Sabtu, 26 Mei 2012

Terantuk Bongkahan Congkak! (2)


(tanggapan untuk Katamsi Ginano)


Pentingkah saya? Lebih gila lagi. Tentu tidak. Penting bagi keluarga saja rasanya sudah syukur. Tak merasa penting lebih nyaman untuk saya. Orang-orang yang mengenal saya mafhum dengan itu. Yang sempat kerja bersama-sama khatam siapa saya. Seorang tak penting. Dan tak punya cerita “penting” hal luar biasa hebat. Hidup bagi saya toh bukan tentang “penting”. Apalagi “penting congkak.”  Menjadi “baik” pun punya arti tersendiri.

Signifikansi dan kontribusi untuk mongondow? Lebih parah lagi. Saya tak miliki roman tentang itu. Saya tak punya stok cerita kepahlawanan tentang kontribusi yang bisa disombongkan se-mau hati. Disemburkan ke muka publik sembari telunjuk menunjuk jidat orang banyak,  congkak  memaki “saya pemberi kontribusi besar bagi Mongondow. Pahlawan Mongondow. Orang Mongondow wajib membingkai saya laksana pahlawan. Meski  roman itu omong besar seorang “pembual.”  Sangat jelas saya tak berani. Takutnya! Begitu foto saya dibingkai indah dan dipajang  bagai pahlawan Mongondow. Setiap orang lewat akan mampir. Bukan terpesona. Bangga akan roman kepahlawanan itu. Tapi mengumpat “dasar  mulut  besar”, cuihhh!


Meski tak punya cerita kepahlawanan, Indah rasanya kontribusi tak diumbar. Tak meng-klaim. Biarkan vonis mutlak milik orang banyak. Sementara saya yang tak punya apa-apa ini, lebih memilih bekerja dari pada “omong besar.”  Perkara saya mengenal Djelantik Mokodompit, dan terlibat dalam kegiatan Rasky Mokodompit. Cukup tegas; itu bukan urusan Katamsi. Hantu blau gila dari mana bisa mencampuri  perkawanan saya? Untuk liur dan lidah, saya tak lahir untuk itu. Semua yang mengenal saya, tentu tahu. Saya belum mampu laksana “anjing penjaga” yang luar biasa brutalnya mengonggong ketika tuan-nya diganggu. Sama halnya, belum mampu menjadi PNS (CPNS) baru yang bekerja kurang lebih dua tahun, kemudian dipromosikan sebagai salah satu Kepala Unit Pelaksana Teknis Dinas. Dan saya tak mempersoalkan itu. Elit pimpinan tentu punya “mata” sendiri.

Ketiga, penulis kah saya? Terpikir siapa saja takut! Apalagi penulis. Jelas saya, bukan penulis. Tak pernah terlintas sedikit pun jadi penulis. Bercita-cita pun tidak. Sia-sia belaka jika untuk tulis menulis mesti meraih gelar hingga S3. Siang malam mata melek untuk mengasah kemampuan. Tapi saya penasaran. Ingin jumpa “murid dari murid dari murid” Katamsi. Sekadar tegur sapa untuk ketidakmampuan saya, atas kuasa mereka. Untuk berkaca di ujung pensil! Saya balik menyarakan Katamsi “bakaca di panta blanga.” Berdoa-lah anda masih bernafas secara utuh 15-20 tahun ke depan—sebagaimana doa saya untuk setiap kurang usia. Tulang belulang masih kuat. Keriput tak menggeroyoti tubuh. Tersebab jika anda punya kuasa atas kepentingan publik, bisa jadi saya akan mengkritik anda se-sadis dan se-brutal arus hati. Mungkin hingga kata tak terucap. Jantung henti detak. 


Keempat, kalau A R Thomas, telah membuat Katamsi bak cacing kepanasan.  Thomas, tentu berhasil menempeleng kesombongan “naga culas” ini. Se-sekali si “naga culas” ini memang perlu ditempeleng,  agar batok kepala penuh congkak yang mulai membesar membelah gunung, redam oleh sakit hati orang-orang yang tersakiti. Mereka yang direndahkan, diremehkan, dihina se-nista gila, pasti antri mengular ambil bagian. Sedang ancaman fisik untuk membuat saya mengunyah dengkul dan sikut. Setelah itu memamah gigi sendiri. Tak sabar rasa hati menanti saat itu. Pun mengempiskan batok kepala saya cukup dengan satu kelingking. Sebenar-benarnya satu kelingking. Hebat benar! Jangan-jangan si ceking sombong ini ganti rupa bagai Tuhan. Atau lebih kuasa dari Tuhan. Tapi pantaskah?



Ancaman fisik (tafsir Katamsi) “kalu baku muka kita so tumbu.” Saya masih menyimpan percakapan tulis itu. “Kalo ada di muka qt so pangge baku pukul ini noh.” Itu yang saya tulis. Pun itu atas derasnya caci maki Katamsi ke jidat saya, yang teramat sangat “kasar.” Dan untuk itu, kata maaf  telah saya sampaikan.Tak perlu pelintiran sesat. Itu hanya dilakukan bebal ke-sasar.

Bupati Salihi Mokodongan beserta istri tentu membaca utuh apa yang dituliskan A R Thomas. Seluruh rakyat Bolmong pun tak buta hati untuk lihat. Siapa menghina? Siapa tidak. Jika atas nama Thomas, tudingan saya mengejar politik dagang “tawar-menawar” untuk kepentingan pribadi. Sesal saya, kenapa tak dari dulu!


Kelima, prakiraan cuaca suhu politik Bolmong dan Kota Kotamobagu. Khususnya jelang pilwako 2013. Tegasnya; saya tak tahu, “kita bukan politisi kasiaaannnggg.” Tapi main catur tak hanya satu tepukan dua.  Kurang  menarik. Detailnya, tanyakan langsung ke tokoh-tokoh politik yang terlibat. Kecuali niat  jadi pengamat politik dengan segumpal duga “omong besar.”  Silahkan!


Peringatan lain untuk sukses saya menciptakan musuh dimana-mana. Bukankah itu seperti meludah menunjuk langit sambil telunjuk menuding hidung sendiri. Siapa pun terpilih nantinya dalam pilwako Kota Kotamobagu periode kedua, meski bukan Djelantik Mokodompit, jelas saya tak harus pikir. Catat besar-besar! Saya tak peduli! Tak pernah takut! Termasuk menanti kesabaran revolusioner bersama “gajah congkak.”


Simpulnya, sebelum terantuk sekian kali. Meski Katamsi, lampau pernah berbagi; tak perlu permasalahkan siapa sang “ghost writer.” Debat saja substansi-nya. Saya menyarankan Katamsi membaca kembali tulisan A R Thomas. Baca cermat dan teliti. Kecanggihan teknologi bisa dengan mudah menunjuk muka orang. Tapi bukan berarti konseptornya orang yang sama. Tak perlu membawa tulisan itu dianalisa penulis terbaik negeri ini, sekelas penyair besar  Goenawan Mohamad. Bisa jadi sang konseptor utama—sebenar-benarnya—artikel itu sedang menertawakan Katamsi.


Jangan bayangkan wajah saya. Bayangkan saja wajah-wajah kawan lama anda.  Runut satu per-satu. Mungkin dia penulis dan se-level. Karena saya, sangat jelas. Bukan siapa-siapa. Tak perlu dianggap atau ditanggapi. Terkecuali yang menanggapi adalah idiot pandir bin congkak, yang haqul yakin surga kebenaran berada tepat di telapak kaki. Lainnya? Nista.#

Tidak ada komentar:

Posting Komentar