Minggu, 26 Maret 2006

Payung Kulturalisme itu "Sobek!"


Ditulis akhir Maret 2006 pasca pelaksanaan Pilkada Kabupaten Bolaang Mongondow yang mengantarkan Marlina Moha Siahaan terpilih kembali sebagai Bupati Bolmong untuk periode kedua.

 “Sedia payung sebelum hujan”. Idiom singkat, padat, jelas dan sangat cukup untuk memaknai garis-garis kehidupan yang membentang diantara spektrum “simbolistik” atau bisa jadi “ideologis”. Kenapa harus “simbolistik”, sebab sering kali idiom ini hanya dijadikan dalih untuk menutupi lubang-lubang kemunafikan terhadap sesuatu yang katanya “persepsional”. Dan kenapa lagi dengan “ideologis”, karena spektrum ini menguraikan sesuatu yang lebih dalam, lebih mengikat, lebih menyentuh sampai ke akar-akar sebuah nurani, yang biasanya juga mutlak sebagai sesuatu yang prinsipil dan kemudian bisa untuk dijadikan pegangan.

Jelang pelaksanaan pilkada yang lalu, secara iseng saya taruhan dengan seorang teman. Taruhannya disini sudah pasti berhubungan dengan hajatan pilkada Bolmong yang saat itu tinggal beberapa hari lagi akan memasuki hari H (20 maret). Uniknya disini sebab pertaruhannya bukan siapa yang akan keluar sebagai pemenang, atau “you pilih dia, saya ambil sisanya”. Tapi yang dipertaruhkan disini lebih menyangkut sesuatu yang lebih fenomenal daripada semua tahapan pelaksanan pilkada, yang sangat mungkin mengkarakterisasi sebuah sistem nilai-nilai budaya yang begitu terbentuknya dalam sistem sosial masyarakat. Dan kami sepakat untuk mempertaruhkan yang namanya “toleransi”, dalam perspektif lokalitas kultur orang Bolmong. Substansinya ialah bagaimana orang bolmong mempersepsikan kemongondowannya mereka, dan sampai dimana pemaknaan maupun pemahaman rakyat Bolmong terhadap dikotomi dua hal yang diwacanakan selama ini antara “asli Bomong” dan yang “bukan asli Bolmong”. Saya, tidak perlu diragukan lagi orang asli bolmong, sedangkan teman saya, ngak harus ribut karena nenek, kakek, bapak dan ibunya pun orang bolmong, sehingga tidak perlu ada yang namanya keberatan disebabkan persepsi kami jelas cukup untuk “hampir” sama. Dia meminta saya memilih antara dua opsi yang ada, “sangat toleran” atau “sangat tidak toleran”. Dan tentu saja berangkat dari klan kultural yang seringkali memaknai persepsi saya secara pribadi, dengan sedikit menantang saya memilih “sangat tidak toleran”.

Hal yang pasti setelah itu adalah “saya kalah”. Kekalahan adalah sesuatu yang wajar, meskipun itu cukup untuk menyakitkan. Apa yang digembar-gemborkan rakyat bolmong selama ini pada kenyataannya masih terlalu jauh untuk dijangkau. Ranah pemikiran untuk mempersepsikan ke-mongondowannya kita masih terlihat menari-nari dalam ruang hampa yang tak bertepi, sambil coba mencari-cari sesuatu yang tepat untuk dijadikan pijakan. Saya kemudian berpikir, apakah ini memang gejala sebuah demokrasi inklusif, yang sudah sangat terbuka dengan lebarnya sampai harus menutup diri dari nilai-nilai yang mengkultur dalam sistem sosial “intau mongondow”. Atau gejala demokrasi ekslusif yang coba dihujamkan secara paksa, untuk mengelabuhi hakikat sebuah sistem kultural yang tidak akan pernah bosannya untuk mengatakan “inilah demokrasi”. Mungkinkah masyarakat kita masih terkungkung dalam fase yang disebut Jean Paul Sartre sebagai sebuah “keyakinan buruk”?. Disatu sisi kita berketetapan hati untuk “tidak toleran” terhadap nilai budaya yang tertanam untuk kemudian bisa diteguhkan atau setidaknya masih bisa diperjuangkan, namun di ujung sisi yang lainnya kita sepertinya tidak bisa menafikan kemunafikan untuk bersikap “toleran” terhadap segala sesuatu, entah itu harus dengan sebuah bentuk kerelaan untuk kemudian mengorbankan harga diri sebagai “intau mongondow”. Atau seperti yang dikatakan oleh Isaiah Berlin bahwa “nilai-nilai bisa dengan mudahnya berbenturan dalam dada seorang individu….., dan jika itu terjadi, tak berarti sebagian benar dan sebagian lagi salah”. Apakah nilai-nilai kemongondowan ini masih sempat untuk berbenturan dalam dada orang mongondow ketika ia diperhadapkan dengan sebuah pilihan, dan jika kemudian itu terjadi, bagian mana yang benar dan dalam persepsi mana ketika itu salah. Akan sangat disayangkan ketika kita harus memvonis diri sendiri untuk mempersepsikan bahwa nilai-nilai yang berbenturan itu semuanya benar atau semuanya salah, tidak membenarkan yang “salah” dan menyalahkan yang “benar”, atau lebih parah lagi untuk tidak malu-malu “berpura-pura” dengan semua itu. 

Memang demokrasi adalah kebebasan, apapun yang akan kita mengerti dan pahami sebagai “bebas”, yang didalamnya terkandung perbedaan yang sekali lagi mau tak mau harus dibebaskan, untuk menapaki tangga kemerdekaan berdemokrasi yang hakiki. Tapi apakah kemudian salah ketika dalam memahami sebuah “demokrasi”, setidaknya kita masih bisa bergandengan tangan atau malah berpelukan mesra dengan nilai-nilai budaya yang masih bisa mencitrakan harkat dan martabat kemongondowannya kita. Apakah kita harus secara sepihak menyalahkan berbagai komunitas kultur di daerah lain yang meskipun secara implisit masih tetap setia untuk mempertahankan itu, dan malah ada yang eksplisitasnya tak tanggung-tanggung dengan menformalkan itu dalam perundang-undangan yang berlaku. Apakah kita harus menyalahkan mereka sambil dengan congkaknya mengatakan “mereka tidak paham berdemokrasi”. Atau kita tidak perlu sungkan untuk mengatakan bahwa “rakyat Bolmong perlu belajar dari mereka”. 

Relung pemikiran saya yang sudah cukup jauh melangkah tiba-tiba harus disadarkan secara sepihak, ketika saya harus mencatut kembali ungkapan termasyhur yang pernah dituliskan Sartre pada tahun 1946 bahwa “manusia dihukum untuk merdeka”. Ungkapan ini seperti yang dituliskan Goenawan Mohamad (catatan pinggir “Gurun”), mengesankan sesuatu yang tragis dalam kehidupan manusia, dikarenakan isinya yang saling bertentangan “kemerdekaan” adalah “hukuman”. Pada dasarnya manusia tidak bisa menghindar dari sebuah kemerdekaan, sebab lanjut Goenawan, ketika seseorang menyatakan “aku tidak bebas”, ia sebenarnya telah memilih sendiri salah satu dari beberapa kemungkinan. Dan secara pribadi saya masih sepakat bahwa “memilih” adalah “menentukan”, sampai dibatas mana penentuan itu bisa diasumsikan sebagai bentuk “kemerdekaan” atau “kebebasan”.

Realitas sosial kultur masyarakat bolmong nampaknya masih akan melangkah dengan pijakan kultural inklusifisme yang sangat terbuka untuk bersikap “toleran”, meskipun itu harus mengikis habis nilai-nilai fundamentalis ke-mongondow-an yang terpatri dalam setiap citra, harkat dan martabat “intau mongondow” . Mungkin kita tidak perlu marah dengan peringatan yang pernah diucapkan Erich Fromm kira-kira 60 tahun yang lalu, tak kala ia menelaah kelakukan manusia dengan seksama, bahwa manusia pada dasarnya sering kali “takut akan kebebasan”. Dan saya juga mungkin adalah bagian dari telaah itu. Hidup adalah pilihan ketika kita membutuhkan pijakan yang tepat, entah pijakan itu dengan tanpa sadarnya telah membuat “payung kulturalisme kita sobek!!!”.#