Senin, 16 Februari 2009

Mutasi Tanpa Dendam



Dipublikasikan Harian Media Bolmong dalam Kolom Pojok Totabuan, tanggal 16 Februari 2009

Pemerintah Kota Kotamobagu, Jumat 13/02 melakukan pelantikan pejabat eselon III dan IV di lingkup pemerintahannya. Namanya juga pelantikan, hal yang pasti terjadi ada perubahan di situ. Bermacam rasa yang berkecamuk pun tak terelakkan. Ada yang senang karena naik jabatan dari eselon IV ke eselon III. Ada yang kurang senang karena jabatannya turun, bahkan yang lebih heboh lagi, ada yang diperbantukan, untuk tidak secara langsung mengatakan “non job”.

Dalam dunia birokrasi, pelantikan, mutasi maupun rolling jabatan adalah sebuah kelaziman. Di sini pun, objektifitas maupun subjektifitas adalah pertaruhan. Disatu sisi objektifitas adalah roh yang harus dikedepankan untuk mempertegas kepatutan dan kelayakan, terutama dalam hal layak tidaknya seorang diangkat menjadi pejabat. Di sisi lainnya, dan ini yang paling sensitif, adalah eksistensi tim pertimbangan kepangkatan dan jabatan, atau biasa disebut Baperjakat, untuk sebisa mungkin menghindari yang namanya subjektifitas. Terlebih untuk Kota Kotamobagu sendiri, tongkat kepempimpinan belum lama berpindah, dan bias-bias politik sewaktu pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah belum juga sirna sepenuhnya. 

Memang, dalam sebuah sistem pemerintahan, hal ikhwal pelantikan pejabat adalah urusan tim Baperjakat yang langsung dikordinir oleh Sekretaris Daerah sebagai ketua. Akan tetapi satu yang tak bisa dihindari, persetujuan terakhir ada pada Walikota ketika ia harus membubuhkan tanda tangan yang mengartikan tanda setuju. Dengan kondisi seperti ini, berbagai pihak jelas mulai bertanya, sampai mana objektifitas Drs. Djelantik Mokodompit diperlihatkan kepada publik, dan dalam batas yang mana ketika subjektifitas itu bisa dihindari.

Untuk menghindari yang namanya “subjektifitas” dirasa bukan hal yang mudah. Sampai batas apapun, manusia sepertinya ditakdirkan untuk hidup dikelilingi rasa itu, apalagi ketika yang dikedepankan adalah dendam politik. “dia pendukung fanatik BOSS, sikat pa dia”, “dia HP BRANI pe orang, jang pake katu’,”, “dia pa BRAMS dulu, se lia tu torang pe jago noh”, maka permasalahan dendam tidak akan pernah selesai. 

Subjektifitas hadir bukan untuk dihindari, tapi bagaimana kedewasaan kita terutama para elite penguasa Kota Kotamobagu untuk meminimalisir rasa tersebut. Dalam menerapkan berbagai kebijakan, termasuk pengangkatan pejabat di lingkungan Pemkot Kotamobagu, objektifitas harus menjadi harga mati yang tak bisa ditawar-tawar. Setidaknya setiap mutasi pejabat yang dilaksanakan, bisa bebas dari kepungan asap dendam dan ketidaksukaan, tapi wajib mengedepankan profesionalisme sebagai pijakan utama. Apalagi Kotamobagu yang baru seumur jagung ini, masih sangat membutuhkan sentuhan-sentuhan jitu dari para elite untuk menuju visi dan misi yang telah ditetapkan bersama, yang ujung-ujungnya adalah kesejahteraan rakyat. 

Kita, seluruh rakya Kotamobagu tentu tetap berharap, setiap pengambilan keputusan dan kebijakan, duet pasangan Drs. Hi. Djelantik Mokodompit dan Ir. Tatong Bara akan menempatkan profesionalisme sebagai sandaran utama, terlebih manusia adalah mahluk ciptaan yang paling mulia di muka bumi ini. Membiarkan dendam bersemayam dalam setiap jiwa, sama dengan menodai kodrat kita sendiri. Mudah-mudahan, mutasi pejabat eselon II yang tidak lama lagi akan segera digelar, bukan menjadi ajang pertaruhan subjektifitas, melainkan ajang ketika objektifitas dalam berbagai bentuk aslinya, adalah segalanya, dan kita memang hanya bisa berharap.#

Tidak ada komentar:

Posting Komentar