Ditulis akhir Maret 2006 pasca pelaksanaan Pilkada
Kabupaten Bolaang Mongondow yang mengantarkan Marlina Moha Siahaan terpilih
kembali sebagai Bupati Bolmong untuk periode kedua.
“Sedia payung sebelum
hujan”. Idiom singkat, padat, jelas dan
sangat cukup untuk memaknai garis-garis kehidupan yang membentang diantara
spektrum “simbolistik” atau bisa jadi “ideologis”. Kenapa harus “simbolistik”,
sebab sering kali idiom ini hanya dijadikan dalih untuk menutupi lubang-lubang
kemunafikan terhadap sesuatu yang katanya “persepsional”. Dan kenapa lagi
dengan “ideologis”, karena spektrum ini menguraikan sesuatu yang lebih dalam,
lebih mengikat, lebih menyentuh sampai ke akar-akar sebuah nurani, yang biasanya
juga mutlak sebagai sesuatu yang prinsipil dan kemudian bisa untuk dijadikan
pegangan.
Jelang
pelaksanaan pilkada yang lalu, secara iseng saya taruhan dengan seorang teman.
Taruhannya disini sudah pasti berhubungan dengan hajatan pilkada Bolmong yang
saat itu tinggal beberapa hari lagi akan memasuki hari H (20 maret). Uniknya
disini sebab pertaruhannya bukan siapa yang akan keluar sebagai pemenang, atau
“you pilih dia, saya ambil sisanya”. Tapi yang dipertaruhkan disini lebih
menyangkut sesuatu yang lebih fenomenal daripada semua tahapan pelaksanan
pilkada, yang sangat mungkin mengkarakterisasi sebuah sistem nilai-nilai budaya
yang begitu terbentuknya dalam sistem sosial masyarakat. Dan kami sepakat untuk
mempertaruhkan yang namanya “toleransi”, dalam perspektif lokalitas kultur
orang Bolmong. Substansinya ialah bagaimana orang bolmong mempersepsikan
kemongondowannya mereka, dan sampai dimana pemaknaan maupun pemahaman rakyat
Bolmong terhadap dikotomi dua hal yang diwacanakan selama ini antara “asli Bomong”
dan yang “bukan asli Bolmong”. Saya, tidak perlu diragukan lagi orang asli
bolmong, sedangkan teman saya, ngak harus ribut karena nenek, kakek, bapak dan
ibunya pun orang bolmong, sehingga tidak perlu ada yang namanya keberatan
disebabkan persepsi kami jelas cukup untuk “hampir” sama. Dia meminta saya
memilih antara dua opsi yang ada, “sangat toleran” atau “sangat tidak toleran”.
Dan tentu saja berangkat dari klan kultural yang seringkali memaknai persepsi
saya secara pribadi, dengan sedikit menantang saya memilih “sangat tidak
toleran”.
Hal
yang pasti setelah itu adalah “saya kalah”. Kekalahan adalah sesuatu yang
wajar, meskipun itu cukup untuk menyakitkan. Apa yang digembar-gemborkan rakyat
bolmong selama ini pada kenyataannya masih terlalu jauh untuk dijangkau. Ranah
pemikiran untuk mempersepsikan ke-mongondowannya kita masih terlihat
menari-nari dalam ruang hampa yang tak bertepi, sambil coba mencari-cari
sesuatu yang tepat untuk dijadikan pijakan. Saya kemudian berpikir, apakah ini
memang gejala sebuah demokrasi inklusif, yang sudah sangat terbuka dengan
lebarnya sampai harus menutup diri dari nilai-nilai yang mengkultur dalam
sistem sosial “intau mongondow”. Atau gejala demokrasi ekslusif yang coba
dihujamkan secara paksa, untuk mengelabuhi hakikat sebuah sistem kultural yang
tidak akan pernah bosannya untuk mengatakan “inilah demokrasi”. Mungkinkah
masyarakat kita masih terkungkung dalam fase yang disebut Jean Paul Sartre
sebagai sebuah “keyakinan buruk”?. Disatu sisi kita berketetapan hati
untuk “tidak toleran” terhadap nilai budaya yang tertanam untuk kemudian bisa
diteguhkan atau setidaknya masih bisa diperjuangkan, namun di ujung sisi yang
lainnya kita sepertinya tidak bisa menafikan kemunafikan untuk bersikap
“toleran” terhadap segala sesuatu, entah itu harus dengan sebuah bentuk
kerelaan untuk kemudian mengorbankan harga diri sebagai “intau mongondow”. Atau
seperti yang dikatakan oleh Isaiah Berlin bahwa “nilai-nilai bisa dengan
mudahnya berbenturan dalam dada seorang individu….., dan jika itu terjadi, tak
berarti sebagian benar dan sebagian lagi salah”. Apakah nilai-nilai
kemongondowan ini masih sempat untuk berbenturan dalam dada orang mongondow
ketika ia diperhadapkan dengan sebuah pilihan, dan jika kemudian itu terjadi,
bagian mana yang benar dan dalam persepsi mana ketika itu salah. Akan sangat
disayangkan ketika kita harus memvonis diri sendiri untuk mempersepsikan bahwa
nilai-nilai yang berbenturan itu semuanya benar atau semuanya salah, tidak
membenarkan yang “salah” dan menyalahkan yang “benar”, atau lebih parah lagi
untuk tidak malu-malu “berpura-pura” dengan semua itu.
Memang
demokrasi adalah kebebasan, apapun yang akan kita mengerti dan pahami sebagai
“bebas”, yang didalamnya terkandung perbedaan yang sekali lagi mau tak mau
harus dibebaskan, untuk menapaki tangga kemerdekaan berdemokrasi yang hakiki.
Tapi apakah kemudian salah ketika dalam memahami sebuah “demokrasi”, setidaknya
kita masih bisa bergandengan tangan atau malah berpelukan mesra dengan
nilai-nilai budaya yang masih bisa mencitrakan harkat dan martabat
kemongondowannya kita. Apakah kita harus secara sepihak menyalahkan berbagai
komunitas kultur di daerah lain yang meskipun secara implisit masih tetap setia
untuk mempertahankan itu, dan malah ada yang eksplisitasnya tak tanggung-tanggung
dengan menformalkan itu dalam perundang-undangan yang berlaku. Apakah kita
harus menyalahkan mereka sambil dengan congkaknya mengatakan “mereka tidak
paham berdemokrasi”. Atau kita tidak perlu sungkan untuk mengatakan bahwa
“rakyat Bolmong perlu belajar dari mereka”.
Relung
pemikiran saya yang sudah cukup jauh melangkah tiba-tiba harus disadarkan
secara sepihak, ketika saya harus mencatut kembali ungkapan termasyhur yang
pernah dituliskan Sartre pada tahun 1946 bahwa “manusia dihukum untuk merdeka”.
Ungkapan ini seperti yang dituliskan Goenawan Mohamad (catatan pinggir
“Gurun”), mengesankan sesuatu yang tragis dalam kehidupan manusia, dikarenakan
isinya yang saling bertentangan “kemerdekaan” adalah “hukuman”. Pada dasarnya
manusia tidak bisa menghindar dari sebuah kemerdekaan, sebab lanjut Goenawan,
ketika seseorang menyatakan “aku tidak bebas”, ia sebenarnya telah memilih
sendiri salah satu dari beberapa kemungkinan. Dan secara pribadi saya masih
sepakat bahwa “memilih” adalah “menentukan”, sampai dibatas mana penentuan itu
bisa diasumsikan sebagai bentuk “kemerdekaan” atau “kebebasan”.
Realitas
sosial kultur masyarakat bolmong nampaknya masih akan melangkah dengan pijakan
kultural inklusifisme yang sangat terbuka untuk bersikap “toleran”, meskipun
itu harus mengikis habis nilai-nilai fundamentalis ke-mongondow-an yang
terpatri dalam setiap citra, harkat dan martabat “intau mongondow” . Mungkin
kita tidak perlu marah dengan peringatan yang pernah diucapkan Erich Fromm
kira-kira 60 tahun yang lalu, tak kala ia menelaah kelakukan manusia dengan
seksama, bahwa manusia pada dasarnya sering kali “takut akan kebebasan”. Dan
saya juga mungkin adalah bagian dari telaah itu. Hidup adalah pilihan ketika
kita membutuhkan pijakan yang tepat, entah pijakan itu dengan tanpa sadarnya
telah membuat “payung kulturalisme kita sobek!!!”.#