Sabtu, 27 Oktober 2007

Eksistensi Pemuda dan Paradigma Perubahan (Refleksi Sumpah Pemuda)



Ditulis untuk memperingati Hari Sumpah Pemuda tahun 2007. Pertama kali dipublikasikan oleh Harian Manado Post sekitar awal November 2007. Dipublikasikan kedua kalinya oleh Harian Radar Totabuan (28 Oktober 2009) untuk memperingati Hari Sumpah Pemuda tahun 2009.

“Berikanlah aku seratus pemuda yang sanggup hidup jujur dan menderita, maka akan kurombak wajah Italia” (Ignazio Silone).
“Kalau pada saya diberikan seribu orang tua, saya hanya dapat memindahkan gunung semeru, tapi kalau sepuluh pemuda diberikan kepada saya, maka seluruh dunia dapat saya goncangkan” (Soekarno).

Baik Silone maupun Bung Karno tentu tidak dalam kesadaran yang kurang ketika mengucapkan itu. Artikulasi yang dikemukakan menyiratkan sebuah magnet patriotisme dan nasionalisme yang sangat kental untuk dijadikan suatu bentuk keyakinan mendasar, bahwa fundamentalisme kepemudaan akan mampu menghadirkan titik balik peradaban suatu bangsa. Mereka berdua sama-sama berangkat dari asumsi kodrati yang kemudian menjadi kepercayaan, bahwa dengan pemuda, mereka sanggup melakukan apa saja, tak terkecuali untuk mengobati kemurungan wajah sebuah bangsa yang lagi sakit, ataupun dengan antusiasme yang tinggi untuk mengoncangkan dunia. Dan memang pemuda adalah ujung tonggak tegaknya sebuah kedaulatan, harga diri, maupun harkat dan martabat suatu bangsa. Eksistensi pemuda dalam bangunan peradaban, dihadirkan dalam sosok yang penuh semangat, progresif, inovatif, memiliki sensitivitas sosial yang tinggi, peka terhadap perubahan dan menjunjung tinggi nilai-nilai patriotisme dan nasionalisme. Romantisme sejarah pun tak pelak membuktikan itu, pergerakan pemuda 1908, sumpah pemuda 1928, pemuda dan mahasiswa1966, reformasi 1998 adalah sebagian dari catatan emas yang menokohkan pemuda sebagai tongak utama pergerakan dan pembaruan. 

Dalam perhelatan historisitas yang cukup panjang, aspek kepemudaan secara kontekstual diidentikkan dengan pergerakan maupun perubahan. Bahwa pemuda dilahirkan oleh zaman untuk meletakkan dasar-dasar pergerakan menuju sebuah titik perubahan dalam berbagai ruang lingkup kehidupan, baik ruang lingkup sosial, budaya, ekonomi, politik, hukum dan sebagainya, yang kesemuanya sangat menentukan arah dan gerak langkah pembangunan.

Romantisme Globalisasi

Posisi-posisi strategis dan dominan dalam lingkup pelaksanaan pembangunan inilah yang mendorong aspek kepemudaan rentan oleh sederet interpretasi yang mengiringinya. Baik itu interpretasi dari sisi patriotisme dan nasionalisme, ataupun ketika aspek kepemudaan ini diperhadapkan dengan arus globalisasi, sebagaimana yang terwacanakan saat ini. Globalisasi sebagai turunan dari kapitalisme memang teramat sulit untuk dihindari. Kapitalisme dengan paham-paham kapitalisnya adalah sebuah realitas yang tumbuh subur dan menjamur dalam negara-negara berkembang, tak terkecuali Indonesia yang secara eksplisit menampakkan ambivalensi terhadap dua “isme” terbesar dalam peradaban dunia, dengan menyerap kapitalisme setengah-setengah dan sosialisme yang mati suri. Tren globalisasi oleh berbagai kalangan dipandang sebagai salah satu penyebab runtuhnya nilai-nilai patriotisme dan nasionalisme pemuda. Bahwa globalisasi telah menciptakan zaman dimana gaya hidup praktis dan pragmatis seakan telah menjadi “isme” baru dikalangan pemuda dengan mengibarkan bendera materialisme, konsumtivisme dan hedonisme, yang dengan sendirinya melahirkan berbagai pemaknaan yang sering kali memojokkan peran pemuda dalam sudut patriotisme dan nasionalisme yang mengkhawatirkan. Pemuda kemudian diidentikkan sebagai golongan yang tahunya hidup hura-hura dalam balutan materialisme dan konsumtivisme yang dipertautkan sebagai gaya hidup modern sebagaimana yang semakin menggila saat ini, salah satunya dengan doktrinisasi ala media pertelevisian lewat sinetron-sinetron yang secara gamblang mempertontonkan “isme-isme” kapitalis yang tidak ada habisnya. Ini tentu saja menjadi masalah krusial yang akan membawa implikasi tersendiri dalam lingkup pembangunan, mengingat aspek kepemudaan sangat peka terhadap berbagai macam intervensi lingkungan dan penalaran terhadap objek tangkapan yang bisa saja semu. Proses pencarian jati diri untuk pembentukan karakter dan kepribadian diperhadapkan dengan derasnya tren globalisasi yang tergantung tinggi di langit peradaban kapitalisme. Dan yang berkembang kemudian, Apresiasi terhadap nilai-nilai pergerakan dan perjuangan untuk mempertegas komitmen lahiriahnya sebagai tulang punggung pembangunan, akhirnya tergilas oleh arus globalisasi yang terus mencengkeram zaman. Patriotisme dan nasionalisme seakan tercerabut dari akar budaya yang melingkari stereotype kaum muda. 

Oligarki kesisteman

Implementasi sistem-sistem pemerintahan dan kemasyarakatan yang dibangun selama ini, dirasakan membawa implikasi yang sangat signifikan terhadap peran aktif pemuda dalam melaksanakan kodratnya sebagai tulang punggung bangsa. Diantara yang paling mendasar, yakni dengan begitu sangat melekatnya bangunan sistem sosial budaya yang lahir dan berkembang ditengah masyarakat, dan terbentuk dalam kungkungan terma-terma sosial yang sangat dogmatis, bahwa yang “muda” belum pantas untuk apa-apa, belum semestinya untuk bicara dan menyampaikan pendapat, belum waktunya untuk di dengar, belum bisa diberikan tanggung jawab yang besar, ataupun belum layak jadi pemimpin. Dalam konteks ini oligarki elite menampakkan wujud sistem yang terbungkus rapih oleh adat dan tradisi yang diserap oleh sebuah komunitas sosial, bahwa seperti itulah bangunan sistem sosial yang sudah ada dari dulunya, dan yang tua-tua/kaum elite memang diciptakan untuk didengar dan dituruti. Oligarki elite sosial ini pun kemudian menjadi akar untuk tumbuhnya pohon-pohon sistem lainnya dengan persepsi dan landasan argumentasi yang hampir sama. 

Perkembangan sistem kepartaian yang diterapkan saat ini pun menunjukkan fenomena sosial seperti itu. Sistem partai dengan proses perekrutan dan pengkaderan para kader-kader muda yang disiapkan untuk menjadi pemimpin-pemimpin bangsa, sepertinya tak jauh beda dengan bangunan sistem sosial yang terus berkembang di masyarakat. Proses regenerasi yang dijalankan masih terkesan setengah-setengah sehubungan dengan oligarki partai yang masih sangat dominan. Partai sebagai pintu gerbang untuk berprosesnya kader-kader pemimpin muda, masih cukup elitis membuka pintu selebar-lebarnya. Meskipun perkembangan sistem kepartaian saat ini sudah menuai titik terang perubahan dengan langkah beberapa partai besar merekrut kader-kader muda, akan tetapi pintu gerbangnya hanya digeser sedikit untuk bisa dilalui beberapa orang saja, dengan komitmen politik untuk kemaslahatan elite partai. Sehingga yang dominan tetap saja elite partai dan bukan kaum muda yang seharunya wajib menuntut dominasi yang lebih besar. 

Titik Balik Perubahan

Fundamentalisme kepemudaan menjadi sesuatu yang “sakral” ketika tuntutan perubahan berubah wujud menjadi kewajiban. Dan itu lazim dalam terang benderangnya alam demokrasi dan bagian dari keharusan zaman. Komposisi pemuda usia produktif 18 – 40 tahun dari total populasi rakyat Indonesia mencapai 36,7% atau sekitar 88 juta jiwa. Ini tentu saja menjadi sesuatu yang sangat riskan, dengan jumlah populasi yang cukup besar, pemuda sudah sepatutnya menuntut peran yang lebih besar dan kesempatan untuk menduduki posisi-posisi strategis dalam lingkup pemerintahan dan pembangunan. Tuntutan ini pun setidaknya harus diimbangi dengan konstribusi-konstribusi pemikiran dan tindakan untuk mecapai tahap “take and give” yang memadai. Ada beberapa poin mendasar yang kiranya perlu diimplementasikan kaum muda untuk menuju suatu perubahan . Pertama; kaum muda perlu melakukan reinterpretasi akan eksistensi diri dalam berbagai ruang lingkup kehidupan. Dan ini harus dimulai dari diri sendiri untuk menciptakan keharmonisan antara eksistensi diri dan lingkungan sekitar. Kaum muda harus berdiri tegak dengan kesadaran penuh bahwa mereka adalah tulang punggung bangsa, tonggak utama pembangunan, dan ditakdirkan untuk menjadi generasi penerus dengan tidak bosanya menimpa diri dengan berbagai kemampuan dan ketrampilan dalam rangka artikulasi peran dan fungsi. Kapasitas, kapabilitas dan kompetensi sangat diperlukan untuk menunjang proses-proses pembangunan sebagai bentuk jawaban atas tantangan arus perubahan zaman yang semakin deras. Kedua; memiliki insiatif yang besar untuk mengambil peran-peran strategis dalam rangka pelaksanaan pembangunan dan kemasyarakatan yang bisa dimulai dari satuan sosial yang terkecil, baik itu dalam keluarga, tetangga, lingkungan maupun desa/kelurahan. Hal ini menjadi sangat penting karena bangunan sistem sosial yang menempatkan oligarki elite sosial sebagai sistem yang sangat dominan di tengah masyarakat, lahir dan berakar dari satuan sosial yang kecil. Dalam konteks ini, pemuda diwajibkan untuk menunjukkan dan menonjolkan berbagai potensi sumber daya yang dimiliki, yang kemudian bisa dipergunakan untuk membendung dominasi elite sosial yang ada. Ketiga; memiliki sensitivitas sosial yang tinggi dalam rangka mempertegas komitmen pembangunan dengan memprioritaskan pada masalah-masalah yang langsung bersentuhan dengan rakyat. Dengan langsung berada di tengah masyarakat diiringi kepekaan sosial dan penegasan terhadap komitmen pembangunan, secara tidak langsung akan membentuk pemahaman dan image positif dari masyarakat. Keempat; harus bisa menjadi pioneer dalam pemecahan masalah dengan keberanian untuk mengambil sikap, tindakan dan keputusan yang bisa dipertanggungjawabkan kepada publik, dibarengi dengan kepercayaan diri dan rasa tanggung jawab yang besar. Dalam tataran ini, pembangunan karakter dan kepribadian sangat penting dilaksanakan sebagai proses penyadaran publik dan juga menjadi salah satu jalan peretas untuk mengikis terma-terma sosial yang dogmatik. Kelima; memiliki kemampuan untuk memanfaatkan momen-momen krusial yang terjadi dan berkembang ditengah masyarakat sebagai bagian dari sosialisasi diri dan mempertegas kembali fungsi dan peran pemuda dalam proses pelaksanaan pembangunan. Dan terakhir; memiliki keberanian untuk tampil dalam kancah perpolitikan dan kepemimpinan nasional. 

Berbagai romantisme globalisasi dan oligarki sistem yang ada saat ini, tidak semestinya ditempatkan sebagai musuh zaman, melainkan diposisikan sebagai sebuah tantangan yang menuntut kaum muda untuk bisa menjawab itu dengan satu tekad dan keyakinan yang penuh aroma positif , “sudah saatnya kita berubah”.#