(tanggapan untuk Katamsi Ginano)
Pentingkah saya? Lebih gila lagi. Tentu tidak. Penting bagi
keluarga saja rasanya sudah syukur. Tak merasa penting lebih nyaman untuk saya.
Orang-orang yang mengenal saya mafhum dengan itu. Yang sempat kerja
bersama-sama khatam siapa saya.
Seorang tak penting. Dan tak punya cerita “penting” hal luar biasa hebat. Hidup
bagi saya toh bukan tentang
“penting”. Apalagi “penting congkak.” Menjadi
“baik” pun punya arti tersendiri.
Signifikansi dan kontribusi untuk
mongondow? Lebih parah lagi. Saya tak miliki roman tentang itu. Saya tak punya stok cerita kepahlawanan tentang kontribusi
yang bisa disombongkan se-mau hati. Disemburkan ke muka publik sembari telunjuk
menunjuk jidat orang banyak, congkak memaki “saya
pemberi kontribusi besar bagi Mongondow. Pahlawan Mongondow. Orang Mongondow
wajib membingkai saya laksana pahlawan.” Meski roman itu omong besar seorang “pembual.” Sangat jelas saya tak berani. Takutnya!
Begitu foto saya dibingkai indah dan dipajang
bagai pahlawan Mongondow. Setiap orang lewat akan mampir. Bukan
terpesona. Bangga akan roman kepahlawanan itu. Tapi mengumpat “dasar mulut
besar”, cuihhh!
Meski tak punya cerita
kepahlawanan, Indah rasanya kontribusi tak diumbar. Tak meng-klaim. Biarkan vonis
mutlak milik orang banyak. Sementara saya yang tak punya apa-apa ini, lebih
memilih bekerja dari pada “omong besar.”
Perkara saya mengenal Djelantik Mokodompit, dan terlibat dalam kegiatan Rasky
Mokodompit. Cukup tegas; itu bukan urusan Katamsi. Hantu blau gila dari mana bisa mencampuri perkawanan saya? Untuk liur dan lidah, saya
tak lahir untuk itu. Semua yang mengenal saya, tentu tahu. Saya belum mampu
laksana “anjing penjaga” yang luar biasa brutalnya mengonggong ketika tuan-nya
diganggu. Sama halnya, belum mampu menjadi PNS (CPNS) baru yang bekerja kurang
lebih dua tahun, kemudian dipromosikan sebagai salah satu Kepala Unit Pelaksana
Teknis Dinas. Dan saya tak mempersoalkan itu. Elit pimpinan tentu punya “mata” sendiri.
Ketiga, penulis kah saya? Terpikir siapa saja takut! Apalagi
penulis. Jelas saya, bukan penulis. Tak pernah terlintas sedikit pun jadi
penulis. Bercita-cita pun tidak. Sia-sia belaka jika untuk tulis menulis mesti
meraih gelar hingga S3. Siang malam mata melek
untuk mengasah kemampuan. Tapi saya penasaran. Ingin jumpa “murid dari murid dari murid” Katamsi. Sekadar
tegur sapa untuk ketidakmampuan saya, atas kuasa mereka. Untuk berkaca di ujung
pensil! Saya balik menyarakan Katamsi “bakaca
di panta blanga.” Berdoa-lah anda masih bernafas secara utuh 15-20 tahun ke
depan—sebagaimana doa saya untuk setiap kurang usia. Tulang belulang masih
kuat. Keriput tak menggeroyoti tubuh. Tersebab jika anda punya kuasa atas
kepentingan publik, bisa jadi saya akan mengkritik anda se-sadis dan se-brutal
arus hati. Mungkin hingga kata tak terucap. Jantung henti detak.
Keempat,
kalau A R Thomas, telah membuat Katamsi bak
cacing kepanasan. Thomas, tentu berhasil
menempeleng kesombongan “naga culas” ini. Se-sekali si “naga culas” ini memang
perlu ditempeleng, agar batok kepala penuh
congkak yang mulai membesar membelah gunung, redam oleh sakit hati orang-orang
yang tersakiti. Mereka yang direndahkan, diremehkan, dihina se-nista gila,
pasti antri mengular ambil bagian. Sedang ancaman fisik untuk membuat saya
mengunyah dengkul dan sikut. Setelah itu memamah gigi sendiri. Tak sabar rasa hati
menanti saat itu. Pun mengempiskan batok kepala saya cukup dengan satu
kelingking. Sebenar-benarnya satu kelingking. Hebat benar! Jangan-jangan si ceking sombong ini ganti rupa bagai
Tuhan. Atau lebih kuasa dari Tuhan. Tapi pantaskah?
Ancaman fisik (tafsir Katamsi) “kalu baku muka kita so tumbu.” Saya
masih menyimpan percakapan tulis itu. “Kalo
ada di muka qt so pangge baku pukul ini noh.” Itu yang saya tulis. Pun itu
atas derasnya caci maki Katamsi ke jidat saya, yang teramat sangat “kasar.” Dan
untuk itu, kata maaf telah saya
sampaikan.Tak perlu pelintiran sesat. Itu hanya dilakukan bebal ke-sasar.
Bupati Salihi Mokodongan beserta
istri tentu membaca utuh apa yang dituliskan A R Thomas. Seluruh rakyat Bolmong
pun tak buta hati untuk lihat. Siapa menghina? Siapa tidak. Jika atas nama
Thomas, tudingan saya mengejar politik dagang “tawar-menawar” untuk kepentingan
pribadi. Sesal saya, kenapa tak dari dulu!
Kelima, prakiraan cuaca suhu politik Bolmong dan Kota Kotamobagu. Khususnya
jelang pilwako 2013. Tegasnya; saya tak tahu, “kita bukan politisi kasiaaannnggg.” Tapi main catur tak hanya satu
tepukan dua. Kurang menarik. Detailnya, tanyakan langsung ke
tokoh-tokoh politik yang terlibat. Kecuali niat jadi pengamat politik dengan segumpal duga “omong
besar.” Silahkan!
Peringatan lain untuk sukses saya
menciptakan musuh dimana-mana. Bukankah itu seperti meludah menunjuk langit sambil
telunjuk menuding hidung sendiri. Siapa pun terpilih nantinya dalam pilwako Kota
Kotamobagu periode kedua, meski bukan Djelantik Mokodompit, jelas saya tak
harus pikir. Catat besar-besar! Saya tak peduli! Tak pernah takut! Termasuk
menanti kesabaran revolusioner bersama “gajah congkak.”
Simpulnya, sebelum terantuk sekian
kali. Meski Katamsi, lampau pernah berbagi; tak perlu permasalahkan siapa sang “ghost writer.” Debat saja substansi-nya.
Saya menyarankan Katamsi membaca kembali tulisan A R Thomas. Baca cermat dan
teliti. Kecanggihan teknologi bisa dengan mudah menunjuk muka orang. Tapi bukan
berarti konseptornya orang yang sama. Tak perlu membawa tulisan itu dianalisa
penulis terbaik negeri ini, sekelas penyair besar Goenawan Mohamad. Bisa jadi sang konseptor
utama—sebenar-benarnya—artikel itu sedang menertawakan Katamsi.
Jangan bayangkan wajah saya.
Bayangkan saja wajah-wajah kawan lama anda. Runut satu per-satu. Mungkin dia penulis dan
se-level. Karena saya, sangat jelas. Bukan siapa-siapa. Tak perlu dianggap atau
ditanggapi. Terkecuali yang menanggapi adalah idiot pandir bin congkak, yang haqul
yakin surga kebenaran berada tepat di telapak kaki. Lainnya? Nista.#
Tidak ada komentar:
Posting Komentar