Ditulis
untuk memperingati Hari Sumpah Pemuda tahun 2007. Pertama kali dipublikasikan
oleh Harian Manado Post sekitar awal November 2007. Dipublikasikan kedua kalinya
oleh Harian Radar Totabuan (28 Oktober 2009) untuk memperingati Hari Sumpah
Pemuda tahun 2009.
“Berikanlah
aku seratus pemuda yang sanggup hidup jujur dan menderita, maka akan kurombak
wajah Italia” (Ignazio Silone).
“Kalau
pada saya diberikan seribu orang tua, saya hanya dapat memindahkan gunung
semeru, tapi kalau sepuluh pemuda diberikan kepada saya, maka seluruh dunia
dapat saya goncangkan” (Soekarno).
Baik Silone maupun
Bung Karno tentu tidak dalam kesadaran yang kurang ketika mengucapkan itu.
Artikulasi yang dikemukakan menyiratkan sebuah magnet patriotisme dan
nasionalisme yang sangat kental untuk dijadikan suatu bentuk keyakinan
mendasar, bahwa fundamentalisme kepemudaan akan mampu menghadirkan titik balik
peradaban suatu bangsa. Mereka berdua sama-sama berangkat dari asumsi kodrati
yang kemudian menjadi kepercayaan, bahwa dengan pemuda, mereka sanggup
melakukan apa saja, tak terkecuali untuk mengobati kemurungan wajah sebuah
bangsa yang lagi sakit, ataupun dengan antusiasme yang tinggi untuk
mengoncangkan dunia. Dan memang pemuda adalah ujung tonggak tegaknya sebuah
kedaulatan, harga diri, maupun harkat dan martabat suatu bangsa. Eksistensi
pemuda dalam bangunan peradaban, dihadirkan dalam sosok yang penuh semangat,
progresif, inovatif, memiliki sensitivitas sosial yang tinggi, peka terhadap
perubahan dan menjunjung tinggi nilai-nilai patriotisme dan nasionalisme.
Romantisme sejarah pun tak pelak membuktikan itu, pergerakan pemuda 1908,
sumpah pemuda 1928, pemuda dan mahasiswa1966, reformasi 1998 adalah sebagian
dari catatan emas yang menokohkan pemuda sebagai tongak utama pergerakan dan
pembaruan.
Dalam
perhelatan historisitas yang cukup panjang, aspek kepemudaan secara kontekstual
diidentikkan dengan pergerakan maupun perubahan. Bahwa pemuda dilahirkan oleh
zaman untuk meletakkan dasar-dasar pergerakan menuju sebuah titik perubahan
dalam berbagai ruang lingkup kehidupan, baik ruang lingkup sosial, budaya,
ekonomi, politik, hukum dan sebagainya, yang kesemuanya sangat menentukan arah
dan gerak langkah pembangunan.
Romantisme Globalisasi
Posisi-posisi
strategis dan dominan dalam lingkup pelaksanaan pembangunan inilah yang
mendorong aspek kepemudaan rentan oleh sederet interpretasi yang mengiringinya.
Baik itu interpretasi dari sisi patriotisme dan nasionalisme, ataupun ketika
aspek kepemudaan ini diperhadapkan dengan arus globalisasi, sebagaimana yang
terwacanakan saat ini. Globalisasi sebagai turunan dari kapitalisme memang
teramat sulit untuk dihindari. Kapitalisme dengan paham-paham kapitalisnya
adalah sebuah realitas yang tumbuh subur dan menjamur dalam negara-negara
berkembang, tak terkecuali Indonesia yang secara eksplisit menampakkan
ambivalensi terhadap dua “isme” terbesar dalam peradaban dunia, dengan menyerap
kapitalisme setengah-setengah dan sosialisme yang mati suri. Tren globalisasi
oleh berbagai kalangan dipandang sebagai salah satu penyebab runtuhnya
nilai-nilai patriotisme dan nasionalisme pemuda. Bahwa globalisasi telah
menciptakan zaman dimana gaya hidup praktis dan pragmatis seakan telah menjadi
“isme” baru dikalangan pemuda dengan mengibarkan bendera materialisme, konsumtivisme
dan hedonisme, yang dengan sendirinya melahirkan berbagai pemaknaan yang sering
kali memojokkan peran pemuda dalam sudut patriotisme dan nasionalisme yang
mengkhawatirkan. Pemuda kemudian diidentikkan sebagai golongan yang tahunya
hidup hura-hura dalam balutan materialisme dan konsumtivisme yang dipertautkan
sebagai gaya hidup modern sebagaimana yang semakin menggila saat ini, salah
satunya dengan doktrinisasi ala media pertelevisian lewat sinetron-sinetron
yang secara gamblang mempertontonkan “isme-isme” kapitalis yang tidak ada
habisnya. Ini tentu saja menjadi masalah krusial yang akan membawa implikasi
tersendiri dalam lingkup pembangunan, mengingat aspek kepemudaan sangat peka
terhadap berbagai macam intervensi lingkungan dan penalaran terhadap objek
tangkapan yang bisa saja semu. Proses pencarian jati diri untuk pembentukan
karakter dan kepribadian diperhadapkan dengan derasnya tren globalisasi yang
tergantung tinggi di langit peradaban kapitalisme. Dan yang berkembang
kemudian, Apresiasi terhadap nilai-nilai pergerakan dan perjuangan untuk
mempertegas komitmen lahiriahnya sebagai tulang punggung pembangunan, akhirnya
tergilas oleh arus globalisasi yang terus mencengkeram zaman. Patriotisme dan
nasionalisme seakan tercerabut dari akar budaya yang melingkari stereotype kaum
muda.
Oligarki kesisteman
Implementasi
sistem-sistem pemerintahan dan kemasyarakatan yang dibangun selama ini, dirasakan
membawa implikasi yang sangat signifikan terhadap peran aktif pemuda dalam
melaksanakan kodratnya sebagai tulang punggung bangsa. Diantara yang paling
mendasar, yakni dengan begitu sangat melekatnya bangunan sistem sosial budaya
yang lahir dan berkembang ditengah masyarakat, dan terbentuk dalam kungkungan
terma-terma sosial yang sangat dogmatis, bahwa yang “muda” belum pantas untuk
apa-apa, belum semestinya untuk bicara dan menyampaikan pendapat, belum
waktunya untuk di dengar, belum bisa diberikan tanggung jawab yang besar,
ataupun belum layak jadi pemimpin. Dalam konteks ini oligarki elite menampakkan
wujud sistem yang terbungkus rapih oleh adat dan tradisi yang diserap oleh
sebuah komunitas sosial, bahwa seperti itulah bangunan sistem sosial yang sudah
ada dari dulunya, dan yang tua-tua/kaum elite memang diciptakan untuk didengar
dan dituruti. Oligarki elite sosial ini pun kemudian menjadi akar untuk
tumbuhnya pohon-pohon sistem lainnya dengan persepsi dan landasan argumentasi
yang hampir sama.
Perkembangan
sistem kepartaian yang diterapkan saat ini pun menunjukkan fenomena sosial
seperti itu. Sistem partai dengan proses perekrutan dan pengkaderan para
kader-kader muda yang disiapkan untuk menjadi pemimpin-pemimpin bangsa,
sepertinya tak jauh beda dengan bangunan sistem sosial yang terus berkembang di
masyarakat. Proses regenerasi yang dijalankan masih terkesan setengah-setengah
sehubungan dengan oligarki partai yang masih sangat dominan. Partai sebagai
pintu gerbang untuk berprosesnya kader-kader pemimpin muda, masih cukup elitis
membuka pintu selebar-lebarnya. Meskipun perkembangan sistem kepartaian saat ini
sudah menuai titik terang perubahan dengan langkah beberapa partai besar
merekrut kader-kader muda, akan tetapi pintu gerbangnya hanya digeser sedikit
untuk bisa dilalui beberapa orang saja, dengan komitmen politik untuk
kemaslahatan elite partai. Sehingga yang dominan tetap saja elite partai dan
bukan kaum muda yang seharunya wajib menuntut dominasi yang lebih besar.
Titik Balik Perubahan
Fundamentalisme
kepemudaan menjadi sesuatu yang “sakral” ketika tuntutan perubahan berubah
wujud menjadi kewajiban. Dan itu lazim dalam terang benderangnya alam demokrasi
dan bagian dari keharusan zaman. Komposisi pemuda usia produktif 18 – 40 tahun
dari total populasi rakyat Indonesia mencapai 36,7% atau sekitar 88 juta jiwa.
Ini tentu saja menjadi sesuatu yang sangat riskan, dengan jumlah populasi yang
cukup besar, pemuda sudah sepatutnya menuntut peran yang lebih besar dan
kesempatan untuk menduduki posisi-posisi strategis dalam lingkup pemerintahan
dan pembangunan. Tuntutan ini pun setidaknya harus diimbangi dengan
konstribusi-konstribusi pemikiran dan tindakan untuk mecapai tahap “take and
give” yang memadai. Ada beberapa poin mendasar yang kiranya perlu
diimplementasikan kaum muda untuk menuju suatu perubahan . Pertama; kaum muda perlu
melakukan reinterpretasi akan eksistensi diri dalam berbagai ruang lingkup
kehidupan. Dan ini harus dimulai dari diri sendiri untuk menciptakan
keharmonisan antara eksistensi diri dan lingkungan sekitar. Kaum muda harus
berdiri tegak dengan kesadaran penuh bahwa mereka adalah tulang punggung
bangsa, tonggak utama pembangunan, dan ditakdirkan untuk menjadi generasi
penerus dengan tidak bosanya menimpa diri dengan berbagai kemampuan dan
ketrampilan dalam rangka artikulasi peran dan fungsi. Kapasitas, kapabilitas
dan kompetensi sangat diperlukan untuk menunjang proses-proses pembangunan
sebagai bentuk jawaban atas tantangan arus perubahan zaman yang semakin deras.
Kedua; memiliki insiatif yang besar untuk mengambil peran-peran strategis dalam
rangka pelaksanaan pembangunan dan kemasyarakatan yang bisa dimulai dari satuan
sosial yang terkecil, baik itu dalam keluarga, tetangga, lingkungan maupun
desa/kelurahan. Hal ini menjadi sangat penting karena bangunan sistem sosial
yang menempatkan oligarki elite sosial sebagai sistem yang sangat dominan di
tengah masyarakat, lahir dan berakar dari satuan sosial yang kecil. Dalam
konteks ini, pemuda diwajibkan untuk menunjukkan dan menonjolkan berbagai
potensi sumber daya yang dimiliki, yang kemudian bisa dipergunakan untuk
membendung dominasi elite sosial yang ada. Ketiga; memiliki sensitivitas sosial
yang tinggi dalam rangka mempertegas komitmen pembangunan dengan
memprioritaskan pada masalah-masalah yang langsung bersentuhan dengan rakyat.
Dengan langsung berada di tengah masyarakat diiringi kepekaan sosial dan
penegasan terhadap komitmen pembangunan, secara tidak langsung akan membentuk
pemahaman dan image positif dari masyarakat. Keempat; harus bisa menjadi pioneer
dalam pemecahan masalah dengan keberanian untuk mengambil sikap, tindakan dan
keputusan yang bisa dipertanggungjawabkan kepada publik, dibarengi dengan
kepercayaan diri dan rasa tanggung jawab yang besar. Dalam tataran ini,
pembangunan karakter dan kepribadian sangat penting dilaksanakan sebagai proses
penyadaran publik dan juga menjadi salah satu jalan peretas untuk mengikis
terma-terma sosial yang dogmatik. Kelima; memiliki kemampuan untuk memanfaatkan
momen-momen krusial yang terjadi dan berkembang ditengah masyarakat sebagai
bagian dari sosialisasi diri dan mempertegas kembali fungsi dan peran pemuda
dalam proses pelaksanaan pembangunan. Dan terakhir; memiliki keberanian untuk
tampil dalam kancah perpolitikan dan kepemimpinan nasional.
Berbagai
romantisme globalisasi dan oligarki sistem yang ada saat ini, tidak semestinya
ditempatkan sebagai musuh zaman, melainkan diposisikan sebagai sebuah tantangan
yang menuntut kaum muda untuk bisa menjawab itu dengan satu tekad dan keyakinan
yang penuh aroma positif , “sudah saatnya kita berubah”.#