Sabtu, 26 Mei 2012

Terantuk Bongkahan Congkak (1)


(tanggapan untuk Katamsi Ginano)

Cukup lama tak menulis ternyata membawa berkah tersendiri bagi saya. Terakhir menulis kala mengkritik Bupati Lapadengan lewat “M Untuk Bupati Lapadengan” yang dipublis Harian Radar Totabuan se-tahun lalu. Berkah itu pun bagi saya mau tak mau harus disyukuri. Berkah pertama, jari-jari telunjuk yang menuding  jidat saya kala ada artikel yang dilansir media cetak Bolmong, dan ruh saya—menurut orang—gentanyangan dalam artikel tersebut. Berkah kedua, makian pedas Katamsi Ginano yang langsung menyemburkan ludahnya ke muka saya. Mendapat caci maki dari Katamsi, bagi saya adalah kerinduan tersendiri. Sebab, sampai detik ini pun menurut saya, belum ada yang mampu, pantas dan layak menggantikan posisi Katamsi sebagai “empuh-nya makian.” Dia belum tergantikan. Dan memang telah cukup lama saya tak dimaki. Apalagi dari seorang Katamsi Ginano, yang “makiannya” terkenal bukan hanya se jagat Bolmong. Bahkan se-antero bumi.

Sebenarnya saya, enggan menanggapi. Sebab berdebat dengan Katamsi adalah omong besar dan kesia-siaan belaka. Percayalah, mengalahkan si ceking jelek ini bukan perkara mudah.  Baru saja ber-argumentasi, Katamsi, telah siap dengan seribu argumentasi. Lengkap dengan sejuta makian yang memerahkan kuping. Tapi karena nama saya disebut dalam “Motif Culas dan Batas Api (1-3, RT, 22-24/5), yang hampir keseluruhan isinya makian  tendensius bagi saya. Tak ada salahnya ditanggapi. Tersebab  si ceking jelek ini telah memaki secara terbuka, saya pun meminta space yang sama di Harian ini, meski sekadar membetulkan tudingan yang tumpah ruah kemana-mana.

Permintaan itu pun diikuti penegasan; saya tak akan melibatkan teman-teman di Harian ini. Ini urusan saya dan Katamsi. Perkenankan saja saya mengikuti Katamsi “kata-kata dibalas kata-kata.” Tak perlu saya, membawa-bawa dewan pers. Tak mesti saya, mengeluarkan ancaman pidana dan perdata. Atau sebagaimana yang ia katakan langsung “jang ngana bawa ini ka polisi.” Konteks kerugian yang saya alami tentu lebih parah dari Katamsi. Caci maki yang saya telan lebih sadis dan brutal. Sementara kritik A R Thomas terhadap Katamsi, masih dalam kewajaran. Terlebih bagi saya, ancam-mengancam wujud lain dari “banci pengecut” yang sok jagoan se-semesta raya. Kebetulan saya bukan “banci pengecut”. Dan saya akan menghadapi itu dengan “kata-kata.”

Itu pula jawaban saya untuk keluarga, kerabat dekat dan para sahabat. Begitu seri 2 dan 3 tulisan itu tersaji ke ruang publik, telepon, SMS, BBM menderas masuk ke telepon genggam saya. Isinya terpahami: makian, hujatan, sumpah serapah untuk Katamsi. Tak ingin terbawa arus, saya menjawab singkat “ini urusan saya dan Katamsi, kata-kata dibalas kata-kata. Kita deng dia kwa cuma suka baku gara.” 

Pertama, ikhwal  tulisan  Metamorfosis  Katamsi ke Wujud Makin Lucu (1/2, RT, 14-15/5)”, yang ditulis A R Thomas. Dibaca secara utuh, tulisan itu jelas mempertanyakan sekaligus membandingkan dua tulisan Katamsi di blog pribadinya.  Sempat dipublis beberapa media cetak Bolmong. Substansinya bagi saya, terang benderang. Ada dua hal kontradiktif menurut analisa penulisnya. A R Thomas tentu ingin memastikan pintu mana sebenarnya Katamsi lalui. Apa lewat pintu depan rumah Salihi, sambil tangan terbuka memeluk. Atau malah mengendap lewat pintu belakang dengan daya dobrak kesusilaan yang teramat biadab. 

Tak lama menunggu, Rabu pagi (16/5), Harian Radar Totabuan menurunkan tulisan  Katamsi--O, Cuma Proklamasi Orang Bermartabat Receh 1/2 (16-17/5), menanggapi artikel A R Thomas. Di artikel itu pun, Katamsi sudah menjawab apa yang ditanyakan Thomas, bahwa “kesetiaan saya bukan pada orang, tetapi pada ide dan visi”. Di titik ini, substansi perdebatan bagi saya, sudah terpenuhi. Lainya, tentu biar publik yang menilai. Kalau konteks kerugiannya dipolemikkan. Pernah terpikirkah bagaimana perasaan Salihi dan istri. Linda Lahamesang tentu punya perasaan. Orang-orang  yang selama ini dikritik Katamsi secara pedas dan brutal tentu mirip Linda. Masih punya “perasaan.” Bagaimana dengan keluarga mereka. Berapa besar kerugian. Berapa banyak sakit hati. Bisakah Katamsi sedikit saja menyelami rasa itu. Kalau kritikan memang mengarah ke pejabat publik oleh tanggung jawab yang dipikul dan mereka yang terlibat didalamnya. Nihil makna-kah jika itu disampaiakan lebih adab. Cibiran akan mendapuk wajah Katamsi, jika kuasa mengkritik di alam semesta ini mutlak milik Katamsi, Katamsi dan Katamsi. Begitu dikritik balik “ohh tidak bisa.” Setan belang dari mana yang hanya memikirkan rasa sendiri?

Kedua, siapa saya? Pentingkah saya? Signifikansi untuk kemaslahatan Mongondow? Kontribusi apa? Katamsi benar. Bahkan 1000 persen benar. Jelas saya bukan siapa-siapa? Berpikir tentang siapa saya saja, tak pernah niat dan berani. Apalagi disanding seorang Katamsi Ginano, tambah telak. Prestasi Katamsi dalam “caci maki” luar biasa hebat. Tak ada duanya “paling hebat se-dunia.” Terutama ketika lidah dan liurnya mulai muncrat kemana-mana, dan omongannya merayap menuju puncak gunung tertinggi dunia. Tak peduli orang-orang sekitar mulai mual, muntah oleh omong besar itu. Saya tak mampu menuding puncak. Saya lebih memilih hidup dengan kebukansiapa-an. Itu lebih nikmat. Tanpa harus membuat mulut orang monyong di balik punggung, menuding ubun-ubun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar