Kamis, 06 November 2008

Malu! (Katamsi yang lain masih pada Bobo!)




Ditulis tgl 6 November 2008 setelah membaca tulisan Pemimpin Redaksi Manado Post; Suhendro Boroma, yang menanggapi polemik antara Katamsi Ginano dan Pitres Sombowadile tentang perlakuan khusus kepada Bupati Bolmong Marlina Moha Siahaan dalam pelaksanaan Sholat Id.

Membaca tulisan Suhendro Boroma, “Makmum VIP”, Kamis, 6 November 2008 di harian Tribun Totabuan, yang merupakan tanggapan atas tulisan Pitres Sombowadile sebelumnya di harian yang sama, “Tulisan Katamsi, Caption Foto Yang Gegabah”, siapapun anak temurun intau mongondow yang masih menapakkan kaki di bumi Totabuan, terkecuali tentunya mereka yang menganggap dirinya bagian dari dayang-dayang dan budak penguasa, wajib untuk “malu”. Saya pun, tak bisa mangkir dari rasa itu. Mungkin untuk itu pula saya yang sudah cukup lama tidak bersua secara langsung dengan Om Edo (panggilan akrab saya untuk Suhendro Boroma), secara tersirat menyampaikan terima kasih untuk spirit yang diberikan, meski tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada beliau, itu harus diungkapkan lewat pesan singkat.

Apa yang disampaikan Suhendro lewat tulisannya, tak pelak merupakan realitas yang tumbuh subur dalam perspektif sosio-kultur orang mongondow. Dan mirisnya, ini sudah terjadi dan berlangsung cukup lama oleh pembiaran-pembiaran yang dilakukan segelintir orang, yang tanpa rasa malu sedikit pun memposisikan diri sebagai dayang atau budak penguasa. Semenjak dulu mengikuti krtitikan-kritikan yang disampaikan Katamsi Ginano lewat tulisannya di berbagai media, terutama saat berdiskusi secara langsung dalam beberapa kesempatan, saya tidak bisa menyembunyikan rasa malu dan sedih saat ia mengaku harus mengurut dada sendiri melihat penyelewengan dan pembengkokan logika yang dipertontonkan dengan terang benderangnya oleh para penguasa. Satu hal yang sangat menonjol dan begitu terasa dalam setiap tulisan maupun diskusi yang dilakukan, adalah pesan tersirat yang ingin disampaikan kepada kita seluruh rakyat Bolmong, bahwa dalam lokalitas kultur intau mongondow, ada “sesuatu” yang hilang. Dan sejak lima tahun belakangan ini, setelah beberapa kali sempat mengkritik gaya kepemimpinan para penguasa Bolmong secara terbuka lewat tulisan di beberapa media, jujur setiap menulis saya sangat berharap kita anak temurun intau mongondow bisa menangkap pesan yang disampaikan Katamsi, mencari “sesuatu” yang hilang itu, mengangkatnya kepermukaan dan ikut memperjuangkannya agar bisa ditegakkan.

Hal yang amat disayangkan, justru yang terjadi selama ini jauh “panggang” dari “api”. Sederet kita, orang-orang yang harusnya bisa berdiri tegak sambil mengangkat kepala untuk mengatakan ini salah, itu kurang etis, tidak pantas dan bukan pada tempatnya, malah ikut terbawa arus feodalisme gaya primitif plus perilaku narsis yang tak ada habisnya dipertontonkan para penguasa daerah ini. 

Setidaknya ada beberapa hal yang bisa saya tangkap dengan jelas dalam tulisan Suhendro. Pertama; penegasan terhadap substansi permasalahan yang sebenarnya kepada Pitres, bahwa lepas dari kemampuan intelektualitasnya yang cukup diakui, ada ranah tertentu yang tidak bisa ia masuki, terutama ketika itu menyangkut hubungan manusia dengan Tuhannya demi meletakkan fundamentalisme agama, lebih khususnya aspek universalisme islam dalam porsi sebenarnya. “Pitres memang “tahu diri” tidak masuk ke wilayah ini. Saya sengaja memasuki wilayah ini karena itulah pokok utama tulisan Katamsi”, tulis Suhendro. Penjelasan ikutan yang diterangkan selanjutnya, lebih memperkuat penegasan tersebut. Pitres, tentu sangat paham dengan itu, hanya saja mungkin karena “kalap” sehingga “khilaf” tak bisa terhindarkan. Sementara berbicara mengenai metodologis yang digunakan, siapa tak kenal Pitres untuk urusan metodologi penulisan dan ranah jurnalisme publik, tapi lepas dari itu semua, saya rasa setiap metodologi punya maksud, tujuan dan substansi yang tak pernah bisa diabaikan. Artinya, seribu argumentasi pun yang dikemukakan untuk menjustifikasi permasalahan Sholat Id Bupati Bolmong, ada fakta yang sangat jelas dan tak terbantahkan seperti yang dikatakan Suhendro, yakni perlakuan khusus kepada sang Bupati untuk menjadi “Makmum VIP”.

Kedua; pesan moral dan spirit yang diberikan. Setelah membaca itu, untuk kesekian kalinya saya tidak bisa membungkam rasa malu campur sedih. Hampir lima tahun belakangan ini, penyelewengan plus pembengkokan logika memang menjadi pemandangan umum di Bolmong, baik itu dihadapan kita sebagai intau Mongondow, maupun dihadapan Tuhan Yang Maha Sakral. Hal yang lebih memiriskan, penyelewengan dan pembengkokan logika itu, dilakukan secara bersekongkol dengan pembenaran sepihak, disertai kebanggaan dan kesombongan luar biasa. Para penguasanya bak raja yang doyan dengan “puja-puji”, sementara para dayang latah terhadap itu, sampai tak peduli harus menjilat pantat orang sambil tanpa beban sedikit pun menjungkirbalikkan “harga diri” sebagai intau Mongondow , dan dengan sangat sadar melukai adat istiadat yang harusnya tidak diselewengkan maupun dibengkokan. Terus terang, saya tak pernah bisa berfikir jernih untuk perilaku jenis ini. Apa yang salah dengan Bolmong tercinta kita, hingga manusia-manusia di dalamnya seperti tak pernah jera dengan perilaku menyimpang, terutama mereka yang berdiri dengan gagahnya di sekitar para penguasa. Berbagai kritik yang dilontarkan selama ini, terutama dari Katamsi Ginano dinilai sebagai sesuatu yang destruktif serta ancaman terhadap kelanggengan kekuasaan. Apakah salah ketika kritik setidaknya bisa dianggap “pembetulan” terhadap sesuatu yang keliru. Dosa besar kah ketika orang-orang di sekitar para penguasa mengingatkan pemimpinanya tentang sesuatu yang salah. Naïf kah seorang pemimpin untuk sadar bahwa yang dilakukan para bawahannya bukan pada tempatnya, meski itu untuk menyenangkan dirinya, kemudian dengan arif dan bijaksana membetulkan itu. Dalam konteks universalisme islam, selain konsep kesetaraan yang dikemukakan Suhendro dengan analogi yang cukup apik, terutama aspek hablumminallah, masih ada konsep pembumian manusia di jagad semesta yang tidak bisa dikesampingkan yakni aspek hablumminannas. Di lingkup inilah maka saling memperingati, memberi teguran, melarang sesuatu yang keliru dan membetulkan yang salah menjadi wajib hukumnya bagi umat manusia. Secara pribadi, saya rasa para penguasa di Bolmong sangat ngerti dan paham akan itu. Seribu gunung api belum akan meletus seandainya orang-orang disekitar para penguasa mengingatkan pemimpinnya akan sesuatu yang bengkok, dan langit belum akan runtuh ketika para penguasa setidaknya mau mendengar, dan dengan lapang dada menerima itu untuk diluruskan.

Sebagaimana yang dikemukakan Suhendro, selama penyimpangan, penyelewengan, pembengkokan logika secara bersekongkol masih tumbuh bak jamur di Bolmong tercinta ini, maka hal yang pasti kita masih sangat membutuhkan manusia-manusia seperti Katamsi. Kesedihan, kegundahan seorang Suhendro memberikan kita, anak temurun intau mongondow pelajaran yang amat berharga, dan spirit yang tak terperihkan, “sepuluh katamsi sungguh tak cukup, seratus katamsi kurang, dan seribu katamsi belum memadai,”. 

Kegundahan memang bukan jawaban atas sesuatu. Tapi api dalam sekam tak bisa memadamkan “gundah” hati. Ia aka terus menyulut, membakar setiap jiwa-jiwa manusia yang masih bisa “malu” ketika hal yang salah, kurang pantas, tidak etis dan bukan pada tempatnya terjadi di depan mata kepala. Entah kita bagian dari itu atau bukan, karena “malu” yang ini, adalah sedih yang teramat dalam terutama ketika harus tertegun menyaksikan “katamsi yang lain masih pada bobo’”.#