(tanggapan untuk Katamsi Ginano)
Cukup lama tak menulis ternyata membawa berkah tersendiri bagi
saya. Terakhir menulis kala mengkritik Bupati Lapadengan lewat “M Untuk Bupati Lapadengan” yang dipublis
Harian Radar Totabuan se-tahun lalu. Berkah itu pun bagi saya mau tak mau harus
disyukuri. Berkah pertama, jari-jari
telunjuk yang menuding jidat saya kala
ada artikel yang dilansir media cetak Bolmong, dan ruh saya—menurut
orang—gentanyangan dalam artikel tersebut. Berkah kedua, makian pedas Katamsi Ginano yang langsung menyemburkan
ludahnya ke muka saya. Mendapat caci maki dari Katamsi, bagi saya adalah
kerinduan tersendiri. Sebab, sampai detik ini pun menurut saya, belum ada yang
mampu, pantas dan layak menggantikan posisi Katamsi sebagai “empuh-nya makian.”
Dia belum tergantikan. Dan memang telah cukup lama saya tak dimaki. Apalagi
dari seorang Katamsi Ginano, yang “makiannya” terkenal bukan hanya se jagat Bolmong.
Bahkan se-antero bumi.
Sebenarnya saya, enggan
menanggapi. Sebab berdebat dengan Katamsi adalah omong besar dan kesia-siaan
belaka. Percayalah, mengalahkan si ceking
jelek ini bukan perkara mudah. Baru
saja ber-argumentasi, Katamsi, telah siap dengan seribu argumentasi. Lengkap
dengan sejuta makian yang memerahkan kuping. Tapi karena nama saya disebut
dalam “Motif Culas dan Batas Api (1-3,
RT, 22-24/5), yang hampir keseluruhan isinya makian tendensius bagi saya. Tak ada salahnya ditanggapi.
Tersebab si ceking jelek ini telah memaki secara terbuka, saya pun meminta space yang sama di Harian ini, meski sekadar
membetulkan tudingan yang tumpah ruah kemana-mana.
Permintaan itu pun diikuti
penegasan; saya tak akan melibatkan teman-teman di Harian ini. Ini urusan saya
dan Katamsi. Perkenankan saja saya mengikuti Katamsi “kata-kata dibalas
kata-kata.” Tak perlu saya, membawa-bawa dewan pers. Tak mesti saya,
mengeluarkan ancaman pidana dan perdata. Atau sebagaimana yang ia katakan
langsung “jang ngana bawa ini ka polisi.”
Konteks kerugian yang saya alami tentu lebih parah dari Katamsi. Caci maki yang
saya telan lebih sadis dan brutal. Sementara kritik A R Thomas terhadap Katamsi,
masih dalam kewajaran. Terlebih bagi saya, ancam-mengancam wujud lain dari
“banci pengecut” yang sok jagoan
se-semesta raya. Kebetulan saya bukan “banci pengecut”. Dan saya akan
menghadapi itu dengan “kata-kata.”
Itu pula jawaban saya untuk
keluarga, kerabat dekat dan para sahabat. Begitu seri 2 dan 3 tulisan itu
tersaji ke ruang publik, telepon, SMS, BBM menderas masuk ke telepon genggam
saya. Isinya terpahami: makian, hujatan, sumpah serapah untuk Katamsi. Tak
ingin terbawa arus, saya menjawab singkat “ini
urusan saya dan Katamsi, kata-kata dibalas kata-kata. Kita deng dia kwa cuma suka
baku gara.”
Pertama, ikhwal tulisan “Metamorfosis
Katamsi ke Wujud Makin Lucu (1/2, RT,
14-15/5)”, yang ditulis A R Thomas. Dibaca secara utuh, tulisan itu jelas
mempertanyakan sekaligus membandingkan dua tulisan Katamsi di blog pribadinya. Sempat dipublis beberapa media cetak Bolmong. Substansinya
bagi saya, terang benderang. Ada dua hal kontradiktif menurut analisa penulisnya.
A R Thomas tentu ingin memastikan pintu mana sebenarnya Katamsi lalui. Apa
lewat pintu depan rumah Salihi, sambil tangan terbuka memeluk. Atau malah
mengendap lewat pintu belakang dengan daya dobrak kesusilaan yang teramat
biadab.
Tak lama menunggu, Rabu pagi
(16/5), Harian Radar Totabuan menurunkan tulisan Katamsi--O,
Cuma Proklamasi Orang Bermartabat Receh 1/2 (16-17/5), menanggapi artikel A
R Thomas. Di artikel itu pun, Katamsi sudah menjawab apa yang ditanyakan Thomas,
bahwa “kesetiaan saya bukan pada orang,
tetapi pada ide dan visi”.
Di titik ini, substansi perdebatan bagi saya, sudah terpenuhi. Lainya,
tentu biar publik yang menilai. Kalau konteks kerugiannya dipolemikkan. Pernah
terpikirkah bagaimana perasaan Salihi dan istri. Linda Lahamesang tentu punya
perasaan. Orang-orang yang selama ini
dikritik Katamsi secara pedas dan brutal tentu mirip Linda. Masih punya
“perasaan.” Bagaimana dengan keluarga mereka. Berapa besar kerugian. Berapa
banyak sakit hati. Bisakah Katamsi sedikit saja menyelami rasa itu. Kalau
kritikan memang mengarah ke pejabat publik oleh tanggung jawab yang dipikul dan
mereka yang terlibat didalamnya. Nihil makna-kah jika itu disampaiakan lebih
adab. Cibiran akan mendapuk wajah Katamsi, jika kuasa mengkritik di alam
semesta ini mutlak milik Katamsi, Katamsi dan Katamsi. Begitu dikritik balik
“ohh tidak bisa.” Setan belang dari
mana yang hanya memikirkan rasa sendiri?
Kedua, siapa saya? Pentingkah saya? Signifikansi untuk kemaslahatan
Mongondow? Kontribusi apa? Katamsi benar. Bahkan 1000 persen benar. Jelas saya
bukan siapa-siapa? Berpikir tentang siapa saya saja, tak pernah niat dan
berani. Apalagi disanding seorang Katamsi Ginano, tambah telak. Prestasi Katamsi
dalam “caci maki” luar biasa hebat. Tak ada duanya “paling hebat se-dunia.”
Terutama ketika lidah dan liurnya mulai muncrat kemana-mana, dan omongannya merayap
menuju puncak gunung tertinggi dunia. Tak peduli orang-orang sekitar mulai
mual, muntah oleh omong besar itu. Saya tak mampu menuding puncak. Saya lebih
memilih hidup dengan kebukansiapa-an. Itu lebih nikmat. Tanpa harus membuat
mulut orang monyong di balik punggung,
menuding ubun-ubun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar