Ditulis
awal Februari 2008 untuk menanggapi polemik yang berkembang hampir di semua
media pusat maupun daerah untuk memaafkan mantan Presiden Soeharto, pasca
kondisi kritis yang dialami mantan penguasa Orde Baru ini. Pertama kali
dipublikasikan Harian Manado Post (8/02/2008). Dipublikasikan kedua kalinya
oleh Koran Radar Totabuan akhir Februari 2008.
Sirkus media secara
implisit memuat kelaziman ataupun kemunafikan. Kelaziman ketika itu membawa
asas manfaat yang berdampak luas pada kepentingan khalayak ramai, dan
kemunafikan ketika kungkungan kapitalisme media sedang memanipulasi emosi
publik. Dalam kasus sakit sampai meninggalnya mantan penguasa orde baru,
Soeharto, hal yang disebutkan terakhir sangat dominan, dalam artian bahwa
kelaziman yang dimaksud hanya berada pada tataran memenuhi kriteria laiknya
sebuah berita. Arya Gunawan, mantan wartawan Kompas dan BBC di London, dalam
salah satu kolomnya di majalah Tempo, mengemukakan setidaknya dua unsur utama
yang memicu sirkus media: besarnya peristiwa yang tengah berlangsung dan nama
besar tokoh yang menjadi subjek berita, bahwa sakitnya Soeharto memenuhi dua unsur
tadi. Balutan kontekstualisasi yang “terbatas”, apalagi ketika kelaziman
menjadi penakar laik tidaknya sebuah berita dipublikasikan, kedua unsur
tersebut, lebih khususnya yang disebutkan pertama, seharusnya ditampilkan
dengan tidak mengabaikan nilai/faedah esensial media, terutama dalam aspek
“kemanfaatan” yang diperuntukkan kepada publik. Unsur perimbangan akan lebih
terjaga ketika peristiwa “besar” yang dimaksudkan, dirasakan akan membawa
faedah dan berdampak luas bagi masyarakat karena mendatangkan “manfaat”. Untuk
kasus Soeharto, asas manfaat yang merupakan bagian dari kelaziman, tenggelam
oleh hiruk pikuk kemunafikan yang dimanipulasi. Akan lebih bertanggungjawab
ketika perhelatan “sirkus” yang digadanggkan media akan melahirkan
perubahan-perubahan mendasar dalam tatanan kehidupan masyarakat luas, terutama
bagaimana caranya agar mereka dapat makan, minun, tidur serta mencari nafkah
dengan tenang di negeri dimana asap polusi korupsi, kolusi, dan nepotisme
sering menjadi kabut tebal penghalang jalan menuju kemakmuran.
Sirkus
media yang sedang berlangsung saat ini, pada dasarnya digagas untuk sebuah
tujuan manipulatif. Ini terlihat sangat jelas dengan tidak henti-hentinya
beberapa media menampilkan Soeharto ketika sakit dalam balutan keprihatinan,
kesehatan yang terus labil, dan beberapa kali dalam kondisi sangat kritis,
bahkan sampai ia meninggal pun, dengan vulgarnya media menyuguhkan alur sejarah
tentang “heroisme” Soeharto yang belum tentu dapat dipertanggungjawabkan. Dan
kesemuanya dimaksudkan untuk satu tujuan, yakni membangkitkan sekaligus
menggugah sisi emosional khalayak, bahwa sudah sepatutnya ia dikasihani, dan
mengingat jasa-jasanya bagi Bangsa dan Negara, sepantasnya ia untuk
“dimaafkan”.
Dalam titik ini, dapat dikatakan bahwa media berhasil mencengkeram
publik untuk mengikuti arus opini yang dibentuk. Ini ditandai oleh
bertubi-tubinya komentar yang meminta agar masyarakat Indonesia memaafkan
Soeharto, mengemuka dihadapan khalayak. Bagi yang bukan bagian dari korban
kekejaman dan kediktatoran rezim orde baru, kata maaf mungkin bisa membuka
sekat keihklasan jiwa manusia untuk sekadar menghormati kodratnya sebagai
mahluk pemaaf. Akan tetapi, bagaimana dengan keluarga korban G-30-S PKI yang
mengalami pembantaian massal dan ditindas berpuluh-puluh tahun, para anggota
Gerwani yang tiba-tiba dikukuhkan sebagai antek PKI, kelurga pendiri bangsa
ini, Bung Karno−terkecuali Guruh Soekarno Putra, tahanan-tahanan politik masa
orde baru, korban peristiwa Malari, korban pembantain Tanjung Priok, para
korban pelanggaran HAM di Aceh, Timor-Timor, Papua, keluarga para aktivis orde
baru yang dihilangkan secara misterius, tragedi Mei 98, kasus trisakti dan
sederet kisah tragis para korban kekejaman Soeharto semasa memimpin negeri ini,
apakah keikhlasan untuk memaafkan akan bernaung dalam setiap jiwa dan hembusan
nafas mereka. Itu tentu bukan perkara gampang yang bisa selesai dengan kata
“maaf”.
Mereka (para korban dan keluarga) sudah pasti tidak akan semudah itu
untuk memberi maaf, terlebih kata maaf akan memiliki arti ketika keikhlasan
bisa merajut lubuk hati manusia yang paling dalam. Negeri ini, dimana kita
semua sedang berpijak sambil menjunjung langit, kealpaan, ketakutan ataupun
kesengajaan sering menyeruak untuk membungkam logika sistem yang diakui dan
ditetapkan, bahwa Negara Republik Indonesia adalah Negara hukum. Setidaknya
adagium latin “Justitia ruat caelum,”, biarpun langit runtuh, hukum
harus ditegakkan, wajib menjadi pijakan serta menghinggapi setiap relung jiwa
para penegak hukum. Untuk kasus Soeharto, hampir sepuluh tahun lamanya, hasil
konkret penyelesaian masalah hukumnya tidak pernah membersitkan titik terang.
Semuanya samar, gelap, tidak jauh bedanya dengan para korban “Rezim Soeharto”
yang menuntut keadilan dan rehabilitasi.
Soeharto
bisa dikatakan mujur oleh kapitalisme dan rezim penguasa saat ini. Sirkus media
yang ditampilkan sudah sangat berlebihan. Bertolak belakang ketika Gus Dur
sakit dan harus dilarikan ke rumah sakit, media tidak menyuguhkan peliputan
yang bernuansa “sirkus”, apalagi Bung Karno yang nyata-nyatanya adalah pendiri
Republik ini. Sekadar diingat, sebagaimana salah satu kolom pemimpin redaksi
malajah Medika, Kartono Mohamad, “Bung Karno, dari Catatan Seorang Perawat”,
mengungkap fakta sejarah dari catatan perawat yang mendampingi Bung Karno pada
masa menjelang akhir hayatnya di Wisma Yaso (sakit dan diasingkan), lebih
khususnya catatan pada hari ulang tahun beliau (6/6-69 & 6/6-70), bahwa
yang terjadi pada kedua hari istimewa tersebut adalah kesunyian, keterlantaran,
dan keterasingan. Penggambaran tentang ketidakadilan yang sangat jelas
terlihat.
Memang,
sirkus media tak lepas dari upaya pemberian pemahaman kepada khalayak tentang
subjek berita, akan tetapi ketika itu menyentuh aspek-aspek non substansial,
diluar koridor, jauh dari kepantasan dan kepatutan, pada akhirnya ia akan
menjadi sesuatu yang mubazir, tidak memiliki arti. Terkecuali memang ada maksud
lain dari sisi peliputan berita, dan seluruh masyarakat Indonesia tentu dengan
mudah bisa membaca itu.
Lepas
dari itu, “Kematian Paman Gober ditunggu-tunggu semua bebek” begitu
prolog pembuka Butet Kertaradjasa ketika bermonolog dengan cerpen Seno Gumira
Ajidarma, yang ditulis tahun 1994 “Kematian Paman Gober”, pada acara
penyerahan Federasi Teater Indonesia (FTI) Award 2007 di Teater Studio, Taman
Ismail Marzuki, Jakarta. “Tidak ada lagi yang bisa dilakukan selain
menunggu-nunggu saat itu. Setiap kali penduduk Kota Bebek membuka koran, yang
mereka ingin ketahui hanya satu hal: apakah hari ini Paman Gober sudah mati,
Paman Gober memang terlalu kuat, terlalu licin, dan bertambah kaya setiap hari.
Gudang-gudang uangnya berderet dan semuanya penuh. Setiap hari Paman Gober
mandi uang di sana, segera setelah menghitung jumlah terakhir kekayaannya, yang
tak pernah berhenti bertambah”….Mestinya, bebek seumur saya ya sudah tahu diri,
siap masuk ke liang kubur. Ma(ng)kanya ketika saya diminta menjadi ketua
perkumpulan unggas kaya, saya merasakan kegetiran dalam hati saya., sampai
berapa lama saya bisa bertahan? Apa tidak ada Bebek lain yang mampu menjadi
ketua?, kalimat semacam itu masuk kedalam buku otobiografinya, pergulatan batin
Gober Bebek, yang menjadi bacaan wajib bebek-bebek yang ingin sukses. Hampir
setiap bab dalam buku itu mengisahkan Paman Gober memburu kekayaan. Mulai dari
harta karun bajak laut, pulau emas, sampai sayuran yang membuat bebek-bebek
giat bekerja, meski tidak diberi upah tambahan” (Kompas, 12/01-08).
Untuk
saat ini, Butet Kertaradjasa mungkin bisa bermonolog dengan lebih lega lagi.
Kota Bebek, tak lagi menunggu-nunggu kematian Paman Gober, tak perlu khawatir
dengan kekuatan, kelicinan, maupun kekayaannya, karena sang paman telah
mengakhiri kisahnya, pergi membawa sederet masalah, kontroversi dan misteri
sejarah yang tidak pernah bisa diungkapkan.#