Jumat, 27 Februari 2009

Kalau Saja...!



Dipublikasikan Harian Media Bolmong, Jumat, 27 Februari 2009, dalam Kolom Pojok Totabuan, ketika Ketua DPRD Kota Kotamobagu, Syamsudin Kudji Moha yang juga Suami tercinta dari Bupati Bolaang Mongondow Marlina Moha Siahaan, resmi ditahan oleh penyidik Polda Sulawesi Utara dalam kasus PERSIBOM GATE.

Pesan singkat itu masuk ke telepon genggam saya sekitar pukul 01.35 kamis dinihari, 12/02 beberapa pekan lalu. Saya yang saat itu masih terjaga oleh berita malam di berbagai media soal ketegangan yang terjadi antara kubu SBY dan JK, refleks mengambil telepon genggam untuk melihat pesan yang masuk. Namanya juga pesan di tengah malam buta, petandanya pasti cukup penting. Dan memang pesan tersebut dikirim seorang teman wartawan dengan isi pesan “saat ini kudji masih diperiksa tim penyidik Polda Sulut, kemungkinan besar di tahan”. Untuk kaget sih ngak! Sebabnya prediksi kesalahan sudah bergulir, bukti sudah cukup kuat, status sudah dinaikkan, yang tersisa hanya soal waktu. Kapan saat itu tiba!
Waktu memang tak pernah bohong. Ia seperti ditakdirkan untuk memberikan jawaban atas beragam tanya yang mengitari perjalanan hidup manusia, dan Kamis pagi kemarin, pesan singkat kembali masuk ke telepon genggam saya dengan pesan “Kudji resmi ditahan tadi subuh pukul 03.00 Wita”.

Untuk momen-momen dengan isi pesan seperti itu, entah kenapa saya langsung teringat Winston Churcill dan Marlina Moha Siahaan. Apa hubungan keduanya? Tidak ada memang. Saya hanya membandingkan dari sisi “perkataan”. Artinya, yang satu mengkarakterisasi gaya seorang politisi, yang lainnya menghidupkan karakter tersebut. Winston Churcill, mantan panglima perang dan pempimpin besar Inggris, suatu ketika pernah mengkarakterisasi gaya seorang politisi dengan mengatakan “ Seorang politisi memiliki kemampuan mengatakan apa yang akan terjadi esok hari, bulan depan, tahun depan, serta menjelaskan mengapa semua yang dikatakanya tak pernah menjadi kenyataan”. Marlina Moha Siahaan, sekitar awal Tahun 2002 lalu, dihadapan kami mahasiswa Bolmong yang mengenyam pendidikan di Kota Makassar, Sulawesi Selatan, dengan penuh kelugasan diikuti senyum malu mengatakan “saat ini supaya orang-orang nda mo bicara macam-macam, papa Didi (Syamsudin Kudji Moha), mama Didi (Marlina Moha Siahaan) mo se jadi Ketua Dharma Wanita Bolmong jo, supaya aman!”.

Di sini, keduanya dirasa sudah cukup memberikan realitas karakter seorang politisi, hanya kebetulan saja “nostalgik” yang saya lakukan menempatkan Marlina Moha Siahaan sebagai sosok yang membangkitkan karakterisasi Churcill. Di belahan dunia manapun, politik memang sering kali melahirkan politisi-politisi seperti itu, entah itu hukum alam, bentukan zaman, atau bisa jadi tuntutan “ego”, yang menurut Sigmund Freud terkadang tidak bisa dikendalikan oleh “super ego”. Terkadang “ego” memang hal yang paling sulit untuk dikendalikan. Ia bisa dengan mudah membuat jiwa kita tercerabut dari persemayamnya sambil terbang ke langit ketujuh, yang di sana, banyak kemungkinan yang tak bisa diprediksi.

Perkataan yang pernah diucapkan Marlian Moha Siahaan ketika itu, telah kehilangan arti. Kita semua tahu, waktu terus berjalan dan setiap jengkal perjalanannya, orang-orang bisa dengan sangat mudahnya untuk lupa. Baik itu lupa perkataan, lupa janji, lupa diri ataupun yang lebih parah, berpura-pura untuk “lupa-lupa ingat”.

Maka, kalau saja “ego” ke-aku-annya Marlian Moha Siahaan masih bisa dikendalikan, Kudji pasti masih duduk manis diperaduannya. Kalau saja Kudji tetap menjadi Ketua Dharwa Wanita sebagaimana yang pernah diucapkan, masalah tidak akan serunyam ini. Kalau saja Kudji tidak macam-macam, hal yang “macam-macam” pun tidak akan pernah ada. Lamunan nakal yang telah menjalar kemana-mana itupun sirna oleh dering telepong genggam saya yang kembali berbunyi tanda pesan masuk, dengan isi pesan yang kurang lebih sama. Dan untuk kesekian kalinya, saya hanya bisa berguman dalam hati. Kalau saja..!#

Tidak ada komentar:

Posting Komentar