik ke
orang lain penuh tulus ikhlas, dengan jumlah lumayan besar tentu butuh manusia
dengan spesifikasi khusus. Informasi menyebutkan pembagian tanah gratis ini
murni untuk kemanusiaan; “tidak ada unsur apapun maupun kepentingan pribadi”,
ini kemurahan hati pak pendeta dan kita tentu tak bisa mendebat kebaikan.
Hal yang menarik bahwa roman kebaikan juga seringkali meruntuhkan sebuah
nilai, termasuk sesuatu yang dianggap benar. Kebaikan juga butuh kebenaran;
baik belum tentu benar dan benar pun belum tentu baik. Petaka mulai nampak
ketika kebaikan hati Pendeta Jonathan diperhadapkan pada kebenaran. Meski
ribuan pendukungnya mengepung Mapolresta Manado menuntut pembebasannya, polisi
bergeming seraya menuntut kebenaran. Ia tak bisa menunjukkan bukti kepemilikan
sah dan mirisnya ada hak orang lain yang dirusak di atas lahan perkebunan itu.
Mengemban kebaikan, kita memang tak boleh memalingkan wajah
kebenaran, sebab di situ ada nilai yang dipertaruhkan. Saya rasa, tidak ada
satu orang pun meragukan kebaikan hati Pendeta Jonathan melihat derita para
korban bencana yang kehilangan tempat tinggal, dan ingin hidup lebih aman. Tapi
kebaikan pun ternyata tak cukup.
Ketika Prabu Usinara roboh, tiba-tiba rajawali berubah wujud
menjadi Betara Bayu, dan merpati menjadi Betara Indra. Keduanya tunduk hormat
atas kemuliaan sang prabu, dan cerita ini berakhir happy ending. Pendeta Jonathan punya cerita yang tertunda, kita
belum tahu apakah akan berakhir bahagia atau tidak. Untuk sementara ia diminta
pertanggungjawaban, dituntut kebenaran, diperhadapakan pada kenyataan. Ia
ditahan.#
Tidak ada komentar:
Posting Komentar