Jumat, 08 Februari 2008

Kontroversi Sang Jenderal



Dipublikasikan dalam kolom TAJUK Koran Radar Totabuan, 8 Februari 2008.

Minggu, 28/01, menjadi titik kulminasi dari sederet sirkus media yang hampir selama sebulan menjejali opini public di seantero Indonesia. Soeharto, yang menyandang gelar kepangkatan tertinggi dalam TNI, dengan pangkat “Jenderal Besar” akhirnya menutup usia karena infeksi multiorgan, yang mempengaruhi kondisi kesehatannya. Mantan penguasa Orde baru tersebut, pergi dengan meninggalkan berbagai kontroversi yang belum bisa terungkapkan hingga kepergiaannya. Baik itu berbagai masalah pidana dan perdata yang membelit, maupun kasus-kasus pelanggaran HAM yang diduga terjadi pada masa kepemimpinannya. Memang masa 32 tahun, bukanlah sesuatu yang singkat, maka tak pula hal yang mengherankan ketika pengaruh yang ditanamkan pun sangat luar biasa, yang tidak pernah surut meskipun ia melepaskan jabatannya 10 tahun kemudian. Pemerintahan setelah kepemimpinannya, baik itu B.J. Habibie, Gus Dur, Megawati Soekarno Putri dan yang terakhir Susilo Bambang Yudhoyono, belum bisa secara signifikan menampakkan titik terang dari sederet kasus yang diduga dilakukan Soeharto, terutama kasus korupsi. Padahal, seperti kita ketahui bersama, pengusutan dan pemberantasan korupsi, terutama oleh Soeharto beserta kroninya ditetapkan berdasarkan ketetapan MPR Nomor XI/1998, yang masih tetap berlaku sampai detik ini. Dan ketetapan adalah mandat yang diamanahkan seluruh rakyat lewat Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan dasar hukum yang sangat kuat. Alih-alih mengungkap berbagai kasus Soeharto, menyeret para kroninya pun, pemerintah seperti kewalahan dan kehilangan arah. Tak pelak ini adalah sebuah pembuktian yang sangat telak bagi rezim-rezim yang berkuasa setelah kepemimpinannya, bahwa pengaruh sang jenderal masih sangat kuat tertanam di lingkup elit pemerintahan maupun elit partai. Bahkan pemerintahah SBY yang lahir oleh kedaulatan rakyat secara langsung pun, berada pada persimpangan jalan yang sangat riskan untuk menuntaskan berbagai kasus Seoharto.

Kontroversi memang sering mengiringi setiap langkah Soeharto. Semenjak pengambilalihan kekuasaan dari tangan Bung Karno pada 1967, masa kepemimpinnya dengan penyederhanaan sistem kepartaian, berbagai peraturan dan intruksi presiden, penunjukkan langsung, maupun katebelece lainnya yang secara tidak langsung mempertahankan dominasi kroni-kroninya dalam penguasaan berbagai sumber daya yang ada, jatuhnya rezim kepemimpinannya pada 1998, pengusutan kasus-kasus yang menyeret nama sang jederal pun terus mendatangkan kontroversi, bahkan semenjak sakit sampai meninggal pun kontroversi tak bisa lepas dari kehidupannya.

Dari berbagai kasus yang ada, harus diakui bahwa berbagai roh pemerintahan mengandung kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Dan sang jenderal. Lewat pemerintahannya yang otoriter, mampu menjaga stabilitas pemerintahan, terutama dibuktikan dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada masa kepemimpinannya yang diatas 7% pertahun. Sementara kepemimpinan dengan roh demokrasi sangat rentan oleh instabilitas politik yang berdampak pada pelaksanaan roda pemerintahan dan penerapan program-program pembangunan lainnya.

Lepas dari itu semua, kontroversi masih tetap mengandung kenangan. Dan untuk rakyat Bolmong khususnya, selain sempat menggelar rapat dirumah dinas Bupati, jalan Cendana di kelurahahn Mogolaing, menjadi sesuatu penghormatan dan kenangan masyarakat Bolmong untuk Soeharto.

Sang jenderal, sepertinya ditakdrikan untuk hidup dalam balutan kontroversi. tinggal bagaimana pemahaman dan daya tangkap masyarakat untuk memberikan penilaian. Terlebih saat ini, masa dimana sang jenderal besar telah pergi meninggalkan sederet hal-hal yang masih tetap “Kontroversi”.#

Senin, 04 Februari 2008

Sirkus Media Akhir Kisah Paman Gober



Ditulis awal Februari 2008 untuk menanggapi polemik yang berkembang hampir di semua media pusat maupun daerah untuk memaafkan mantan Presiden Soeharto, pasca kondisi kritis yang dialami mantan penguasa Orde Baru ini. Pertama kali dipublikasikan Harian Manado Post (8/02/2008). Dipublikasikan kedua kalinya oleh Koran Radar Totabuan akhir Februari 2008.

Sirkus media secara implisit memuat kelaziman ataupun kemunafikan. Kelaziman ketika itu membawa asas manfaat yang berdampak luas pada kepentingan khalayak ramai, dan kemunafikan ketika kungkungan kapitalisme media sedang memanipulasi emosi publik. Dalam kasus sakit sampai meninggalnya mantan penguasa orde baru, Soeharto, hal yang disebutkan terakhir sangat dominan, dalam artian bahwa kelaziman yang dimaksud hanya berada pada tataran memenuhi kriteria laiknya sebuah berita. Arya Gunawan, mantan wartawan Kompas dan BBC di London, dalam salah satu kolomnya di majalah Tempo, mengemukakan setidaknya dua unsur utama yang memicu sirkus media: besarnya peristiwa yang tengah berlangsung dan nama besar tokoh yang menjadi subjek berita, bahwa sakitnya Soeharto memenuhi dua unsur tadi. Balutan kontekstualisasi yang “terbatas”, apalagi ketika kelaziman menjadi penakar laik tidaknya sebuah berita dipublikasikan, kedua unsur tersebut, lebih khususnya yang disebutkan pertama, seharusnya ditampilkan dengan tidak mengabaikan nilai/faedah esensial media, terutama dalam aspek “kemanfaatan” yang diperuntukkan kepada publik. Unsur perimbangan akan lebih terjaga ketika peristiwa “besar” yang dimaksudkan, dirasakan akan membawa faedah dan berdampak luas bagi masyarakat karena mendatangkan “manfaat”. Untuk kasus Soeharto, asas manfaat yang merupakan bagian dari kelaziman, tenggelam oleh hiruk pikuk kemunafikan yang dimanipulasi. Akan lebih bertanggungjawab ketika perhelatan “sirkus” yang digadanggkan media akan melahirkan perubahan-perubahan mendasar dalam tatanan kehidupan masyarakat luas, terutama bagaimana caranya agar mereka dapat makan, minun, tidur serta mencari nafkah dengan tenang di negeri dimana asap polusi korupsi, kolusi, dan nepotisme sering menjadi kabut tebal penghalang jalan menuju kemakmuran. 

Sirkus media yang sedang berlangsung saat ini, pada dasarnya digagas untuk sebuah tujuan manipulatif. Ini terlihat sangat jelas dengan tidak henti-hentinya beberapa media menampilkan Soeharto ketika sakit dalam balutan keprihatinan, kesehatan yang terus labil, dan beberapa kali dalam kondisi sangat kritis, bahkan sampai ia meninggal pun, dengan vulgarnya media menyuguhkan alur sejarah tentang “heroisme” Soeharto yang belum tentu dapat dipertanggungjawabkan. Dan kesemuanya dimaksudkan untuk satu tujuan, yakni membangkitkan sekaligus menggugah sisi emosional khalayak, bahwa sudah sepatutnya ia dikasihani, dan mengingat jasa-jasanya bagi Bangsa dan Negara, sepantasnya ia untuk “dimaafkan”. 

Dalam titik ini, dapat dikatakan bahwa media berhasil mencengkeram publik untuk mengikuti arus opini yang dibentuk. Ini ditandai oleh bertubi-tubinya komentar yang meminta agar masyarakat Indonesia memaafkan Soeharto, mengemuka dihadapan khalayak. Bagi yang bukan bagian dari korban kekejaman dan kediktatoran rezim orde baru, kata maaf mungkin bisa membuka sekat keihklasan jiwa manusia untuk sekadar menghormati kodratnya sebagai mahluk pemaaf. Akan tetapi, bagaimana dengan keluarga korban G-30-S PKI yang mengalami pembantaian massal dan ditindas berpuluh-puluh tahun, para anggota Gerwani yang tiba-tiba dikukuhkan sebagai antek PKI, kelurga pendiri bangsa ini, Bung Karno−terkecuali Guruh Soekarno Putra, tahanan-tahanan politik masa orde baru, korban peristiwa Malari, korban pembantain Tanjung Priok, para korban pelanggaran HAM di Aceh, Timor-Timor, Papua, keluarga para aktivis orde baru yang dihilangkan secara misterius, tragedi Mei 98, kasus trisakti dan sederet kisah tragis para korban kekejaman Soeharto semasa memimpin negeri ini, apakah keikhlasan untuk memaafkan akan bernaung dalam setiap jiwa dan hembusan nafas mereka. Itu tentu bukan perkara gampang yang bisa selesai dengan kata “maaf”. 

Mereka (para korban dan keluarga) sudah pasti tidak akan semudah itu untuk memberi maaf, terlebih kata maaf akan memiliki arti ketika keikhlasan bisa merajut lubuk hati manusia yang paling dalam. Negeri ini, dimana kita semua sedang berpijak sambil menjunjung langit, kealpaan, ketakutan ataupun kesengajaan sering menyeruak untuk membungkam logika sistem yang diakui dan ditetapkan, bahwa Negara Republik Indonesia adalah Negara hukum. Setidaknya adagium latin “Justitia ruat caelum,”, biarpun langit runtuh, hukum harus ditegakkan, wajib menjadi pijakan serta menghinggapi setiap relung jiwa para penegak hukum. Untuk kasus Soeharto, hampir sepuluh tahun lamanya, hasil konkret penyelesaian masalah hukumnya tidak pernah membersitkan titik terang. Semuanya samar, gelap, tidak jauh bedanya dengan para korban “Rezim Soeharto” yang menuntut keadilan dan rehabilitasi.

Soeharto bisa dikatakan mujur oleh kapitalisme dan rezim penguasa saat ini. Sirkus media yang ditampilkan sudah sangat berlebihan. Bertolak belakang ketika Gus Dur sakit dan harus dilarikan ke rumah sakit, media tidak menyuguhkan peliputan yang bernuansa “sirkus”, apalagi Bung Karno yang nyata-nyatanya adalah pendiri Republik ini. Sekadar diingat, sebagaimana salah satu kolom pemimpin redaksi malajah Medika, Kartono Mohamad, “Bung Karno, dari Catatan Seorang Perawat”, mengungkap fakta sejarah dari catatan perawat yang mendampingi Bung Karno pada masa menjelang akhir hayatnya di Wisma Yaso (sakit dan diasingkan), lebih khususnya catatan pada hari ulang tahun beliau (6/6-69 & 6/6-70), bahwa yang terjadi pada kedua hari istimewa tersebut adalah kesunyian, keterlantaran, dan keterasingan. Penggambaran tentang ketidakadilan yang sangat jelas terlihat. 

Memang, sirkus media tak lepas dari upaya pemberian pemahaman kepada khalayak tentang subjek berita, akan tetapi ketika itu menyentuh aspek-aspek non substansial, diluar koridor, jauh dari kepantasan dan kepatutan, pada akhirnya ia akan menjadi sesuatu yang mubazir, tidak memiliki arti. Terkecuali memang ada maksud lain dari sisi peliputan berita, dan seluruh masyarakat Indonesia tentu dengan mudah bisa membaca itu. 

Lepas dari itu, “Kematian Paman Gober ditunggu-tunggu semua bebek” begitu prolog pembuka Butet Kertaradjasa ketika bermonolog dengan cerpen Seno Gumira Ajidarma, yang ditulis tahun 1994 “Kematian Paman Gober”, pada acara penyerahan Federasi Teater Indonesia (FTI) Award 2007 di Teater Studio, Taman Ismail Marzuki, Jakarta. “Tidak ada lagi yang bisa dilakukan selain menunggu-nunggu saat itu. Setiap kali penduduk Kota Bebek membuka koran, yang mereka ingin ketahui hanya satu hal: apakah hari ini Paman Gober sudah mati, Paman Gober memang terlalu kuat, terlalu licin, dan bertambah kaya setiap hari. Gudang-gudang uangnya berderet dan semuanya penuh. Setiap hari Paman Gober mandi uang di sana, segera setelah menghitung jumlah terakhir kekayaannya, yang tak pernah berhenti bertambah”….Mestinya, bebek seumur saya ya sudah tahu diri, siap masuk ke liang kubur. Ma(ng)kanya ketika saya diminta menjadi ketua perkumpulan unggas kaya, saya merasakan kegetiran dalam hati saya., sampai berapa lama saya bisa bertahan? Apa tidak ada Bebek lain yang mampu menjadi ketua?, kalimat semacam itu masuk kedalam buku otobiografinya, pergulatan batin Gober Bebek, yang menjadi bacaan wajib bebek-bebek yang ingin sukses. Hampir setiap bab dalam buku itu mengisahkan Paman Gober memburu kekayaan. Mulai dari harta karun bajak laut, pulau emas, sampai sayuran yang membuat bebek-bebek giat bekerja, meski tidak diberi upah tambahan” (Kompas, 12/01-08).

Untuk saat ini, Butet Kertaradjasa mungkin bisa bermonolog dengan lebih lega lagi. Kota Bebek, tak lagi menunggu-nunggu kematian Paman Gober, tak perlu khawatir dengan kekuatan, kelicinan, maupun kekayaannya, karena sang paman telah mengakhiri kisahnya, pergi membawa sederet masalah, kontroversi dan misteri sejarah yang tidak pernah bisa diungkapkan.#